25 | pengawal

481 78 142
                                    

Marah, kesal, jengkel dan risih adalah perasaan yang tersisa setiap kali Regio bertemu Ghea. Semua emosi itu sudah sering ia rasakan sejak Ghea datang dalam hidupnya. Cewek itu sering kali mengacaukan mood baiknya dengan segala tingkahnya yang meresahkan.

Tetapi untuk pertama kalinya, Regio merasakan satu emosi lain. Sesuatu yang mengikat dadanya, membuatnya sesak dalam rasa bersalah yang kian hadir setiap ia bertemu tatap dengan gadis itu.

Regio akui, ia memang lancang dengan mencoba mengorek kisah kelam gadis itu terlampau jauh. Namun, ia sendiri juga tidak mengerti mengapa dirinya refleks mempertanyakan kebenaran dari kisah yang selalu Ghea ceritakan kepadanya.

Sebut saja Regio kepo. Ia memang sedikit tertarik dengan cerita bersambung Ghea. Regio tidak menyangka saja, jika ketertarikannya itu sekarang membawa dampak yang tidak bagus.

Maka dari itu, Regio mencoba segala cara untuk membuat perasaannya jadi sedikit tenang dengan mendekati cewek itu. Ia menyadari jika tindakannya sekarang memang terlalu brengsek. Regio sadar betul, jika ia memberikan sedikit saja perhatian, bisa jadi Ghea akan salah paham.

Tapi tidak, Regio melakukan ini murni karena rasa bersalahnya. Ia memang betul-betul seorang bajingan. Silahkan menghujat.

Setelah sok baik dengan membantu Ghea memanggang cookies, ia juga membuntuti cewek itu dan mengambil alih semua pekerjaan yang sedang Ghea lakukan. Mulai dari membuang sekantong besar sampah bekas bahan-bahan membuat cookies tadi, membersihkan semua meja dari ceceran tepung, hingga mencuci peralatan yang tadi digunakan.

Ghea hanya diam saja ketika Regio memberikan bantuan. Cewek itu tidak terlihat menolak atau menerima. Tidak ada reaksi yang jelas dari Ghea, tatapannya masih saja datar dan itu sangat mengganggu Regio.

Maka setelah selesai mencuci loyang terakhir, Regio menghampiri Ghea yang sedang duduk manis sambil meminum segelas teh. Ia menarik kursi di depan Ghea dan mendaratkan bokong semoknya di sana.

Sebelum memulai, Regio memandang sekitar. Dapur sudah sepi lantaran semua orang sudah berada di lapangan depan. Mengikuti senam sore yang biasa diadakan dengan Jauzan sebagai instruktur abal-abal.

"Gue mau ngom—"

"Udah selesai acara 'sok baiknya'?" Ghea memotong telak. Meletakkan cangkirnya di atas meja sebelum menatap nanar sosok Regio di hadapannya. "Semua bantuan lo tadi, itu karena lo ngerasa bersalah 'kan?"

"Bagus kalo lo ngerti."

Terdengar decihan pelan dari Ghea. "Lo memang nggak ketebak. Terlalu blak-blakan hingga bikin gue sedikit sedih. I guess?"

Regio terlihat tidak terpengaruh sama sekali oleh kalimat Ghea barusan. Cowok itu justru menyorot lurus netra Ghea. "Gue mau ngomong sesuatu."

"Silahkan, toh gue nggak ngelarang."

"Gue langsung aja ya," ujar Regio. "Buat kelancangan gue sebelumnya, gue minta maaf dengan tulus."

"Kelancangan apaan?"

"Gue nggak seharusnya memaksa lo untuk jujur mengenai kisah si Pardin."

"Nggak perlu."

Regio mengangkat alis, tidak mengerti dengan perkataan Ghea.

"Lo nggak perlu minta maaf. Gue memang bermaksud memberitahukan hal itu ke lo pada akhirnya."

"Maksudnya?"

"Lo nggak penasaran kenapa gue selalu ceritain hal yang sama ke lo? Tentang kisah si Pardin dan tetek bengeknya."

Melihat Regio yang diam saja, Ghea menyatukan kedua tangannya di atas meja sebelum berujar. "Gue rasa, lo berniat menanyakan hal itu juga ke gue."

Cadel's Love Journey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang