52 | danger zone

485 65 51
                                    

TW: suicide, self harm, mention of blood.

***

Langit masih menyisakan beberapa awan berwarna jingga yang berpendar indah walau perlahan diselimuti gelapnya malam. Pepohonan rindang di tepi pantai tampak ikut menghitam seiring dengan cahaya meredup. Tidak terlampau gelap karena cahaya dari langit masih menjadi penerangan di sana.

Ghea melirik jam tangan kecil di pergelangan tangan kiri untuk kesekian kalinya. Sudah hampir setengah jam ia berdiri di atas dermaga kayu yang menghadap langsung pada luasnya samudera di depan sana. 

Seseorang yang berada di pinggir dermaga dan tengah duduk dengan juntaian kaki menggantung di atas laut masih tenang menatapi pemandangan di depannya. Seperti mengabaikan kehadiran Ghea di sampingnya.

Ghea tidak dengan sukarela mengikuti Katisha ke sini hanya untuk melihat cewek itu menikmati berkaleng-kaleng bir setengah jam lamanya. Ia punya tujuan tersendiri.

Ghea memang berniat untuk menemui Katisha demi meluruskan sesuatu. Namun cewek itu duluan mengajaknya mengobrol serius ketika Ghea baru tiba di pesta pernikahan Lentera. Mungkin memang inilah waktu yang tepat untuk melakukannya.

Sebagian kepalanya memikirkan sosok cowok yang ia lihat di pesta tadi. Saat tatap mereka bertemu, ada kerinduan mendalam yang berkilat di matanya. Ghea pun merasakan hal yang sama. Ia yakin, jika dirinya tidak memutus pandangan maka ia akan berlari menghambur ke pelukan Elan detik itu juga.

Maka dari itu, ia harus menyelesaikan semuanya malam ini. Ia tidak sabar memeluk kembali kebahagiaannya yang sempat menjauh darinya.

Ghea masih mendengar sambil lalu ketika Katisha menelepon seseorang sambil tertawa-tawa. Ia tidak bisa jelas mendengar apa yang dikatakan Katisha karena suara ombak menyamarkannya.

Setelah telepon usai, cewek itu belum juga mengatakan apa-apa. Ghea jadi makin tidak sabar dibuatnya. Ia melangkah maju, menepuk pundak Katisha pelan.

Cewek itu menoleh dengan mata kuyu. Katisha tampak berantakan dengan rambut tergerai yang sudah tertiup angin laut.

"Kenapa? Lo mau?" Katisha mengangkat kaleng bir di tangan. Bau menyengat dari cairan itu menekan indra penciumannya. Menguar di udara terbuka. Membuat Ghea mundur beberapa langkah.

"Lo bilang kita harus bicara, tapi lo belum ngomong apa-apa dari tadi." Ghea berujar pada cewek yang wajahnya mulai merona karena alkohol itu. Beberapa kaleng bir kosong berserakan di sampingnya.

"Santai dikit." jawab Katisha. Menenggak kembali cairan dalam kaleng tersebut. "Minuman gue belom abis nih."

"Gue nggak punya banyak waktu. Bisa nggak langsung ke intinya—"

"Orang tua gue ngebuang gue ke panti asuhan sejak bayi." Katisha memulai dengan helaan napas panjang. "Masa kecil gue penuh kecemasan karena gue harus menjaga sikap kalau mau diadopsi dan mendapatkan keluarga. Meski berpura-pura itu nggak mudah, akhirnya gue diadopsi. Tapi nggak bertahan lama karena pasangan itu hanya menjadikan gue pancingan. Setelah mereka mendapatkan anak, gue dikembaliin ke panti."

Katisha tertawa kering seolah sedang mengejek dirinya sendiri. Ghea hanya diam mendengarkan.

"Kejadian itu terulang beberapa kali sampai gue menyadari, kalau kehadiran gue di dunia ini nggak diinginkan, nggak diharapkan bahkan oleh orang tua kandung gue. Pasangan yang mengadopsi gue pun rata-rata menyembunyikan keberadaan gue, seolah dunia nggak boleh tau."

Katisha tiba-tiba terbahak seolah ada yang tengah menggelar pertunjukan topeng monyet di sana.

"Lo tau bagian lucunya apa?" tanyanya di sela tawa. "Ada orang yang mengaku ayah kandung gue dan meminta gue kembali. Saat itu gue masih umur sembilan tahun. Seorang anak kecil yang punya banyak impian dan harapan bisa hidup bahagia seperti orang lain. Punya keluarga yang hangat dan menyayangi gue sepenuh hati. Tapi harapan gue dipatahkan untuk kesekian kalinya karena lagi-lagi gue disembunyikan."

Cadel's Love Journey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang