21 | coklat

463 91 62
                                    

Pertengahan Februari, 2013.

"Lagi ngapain?"

Gadis kecil yang rambutnya dikuncir dua itu hanya menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan pot berisi tunas bunga di tangannya. Jemari mungil yang sudah kotor dipenuhi lumpur itu tidak berhenti mengeruk tanah gembur di depannya dengan sekop. Tidak peduli jika lumpur itu bisa mengotori seragam merah-putihnya.

"Berantem lagi sama Kak Yaya?"

"Nggak." sergahnya. "Abang jangan dekat-dekat, aku lagi badmood."

Cowok berseragam putih-biru yang dipanggil abang itu ikut berjongkok di sebelah adiknya. Tangannya terjulur untuk menyentuh dagu adiknya, membuat gadis kecil itu seketika mendongak menatapnya.

"Kenapa?" Obsidian hitam yang dinaungi alis setebal ulat bulu itu meneliti wajah adiknya. "Mau cerita sama Abang?"

"Nggak mau, Abang." tolak gadis itu, menepis tangan Abangnya lalu kembali sibuk memindahkan tunas bunga mawar dari pot ke tanah yang sudah ia gali tadi. Tepat di samping tanaman mawar lain yang kelopaknya sudah bermekaran.

"Mending Abang masuk terus makan, 'kan Abang baru pulang sekolah."

Seakan tidak peduli dengan kalimat adiknya, cowok itu meletakkan telunjuk di dagu—sok berpikir. "Hm, kalo bukan berantem sama Kak Yaya, pasti ada yang nggak beres di sekolah."

Kalimat bernada tebakan itu sukses membuat gadis kecil itu menoleh cepat. "Kok, Abang tahu?"

"Apasih yang Abangnya Ghea ini nggak tahu?" Cowok itu mencubit pipi gembil Ghea, yang membuat si empunya langsung cemberut.

"Ah nggak asik!" gerutu Ghea. "Kan aku jadi nggak bisa sembunyiin apapun dari Abang!"

"Emangnya kenapa sihhh? Kamu mau sembunyiin apa dari Abang?"

Ghea tidak menjawab, sibuk menepuk-nepuk tanah di sekitar tunas yang ia tanam.

"Oh, jangan-jangan sudah ada cemceman di sekolah, ya?"

Ghea langsung melotot mendengarnya. "Apaan sih, Abang!"

"Ciee anak kecil udah main cinta-cintaan aja. Bilang Bunda nih."

"Nggak gitu ya, Abang! Jangan sampe aku lempar ini tanah ke seragam Abang, ya!"

"Dih galak banget kayak Yaya." Cowok itu terkekeh.

"Nggak ya, jangan samakan aku dengan Nyai Ronggeng itu!" sungut Ghea berapi-api. "Heran deh, punya kakak kembar tapi beda seratus persen!"

"Ya 'kan, Abang cowok. Kalo Yaya cewek."

"Bukan itu ish Abang!" Ghea mendelik ke arah Abangnya. "Maksud aku tuh sifat kalian berbanding terbalik. Kalo Abang sabar banget, Kak Yaya itu sumbu pendek, sekali kesulut langsung kebakaran."

Abangnya tergelak mendengar penuturan Ghea. "Kamu tuh sama kayak Yaya, tau. Galak banget kalo udah marah."

"Abaanggg!" rengek Ghea, tidak setuju dengan pendapat Abangnya. "Beda! Pokoknya aku beda sama Kak Yaya!"

"Yaudah deh, iya." Cowok itu mengusap rambut Ghea pelan. "Jadi, ada apa di sekolah? Ada yang jahatin kamu?"

Ghea menghela napas, diikuti bahunya yang turun melemas. "Apa pendapat Abang lihat ini?" Ghea nyengir dengan tatapan datar, memperlihatnya salah satu gigi depannya yang tanggal.

Abangnya terkekeh lalu kembali mencubit pipinya. "Kenapa emangnya? Adik Abang makin manis ini."

Ghea berdecak melihat respon Abangnya. "Jujur deh Abang, aku kelihatan jelek 'kan?"

Cadel's Love Journey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang