35 | a slight hint

519 67 110
                                    

Ghea memasukkan ponselnya ke dalam saku sambil menjejaki lantai, melangkah keluar dari bangunan rumah sakit setelah membalas pesan bunda. Wanita itu bertanya untuk memastikan sesuatu dan Ghea hanya membalasnya singkat. Hari ini Ghea menemui psikiaternya lagi setelah sekian lama. Masih dengan seragam lengkap serta tas di punggung.

Dulu sekali, Ghea pernah rutin ke psikiater hingga akhirnya bisa mengendalikan diri secara perlahan-lahan. Mempertahankan kewarasan ketika diri sendiri menolak berusaha adalah hal paling mengerikan yang pernah Ghea alami. Tapi syukurlah, sekarang Ghea hanya mengunjungi psikiater ketika insomnia-nya dirasa makin menyiksa. Sebenarnya Ghea tidak menyangka dirinya berhasil bertahan melewati momen paling hitam dalam catatan hidupnya.

Kalau biasanya Ghea pulang membawa resep obat tidur di tangan, maka kali ini berbeda. Ia keluar dari ruangan dokter tanpa membawa apa-apa. Bahkan pil tidurnya dari pertemuan sebelumnya masih tersisa. Psikiater-nya bilang Ghea kelihatan berseri-seri hari ini. Hal itu jugalah yang membawanya menceritakan keajaiban mengenai tidur nyenyaknya beberapa hari lalu.

Ya, ini semua berkat seseorang yang akhir-akhir ini sering memenuhi pikirannya. Siapa lagi kalau bukan Elan. Cowok itu seakan hadir sebagai distraksi indah nan menyenangkan yang berhasil menghentikan kepalanya mencipta awan kelabu. Langkahnya semakin ringan saat berjalan menuju halte terdekat.

Baru saja mendudukkan pantat di kursi bus, ponselnya bergetar. Ada panggilan masuk dari seseorang yang sudah lama Ghea nantikan. Sempat menarik napas dalam, Ghea menggeser icon jawab di sana.

"Halo?"

"Jadi gimana?" tanya Ghea tanpa basa-basi.

Keheningan hadir sejenak, sebelum suara kekehan terdengar dari seberang. Ghea melipat dahinya. 

"Kenapa malah ketawa? Waras lo?"

"Gue masih nggak terbiasa aja dengan perubahan sikap lo yang begitu drastis."

"Kenapa emang? Lo ada masalah karena hal itu?"

"Nggak."

"Yaudah lebih cepet bisa nggak?"

"Nggak sabaran amat."

Ghea berdecak. "Sebenarnya lo niat nggak sih bantuin gue?"

"Oke kalo gitu langsung aja." katanya. "Dengerin baik-baik, gue hanya akan ngomong ini sekali."

"Dari tadi kek." gerutu Ghea, namun mulai memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan informasi penting dari Regio.

Ya, orang yang meneleponnya saat ini adalah Regio, cowok yang pernah ia bucini setengah mampus. Ghea sudah membongkar niat terselubungnya pada cowok itu saat di Panti Jompo lalu. Ia ingin tahu semua informasi yang Regio punya demi memecahkan misteri janggal terkait kematian Dewa, abangnya.

"Ini bukan hal yang bisa gue bilang benar seratus persen, jadi lo yang harus pastikan sendiri."

"Ya?"

"Gue hanya bisa kasih clue, selebihnya itu jadi tugas lo untuk menebak. Setelah lo benar-benar yakin, lo bisa dateng ke gue untuk penjelasan lanjutan nanti."

"Okay?"

"Tapi, ada satu hal yang bikin ini jadi lebih beresiko ... " Regio memberi jeda sejenak, terkesan ragu untuk melanjutkan kalimatnya. "... untuk lo."

Ghea menelan ludah gugup. Menanti kalimat lanjutan Regio berhasil membuat pikirannya mulai merangkai skenario paling buruk. Tidak, ia harus berpikir positif sekarang.

"Ini masih ada hubungannya sama Elan."

Ghea merasakan jika tarikan napasnya terjeda ketika kalimat itu terlontar. Genggaman pada ponselnya menguat. Ia sedang berusaha mengumpulkan keping demi keping keyakinan jika tebakan ngawur di kepalanya ini tidaklah benar.

Cadel's Love Journey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang