54 | surprise (END)

1K 79 250
                                    

──Lima tahun kemudian──

Perut yang mulai membuncit sama sekali tidak melayukan langkah kedua kaki berbalut sepatu kets putih pada sebuah nisan abu-abu.

Ghea meletakkan beberapa bunga dan menyusunnya sejajar. Setelah mengirimkan doa, Ghea menyunggingkan senyuman. Sudah lama ia tidak berkunjung ke sini.

Orang bijak pernah berkata jika apapun yang kita miliki sebenarnya hanyalah titipan. Seseorang yang pernah kehilangan sesuatu yang ia kira adalah miliknya selamanya akan menyadari bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang benar-benar menjadi miliknya.

Semua orang pernah kehilangan sesuatu yang berharga. Kehilangan kesempatan, kemungkinan, perasaan, bahkan seseorang yang tak akan pernah kembali lagi. Itulah yang dirasakan Ghea. Namun, bukankah semua itu adalah bagian yang membuat kita benar-benar hidup?

Suatu saat nanti, semuanya akan diambil dari pelukan kita dan kembali pada Sang Pencipta. Sesepele barang-barang yang kita punya, tidak perlu menaruh rasa kepemilikan yang tinggi, bisa saja sedetik kemudian semua itu direnggut dari kita. Tanpa pernah diduga. Tanpa perlawanan yang berarti.

Ponsel yang bergetar di saku menyentak lamunan Ghea. Ia berdecak ketika melihat nama yang terpampang di layar persegi tersebut. Ghea memilih mengabaikannya. Memasukkan kembali ponselnya di saku lalu beranjak menyetop taksi.

Sebenarnya, hari ini mood Ghea lagi berantakan. Dosen pembimbingnya mendadak membatalkan janji temu. Padahal Ghea sudah menunggu berhari-hari lamanya. Ditambah lagi suara ponselnya yang tidak berhenti terdengar ini.

Ghea melangkahkan kaki memasuki kamar hotel yang baru dua jam lalu ia tempati. Ya, ia kabur dari rumah tanpa sepengetahuan siapapun. Ia memang sengaja melakukannya.

Salahkan saja suaminya yang tidak pengertian itu. Bayangkan saja, Ghea hanya mengidamkan sesuatu tetapi suaminya itu tidak mau mengabulkannya. Coba katakan, istri mana yang tidak kesal mendapat penolakan begitu?

Baru saja Ghea duduk dan menyalakan televisi, ponselnya berdering lagi. Tanpa pikir panjang, Ghea menggeser tombol untuk menolak panggilan. Biar saja suaminya tahu jika Ghea marah padanya.

Setelah tidak berhasil menghubunginya, suaminya itu mengiriminya pesan beruntun. Ghea membacanya sambil mengunyah keripik.

Meine:
di mana?
kok dimatiin?
kata pak satpam kamu keluar sendirian
ke mana?
sayangg
angkat telfonnya
jangan bikin aku khawatir

Ghea:
gak usah cari aku

Meine:
astaga akhirnyaa
di mana sekarang?

Ghea:
g tau

Meine:
kamu marah?

Ghea:
g.

Meine:
kenapa? aku ada salah?

Ghea:
pikir sendiri

Meine:
gimana aku bisa tau kalo kamu nggak bilang


Ghea:
yaudah gak usah sok khawatir
aku udah nyaman sama tempat baruku

Meine:
oke fine, aku bakal cari sendiri
tolong jaga diri baik-baik sampe aku dateng
ya sayang?

Ghea hampir goyah dengan pesan terakhir yang suaminya ketik.

Lemah amat lemah! batinnya berkoar.

Ghea menggelengkan kepala, meneguhkan diri jika ia akan tetap ngambek sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Salah sendiri bertingkah. Ghea yang mood-nya gampang berubah bisa apalagi selain marah. Betul begitu kan? Kalo nggak mah bodo amat. Suka-suka Ghea.

Cadel's Love Journey ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang