Setelah acara bubar, mereka berpamit untuk pulang kerumah masing-masing. Bagas terus menatap Reihan dengan tajam. Reihan, hanya tersenyum sebagai balasan tatapan tajam Bagas. Bagas masih tidak bisa berpikir dengan jernih. Reihan. Reihan Mahendra. Ketua osis, yang kemarin dia pukul habis-habisan, ternyata adalah sepupunya.
Saat Bagas duduk dimobil, dirinya bertanya, Reihan itu siapa. Braka yang fokus menyetir menjawab pertanyaan Bagas dengan pelan agar Martha tidak terbangun. Martha yang sudah tertidur pulas dikursi sebelah Braka. Braka menjawab.
"Reihan itu anaknya, kakak papa yang ke dua yang laki-laki tadi bertopeng warna biru."
Braka lima bersaudara. Kelima saudara itu tidak ada yang akur. Mereka sibuk dengan memperbaikan diri setiap harinya untuk mendapat perhatian ayah mereka, namun berbeda dengan Braka. Braka hanya bersikap selayak manusia pada umumnya. Braka tidak ambil pusing soal harta warisan, Braka sudah bangga jika dirinya sudah sampai dititik ini, tapi, ternyata ayahnya, Wilaga, memilih Bagas sebagai penerusnya.
"Reihan itu selalu satu sekolah loh sama kamu, kok kamu gak tau?"
"Tau pa, tapi gak tau kalau dia sepupu Bagas."
"Waduh, kamu ini, sekarang sudah tau kan?"
"Iya pa."
Bagaimana Bagas bisa menganggap Reihan sepupu? Ayolah, mereka dari Sekolah Dasar sudah seperti kucing dan tikus. Tidak pernah akur.
Bagas diam, ternyata benar. Sejak pertemuan awal mereka Bagas sudah tidak asing dengan fisik dan suara laki-laki itu, ternyata benar, itu Reihan. Orang yang sangat ingin Bagas hindari. Wajahnya yang indah sangat tidak sesuai dengan sikapnya. Saat sampai dirumah, Ayahnya mengendong ibunya, Bagas berjalan kekamarnya. Sudah jam sebelas malam, Bagas segera membersihkan diri dan tidur, besok dirinya akan sekolah.
📕🏀📕
"Muka lo kenapa dah?"
"Emang kenapa?"
"Kusut banget, kek seragam yang belum disetrika."
Kebayangkan? Sekusut apa seragam yang habis dicuci dan belum disetrika. Bagas hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya masih satu darah dengan Reihan. Ayolah, dia musuh Bagas, tidak mungkin Bagas harus terus tersenyum ke musuhnya jika sedang berkumpul keluarga. Bagas hanya menggeleng.
"Buruan naik."
Marcel menghela nafas. Mengambil helm yang diberi Bagas lalu naik ke motor Bagas. Selama perjalanan Marcel hanya diam. Marcel tidak ingin bertanya lebih jauh, mereka sekarang sedang di atas motor. Marcel tau, jika wajah Bagas sudah kusut seperti itu, dirinya tidak ingin ditanya-tanya atau dirinya akan marah. Perlu diingat, mereka di atas motor, mereka bisa lepas landas jika Bagas emosi.
"Gue kelas dulu yak, kalau tu hati masih gak baik mending UKS. Jangan bolos, nanti suratnya gue yang urus."
"Iye, gue mau jalan-jalan dulu. Lo duluan aja."
Marcel mengangguk, lalu melambaikan tangan. Bagas berjalan ke arah lift menuju lantai paling atas, lalu menaiki tangga yang sudah tertulis 'dilarang ke atas' Bagas menggeserkan papan lalu berlari menuju rooftop sekolahnya. Pagi-pagi, matahari belum muncul, Bagas melihat kebawah. Anak-anak berlalu-lalang, hingga matanya tertuju ke satu perempuan. Vania. Pujaan hatinya sudah datang. Bagas ingin bercerita tentang hal ini, tapi, setelah Bagas pikir. Masalah ini tidak terlalu penting untuk Vania tau, jadi, Bagas memutuskan untuk tidak menceritakanya.
Bagas berlari ke lantai bawah, tentu menggunakan lift, untuk bertemu dengan Vania. Saat Bagas melihat Vania, Vania masuk ke dalam ruang osis. Sekarang, tempat itu menjadi tempat yang tidak ingin Bagas kunjungi. Bagas bersumpah dirinya akan menjauhi ruangan itu. Bagas ingin berjalan melewati ruang itu, untuk sampai di kelas, Bagas harus melewati ruangan itu. Bagas berhitung dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fault
Teen FictionBagas Baswara, lelaki tampan yang menyungkai olahraga basket. Hidupnya yang sebelumnya damai berubah menjadi suram. Bagas menghamili seorang gadis, Vania Jovanka. Bagas tentu akan bertanggung jawab atas perbuatanya. Tetapi pada akhirnya dirinya kehi...