39. chance?

56 4 0
                                    

P.s :
jangan lupa sambil dengar lagu & kinda !Mature!

...

Vania terdiam mendengar kata-kata yang keuar dari mulut Bagas. Vania menatap Bagas dengan pandangan kosong. Vania tidak tau akan berkata apa, apa karena hatinya sudah terlalu sakit mendengar kata-kata itu? Bagas yang melihat reaksi seperti ini dari Vania tentu muncul ketakutan yang membesar. Bagas takut Vania akan meninggalkanya atau memintanya cerai, tapi Bagas yakin Vania tidak seperti itu. Bagas menyentuh tangan Vania, menggenggam tangan itu erat-erat. Vania yang awalnya diam setelah mendapat sentuhan Bagas di tangan, Vania segera membuang wajahnya.

"Aku tau kalau kamu gak bisa maafin aku, tolong.. beri aku satu kesempatan."

"Kenapa Gas..? Selama ini aku kurang baik ya..? Aku kurang cantik? Aku gak bisa ngurus anak? Aku—"

"Enggak Va, aku salah, kamu jangan pernah salahin diri kamu sendiri."

"Terus kenapa? Kenapa kamu mabuk, terus berakhir kayak gini!?"

"Aku minta maaf. Kemarin pikiran aku kacau banget."

"Oh, jadi habis kamu lakuin itu pikiran kamu gak kacau lagi?"

"Kamu kok ngomongnya gitu?"

"Terus? Enak ya habis tidur sama orang, enak ya Gas..?"

"Mulut kamu Va! Kenapa bilang gitu!?"

"Kenapa!? Aku salahnya dimana! Karena aku gak bisa kasih, jadi kamu dengan mudahnya tidur sama orang!?"

"Aku sudah jelasin! Aku kan gak sadar!"

Vania hanya bisa menangis, baru kali ini dirinya dan Bagas beribut besar. Vania hanya memilih untuk diam, Vania harus ingat bahwa sekarang dirinya sedang di rumah sakit. Rumah sakit saat ini keadaanya tidak ramai, tapi masih ada beberapa orang yang duduk di taman ini dan Vania tidak ingin mereka menjadi pusat perhatian.

"Aku mau balik ke kamar Alvin. Plis, kamu jangan ke kamar dulu malam ini. Kamu bisa tidur di apart atau dimana terserah kamu."

"Jangan lari Va! Masalah ini belum kelar!"

Vania menghiraukan teriakan Bagas dan hanya tetap berjalan masuk menuju gedung rumah sakit. Vania segera menekan tombol lift menuju lantai dimana kamar rawat inap Alvin berada. Saat di dalam lift air mata Vania tidak bisa ditahan lagi, ini terlalu sakit. Sakit sekali. Vania selalu memberikan kesempatan untuk Bagas, tapi kenapa? Kenapa Bagas tidak pernah memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. 

Vania disini tau, dirinya tidak pernah melakukan hubungan suami istri semenjak dirinya menikah dengan Bagas. Vania tau, mungkin Vania juga salah disini. Vania memiliki beberapa alasan untuk tidak melakukan itu. Vania sibuk mengurus rumah, Alvin, dan akhir-akhir ini Vania mengurus kafe yang akan didirikanya dan sahabatnya sejak SMP. Vania tidak mungkin mengabaikan kafe itu, kafe itu sepenuhnya di modalkan oleh Chelsi, Vania akan memanfaatkan modal itu dengan baik.

Vania masih memiliki taruma yang dalam pada dirinya, Vania ingat saat dulu Bagas bertindak kasar saat melakukan dengan dirinya. Vania ingat, sangat jelas, ingatan itu masih menempel di kepalanya. Perkataan kasar dan bahkan perkataan yang tak senonoh keluar dari mulut Bagas.

"Ah, gue baru tau badan lo seenak ini. Coba dari dulu lo kasih ke gue!"

"Gue gak yakin ini pertama buat lo, kok bisa nikmat banget!?"

"Kenapa nangis? Bukanya enak? Jangan sok jual mahal gitu dong."

"Desah bego! Kok lo nangis si!? Udah tenang aja nanti gue bayar!"

Bagas terus menekan lebih dalam, bahkan saat Vania berteriak untuk berhenti Bagas memilih untuk menghiraukanya. Vania tidak sadarkan diri di saat Bagas masih sibuk menggempur dirinya, Vania sudah tidak tau lagi apa yang akan terjadi pada dirinya. Saat Vania terbangun rasa perih di bagian bawah tubuhnya terus bergejolak, bahkan semua tubuhnya terasa sulit digerakan, lehernya sudah penuh dengan kemerahan, bahkan beberapa memar dibagian lenganya, tidak hanya dilengan, tapi bagian tubuh lainya juga.

"Alvin, sayang.. maaf ya. Mama papa selalu jadi yang terbaik buat kamu."

...

Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam, Bagas memilih untuk datang ke kost Reihan. Bagas tidak pulang ke apartemenya. Saat kedatangan Bagas di kost Reihan, Reihan tidak begitu terkejut. Bagas pasti sedang bertengkar dengan Vania. Bagas datang membawa dua kotak pizza. Mana bisa Reihan menolak jika seperti ini.

"Sorry yak kost gue berantakan, lagi banjir orderan."

Bagas melihat potongan kain dimana-mana, serta kertas-kertas rancangan yang tertempel di dinding. Bagas melihat Reihan yang sedang fokus menjahit. Reihan sepertinya akan bergadang malam ini, sedangkan Bagas memilih untuk tiduran di kasur Reihan.

"Gue berantem."

"Ya-iyalah, gue malah heran sama Vania kalau dia gak marah sama lo."

"Lucu lo."

"Gue serius, gue kenal sama dia lumayan lama. Lo inget dulu, pas gue ngelakuin kesalahan, saat itu dia bener-bener gak pernah negur gue lagi. Sekarang aja negur, karena gue sepupu lo."

"Terus?"

"Gue cuman kasih tau, dia kalau udah benci sama orang dan dia udah kasih kesempatan buat perbaikin, manfaatin itu dengan baik. Sekali lo ngulangin, dia gak akan main-main buat gak bakal ngeliat lo lagi."

"Gue takut, baru kali ini Vania suruh gue pergi jangan temuin dia dulu. Besok kayaknya Alvin sudah boleh pulang. Gimana gue mau jemput?"

Reihan hanya mengangkat bahunya tanda tak tahu, toh itu urusan Bagas bukan Reihan. Urusan Reihan hanya menyelesaikan orderan. Saat Reihan fokus dengan pekerjaanya, Bagas mendekat, melihat pekerjaan Reihan. Perasaan Reihan sudah tidak enak jujur saja, sepertinya ada yang Bagas ingin bicarakan.

"Han.. bantu gue ya..?"

"Gak! Gila lo, gue udah sangat baik ya ngambilin mobil lo! Tuh mobil masih dibawah."

"Plis.. gue takut.."

"Dih! Kagak! Urus sendiri."

Bagas hanya bisa pasrah, menghela nafas. Bagas membuka ponselnya, membuka media sosial, melihat Arya memposting sesuatu. Terlintas di benak Bagas, Arya mungkin bisa membantunya.

...

"Hai..? Salam kenal, gue Arya temen Bagas."

Dalam hati Arya ingin sekali mematahkan leher Bagas. Arya benar-benar tidak tega mendengar cerita Bagas, dan dengan baiknya Arya menyetujui Bagas, bahwa dirinya yang menjemput Vania dan Alvin.

"Iya, gue Vania, ini Alvin.. kalau gue boleh tau, Bagas dimana ya?"

"Gue juga gak tau, dia bener-bener gak kontakan sama lo?"

Sambil mereka berbincang ringan, Arya menawarkan diri untuk membawa tas mereka, karena Vania sedang mengendong Alvin. Arya dan Vania berjalan menuju mobil Arya. Saat di mobil Arya bercerita tentang perkuliahan Bagas. Bagas orangnya penurut, dan selalu pulang tepat waktu. Setiap temanya mengajak jalan, Bagas selalu menolak dan langsung pulang, jikapun Bagas ingin ikut, Bagas pasti selalu memberi kabar terlebih dahulu ke Vania.

"Ya, gue tau Bagas sudah berhasil jadi sosok ayah yang baik."

Arya mengangguk.

"Tapi dia belum berhasil menjadi suami yang baik."

Arya menoleh ke Vania, Vania pun balik melihat Arya. Vania yakin Bagas pasti sudah menceritakan masalah ini ke Arya. Bagas jika ada masalah, pasti semua orang diajaknya bercerita. Vania hanya tertawa melihat Arya kebingungan.

"Jadi lo bakal kasih kesempatan gak buat Bagas..?"

My FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang