50 | bare truth

478 65 109
                                    

Sejujurnya, Ghea agak sedikit tidak percaya. Pasalnya orang yang mengaku-ngaku kakak sepupu Elan itu tiba-tiba menelepon dan mengatakan kalau ia sudah berada di depan rumahnya. Ghea sempat mengira kalau abangnya Elan ini sedang mabuk atau sawannya lagi kumat.

Namun semua praduganya meleset telak. Di luar pagar rumahnya, Ghea mendapati cowok itu berdiri di depan mobil silver-nya. Sedang menatapnya sambil melambaikan tangan.

"Haloo! Gue Lentera." cengirnya. "Lo boleh panggil gue Tera atau apapun asal jangan Lente apalagi Terajana."

Satu yang bisa Ghea simpulkan setelah berjumpa langsung. Tera ini sebelas-dua belas dengan Elan. Tuhan memang adil. Ada manusia setampan ini, tetapi otaknya rada miring. Memang kesempurnaan hanya milik Yang di Atas.

Tera membukakan pintu untuknya, Ghea menurut karena penampilan cowok itu tampak cukup beradab. Tidak terlihat seperti preman jahat atau psikopat kejam.

"Lo beneran kenal sama abang gue?" Ghea melontarkan tanya tepat ketika Tera baru duduk anteng di kursi kemudi.

"Iya, abang lo yang satu itu cerewet banget!" Tera mengemudikan mobilnya pelan. Membawanya berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya. "Kami pertama kali ketemu di rumah Elan. Di antara temen-temen Elan yang lain, Dewa ini yang paling bawel. Tapi humornya anjlok parah, gue cepet akrab sama dia karena itu. Gue napas doang dia udah ngakak."

Ghea tertegun mendengarnya. Dewa yang diceritakan Tera bukanlah abang yang selama ini ia kenal. Mungkin karena bersama Ghea, Dewa lebih banyak jadi pendengar. Pasif dan tertutup adalah kata paling tepat untuk abangnya. Tetapi sekarang ia diijinkan mendengar sisi lain Dewa yang tidak ia ketahui sebelumnya.

"Dia suka curhat kalau kepalanya hampir meleduk ngadepin Regio sama Elan yang sering cekcok kayak pasutri lagi marahan. Gue bantu ketawa aja waktu itu." Tera tergelak mengingatnya. "Gue paling geli kalo dia udah pamer kebucinannya. Pernah suatu kali, dia sengaja telponan sama ceweknya di depan gue. Pake segala loudspeaker diaktifin, gue sampe tau ceweknya habis sarapan bubur keasinan waktu itu."

Ghea menyimak dengan seksama. Ini benar-benar baru untuknya. Ternyata Dewa punya sisi manis yang hanya cowok itu perlihatkan pada orang-orang tertentu saja.

"Dewa itu temen yang asik. Asik diajak gila bareng, asik diajak main, asik diajak ngobrol serius. Dia bahkan kasih advice kalo diperluin."

Kali ini, rona ceria di wajah tera perlahan luntur dan berubah jadi lebih serius dinaungi kabut penyesalan.

"Sorry, gue jarang ada buat dia pas lagi terpuruk. Gue nggak tau kalau dia pernah ngelewatin waktu-waktu sulit. Gue terlalu sibuk ngurus kuliahan sampai akhirnya gue dapet kabar Dewa udah nggak ada. Gue telat dateng karena waktu itu gue udah pindah ke Australia."

Tidak ada yang bicara lagi setelahnya. Mobil berbelok memasuki parkiran sebuah gedung apartemen. Tera lebih dahulu keluar, mengelilingi mobil lalu membukakan pintu untuknya. Ghea turun perlahan, menatap bagunan tinggi di hadapannya.

Angin malam yang berhembus meniup permukaan kulitnya, Ghea mengeratkan sweater yang membungkus tubuh hangatnya. Karena masih demam, ia sedikit mengigil dibuatnya.

"Ikutin gue." ajak Tera melangkah masuk lebih dahulu. Cowok itu sempat menyapa satpam yang berjaga. Seolah sudah akrab sejak lama.

Ghea ragu-ragu melangkahkan kakinya, namun cewek itu memilih mengikuti Tera. Mereka memasuki lift dan berhenti di lantai sembilan. Tera memasukkan pin pada layar persegi di hadapannya sampai terdengar bunyi bip kecil.

Tera masuk terlebih dahulu disusul Ghea setelahnya. Apartemen itu tidak begitu luas, hanya ada satu kamar tidur dan satu kamar mandi yang terletak di bagian ujung.

Cadel's Love Journey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang