Suara burung-burung berkicau membangunkan aku. Aku dan Daniel tertidur bersama di tepi sungai selepas obrolan kami sepanjang malam hingga dini hari. Aku meraih ponselku dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Aku mengguncang bahu Daniel dan membangunkannya. "Bangun, Daniel, udah jam sepuluh," kataku.
Daniel segera membuka matanya dan terduduk.
"Oh, kita terlambat ke kantor balai desa!" seru Daniel panik.
"Hahaha!" aku tertawa. "Ini hari Minggu," lanjutku.
Daniel bernafas lega dan ia membaringkan lagi tubuhnya di atas tikar. "Kalau gitu, ayo tidur lagi," katanya sembari menarik tubuhku dan membaringkan kepalaku di dadanya.
"Shawn! Daniel!" terdengar suara ayahku memanggilku dan Daniel.
Aku segera menjauhkan tubuhku dari tubuh Daniel dan beranjak dari tikar tempat kami berbaring.
"Kita kedatangan tamu, ayo ke rumah," kata ayahku kepada aku dan Daniel.
"Iya, ayah," jawabku.
Aku dan Daniel mengikuti langkah ayahku pulang ke rumah.
"Psssttt!" bisik Daniel.
Aku menoleh ke arah Daniel. "Apa?" tanyaku.
Daniel menunjuk ke arah leherku.
"Kenapa sih?" tanyaku lagi.
Daniel mengambil ponsel dari saku celananya dan memotret leherku, ia kemudian menunjukkan foto yang ia ambil kepadaku. Aku seketika terkejut melihat sebuah tanda merah di leherku.
"Ini ulahmu? Kapan kamu buatnya?" tanyaku.
"Tadi pagi-pagi waktu kamu tidur," bisik Daniel sambil menahan tawa.
PLAKK! Aku menepuk p*ntat Daniel dengan telapak tanganku.
"AAAAA...! Ampun! Jangan marah, cantik!" teriak Daniel sambil berlari ke arah rumahku.
Aku mengejar Daniel dan melewati ayahku yang menatap kami sambil tersenyum.
Sesampainya di depan rumah, langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat Noel sedang duduk di bangku teras sambil menatap ke arahku dan Daniel.
Noel mengangkat telapak tangannya ke arah kami sambil tersenyum dan kami duduk bersama di bangku teras dengan canggung.
"Apa kabar, kak?" tanya Noel sambil menatap aku dan Daniel bergantian.
"Baik sekali!" sahut Daniel. "Ngapain kamu ke sini? Nggak niat ngajak Shawn balikan kan?" lanjut Daniel sambil menatap tajam ke arah Noel.
Noel tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Aku ke sini mau kasih undangan..." jawab Noel sembari mengeluarkan sebuah undangan dari dalam tasnya dan meletakkannya di meja.
Ketika aku hendak mengambil undangan itu di meja, Daniel dengan cepat merebutnya dan membacanya.
"Oh, wow! Selamat ya," ucap Daniel setelah membaca undangan itu. Ia pun meletakkan kembali undangan itu di meja.
"Iya, makasih," kata Noel menjawab ucapan Daniel.
Aku meraih undangan itu dari meja dan membacanya. Nama Noel dan Jeanne yang tertulis di sana membuat tanganku seketika gemetar, nafasku menjadi lebih pendek seiring dengan detak jantungku yang semakin cepat, serta dadaku terasa sangat sesak.
Daniel merebut undangan itu dari tanganku secara tiba-tiba.
"Kamu kemari cuma mau kasih undangan ini?" tanya Daniel kepada Noel.
Aku menatap Noel dengan pupil mataku yang bergetar. Ketika itu Noel sedang menatapku juga, aku tak bisa membaca ekspresi yang ia pancarkan dari wajahnya, ia hanya menatapku dan terdiam.
"Iya, sekalian menengok paman," jawab Noel sambil memandang Daniel dan ayahku bergantian.
"Tegang sekali, ayo di makan apelnya," sahut ayahku mencoba mencairkan suasana yang tadinya terasa tegang dan kaku.
Sketch by: Shawn Ellian
"
Maaf paman, tapi saya harus segera kembali ke hotel," jawab Noel.
"Kenapa buru-buru sekali?" tanya ayahku.
"Saya harus bersiap untuk seminar nanti malam paman," jawab Noel.
"Oh, gitu, ya sudah. Biar paman antar ya..." kata ayahku.
"Aku aja, biar aku yang antar..." sahutku.
Daniel yang sedang melipat tangannya di depan dada tiba-tiba melirik ke arahku dengan tatapan tajam.
"Sama Shawn atau sama paman?" tanya ayahku kepada Noel dengan ramah.
"Kak Shawn aja nggak apa-apa paman," jawab Noel.
"Tunggu 15 menit, nggak, 5 menit aja. Aku mandi dulu sebentar," kataku kepada Noel.
Noel menganggukkan kepalanya dan aku bergegas masuk ke dalam rumah untuk mandi.
Seusai mandi, aku menyiapkan motor ayahku untuk mengantar Noel ke hotel.
Sejak aku menawarkan diri untuk mengantarkan Noel ke hotel, Daniel hanya diam dan sesekali menatap aku dan Noel dengan tatapan mata tajam. Aku mengusap bahu Daniel ketika aku melewatinya di dekat pintu. Namun, Daniel mengabaikan aku dan masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apapun.
"Dah, sana berangkat. Bawa ini, buah-buahan," kata ayahku sambil mengulurkan kantong plastik berisi buah-buahan kepada Noel begitu motor sudah siap.
"Terimakasih, paman," jawab Noel sambil tersenyum.
"Kami berangkat dulu ayah," kataku.
"Iya, hati-hatilah..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Noel Kristoffer (BxB)
Romance⚠️ 18+ Cerita ini mengandung tema LGBTQ+ dan tema dewasa. Cerita ditulis berdasarkan kisah pribadi dengan alur cerita yang dikembangkan. Namun, sama sekali tidak mengubah inti cerita serta momen-momen kebersamaan kami. Identitas asli para tokoh (nam...