46 | shattered

392 55 63
                                    

Ghea mengerjapkan kedua matanya, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk menusuk retinanya. Kepalanya masih berdenyut dengan pusing yang mendera.

Dahinya berkerut ketika matanya memindai ruangan perlahan. Menyadari jika ia berada di kamarnya.

"Eh, udah bangun?" Itu suara Bundanya.

Kepalanya terasa berat ketika Ghea menegakkan tubuh. Begitu pula denyut di lututnya yang membiru. Sakit, tapi Ghea tidak punya tenaga untuk mengeluh.

"Elan mana?"

"Kamu ini ..." Marina menggeleng. "Padahal Bunda baru pulang, yang ditanyain malah pacar duluan." 

Wanita itu menyentuh dahi Ghea pakai punggung tangannya, memeriksa suhu tubuhnya.

"Syukur panasnya udah turun." ujarnya lega. "Kamu demam dari semalem, sekarang istirahat dulu ya."

Tidak menghiraukan perkataan Marina, Ghea mengulangi pertanyaannya sekali lagi dengan suara parau.

"Elan ... mana ... Bunda?"

"Kemarin kamu pingsan di rumah Kalea pas Bunda dateng. Udah Bunda bilang 'kan, kalo hujan di dalem aja."

Begitu saja, sekelebat memori menghantam kepalanya tanpa permisi. Menyakitinya begitu instan hingga matanya mulai terasa lembab.

"Ghea harus ketemu Elan." Gerakannya terburu-buru, melepas selimut dan berdiri tegak seolah kepalanya tidak terasa berputar. "Ghea nggak boleh biarin Elan pergi."

Marina yang tidak mengerti anaknya kenapa langsung menahan tubuh Ghea, membawanya kembali duduk di kasur dan memeluknya erat.

"Ghea mau ketemu Elan, Bunda!" isaknya pilu. Sesak dan perih menyatu dalam dadanya ketika mengingat Elan telah meninggalkannya kemarin.

Mungkin karena ia juga menangis dalam tidurnya, matanya kian memerah. Kantung di bawah mata juga menjelaskan segalanya. Bahwa Ghea sedang tidak baik-baik saja sekarang. Seluruh tubuhnya terasa remuk, seakan habis berlari berpuluh-puluh kilometer jauhnya.

"Bunda rasa, kamu habis mimpi buruk." Suara Bunda menggema di telinganya. "Nggak papa, semuanya bakal baik-baik aja, Ghea." Bunda mengelus punggung anaknya hati-hati.

Tidak ada yang baik-baik saja. Ghea terlambat mengejar Elan. Ghea sudah kehilangan cowok itu.

Tangis Ghea makin pecah di pelukan Bunda. Marina seolah dihantarkan kembali pada masa-masa di mana Ghea selalu menangis secara tiba-tiba. Menyakiti dirinya sendiri karena menganggap bahwa ialah penyebab kematian Dewa. Marina tidak sanggup membiarkan anaknya menangis seperti ini lagi.

"Jangan nangis lagi ya, Nak." pintanya lirih. "Bunda nggak sanggup liat kamu sedih gini."

Tarikan napas Ghea mulai teratur. Kebanyakan menangis mungkin membuat tenaganya terkuras habis. Marina bersyukur jika pelukannya bisa menenangkan anaknya. Membuatnya kembali berbaring. Marina menyelimuti Ghea sampai batas dada.

Ghea menyerah ketika tubuhnya mengambil alih, memaksanya beristirahat sebentar lagi. Kelopak mata Ghea menutup ketika Marina memberikan kecupan di dahi anaknya.

"Nanti kita temuin Elan kalau kamu sudah baikan."

(⁠ ⁠˶⁠ ⁠❛⁠ ⁠ꁞ⁠ ⁠❛⁠ ⁠˶⁠ ⁠)

Seolah diburu waktu, Ghea merasa tidak perlu menunggu tubuhnya kembali pulih untuk menemui Elan. Maka dari itu, pada pagi berikutnya Ghea bergegas mendatangi rumah Elan namun kata Mami cowok itu sudah berangkat bekerja. 

Tidak peduli walau penampilannya berantakan dengan mata bengkak dan rambut yang sudah tidak tergerai rapi, Ghea membawa dirinya menuju J'skies Studio.

Tempat itu tidak begitu ramai ketika Ghea melangkah masuk, mungkin masih terlalu pagi. Ghea melangkah lebih jauh, bertemu tatap dengan Abby yang seolah terkejut.

Cadel's Love Journey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang