Orang-orang berkata bahwa pria adalah makhluk visual, berbeda dengan perempuan yang cenderung menggunakan intuisi dalam setiap keadaan apa pun. Mereka, para pria, hanya akan mempercayai kejadian yang logis. Mereka, para pria, dianugerahi Tuhan sebuah otak yang menyukai hal-hal terstruktur.
Begitu sulit untuk membuat para pria yang dikenal Kara untuk mempercayai bahkan berada di pihaknya. Tentu saja, Kara tidak memiliki bukti yang konkret terkait pelecehan yang dialaminya.
Usai kejadian di mana Kara dimarahi habis-habisan oleh Awan atas kejadian yang di luar perkiraannya selama menjalani karir sebagai seorang aktris, perempuan itu jadi semakin sering terdiam dan mengurung di kamar. Mamalah sosok yang paling berperan untuk mencoba membangkitkan secercah harapan dalam diri putrinya tersebut.
Sampai Kara tidak mau berlarut-larut dalam kekalutannya. Perempuan itu turun dari kamar dan memilih untuk ke meja makan, disambut oleh mama dan papa yang seakan mencoba terbiasa melihat penampilan baru putrinya dengan corak kehitaman di area bawah mata.
Belum cukup dengan kantung mata yang hitam, area mata cantik Kara juga cukup bengkak dan bekas pipi sembabnya sudah memperjelas aktivitas yang dilakukannya selama mengurung diri di kamar, bukan?
Benar. Kara hanya bisa menangis, menangis, menangis ... juga menyalahkan dirinya sendiri.
Orang tua mana yang tidak hancur melihat putri semata wayangnya yang selama ini cukup ceria berakhir menjadi seperti ini?
Kara memperhatikan sup ayam di depannya, salah satu makanan favorit Kara yang dimasak langsung oleh mama. Sedetik berikutnya, perempuan itu menyunggingkan senyum masam.
Aneh, biasanya kalo lauknya ini gue nafsu makan. Ini kenapa kek males banget ya? Batinnya berkecamuk sendiri.
"Sayang, kenapa supnya cuma dilihatin aja?" tanya mama dengan nada khawatir. "Dimakan yuk, nanti dingin, lho."
Sang mama menatap ke arah papa seakan memberi kode untuk mencoba membantu mencairkan suasana yang cukup canggung. Namun, papa tampak enggan dan melanjutkan aktivitas makannya. Papa Kara yang memiliki kepribadian santai dan easy going juga memiliki prinsipnya tersendiri berupa tidak mau merusak aktivitas makan siang.
Bagaimana pun, makanan adalah rezeki dari Tuhan yang harus disyukuri dan tidak baik jika seseorang meratapi nasib atau pun menangis di depan sebuah rezeki pemberian Tuhan.
"Kara, kamu bisa cerita aja apa pun ke kami. Sekarang papa minta, kamu makan dulu, ya?" pinta sang papa sambil mengelusi rambut panjang berkilau milik anaknya. Sebenarnya, paras cantik Kara memang sangat mendukungnya menjadi seorang aktris. Sayang, nasibnya tidak semenawan visualnya.
Sang papa melanjutkan perkataannya yang sengaja dijeda sebentar, "makanan ini berkat Tuhan, lho. Berapa banyak orang-orang di luar sana yang kelaparan dan nggak punya kesempatan sama baiknya kayak Kara bisa makan dengan normal di ruangan yang nyaman kayak gini? Kamu nggak mau kan kalo nanti Tuhan cabut nikmat makan kamu?"
Kara, dengan tatapan kosongnya, menggeleng.
"Ya udah, makanya makan dulu, ya?"
Dengan otomatis, Kara mengangguk patuh lalu mulai menyendoki sup buatan mamanya ke dalam mulut. Rasa gurih, asin, dan pedas bercampur padu menimbulkan harmoni. Inilah rasa yang tak terlupakan buat seorang Kara.
Sekarang hatinya terasa jauh lebih baik. Bisa jadi, makanan enak adalah obat dari patah hati. Meski tidak membuat seseorang dari lukanya secara total, tetapi makanan enak bisa menjadi pelipur lara yang membantu seseorang untuk melupakan sejenak masalah hidupnya.
Saat Kara sedang asyik makan, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada sebuah notifikasi masuk. Refleks Kara terdistraksi dan mengambil ponselnya yang berada di samping mangkuk sup. Papa berdeham agar Kara menyelesaikan makannya dulu tetapi perempuan itu menggeleng.
"Nggak bisa, Pa. Ini notif dari Dika. Emang aku buat khusus dan beda notifnya, soalnya bisa jadi bahas pekerjaan penting dan urgent!" jelas Kara yang membuat papa mau tidak mau mengalah, sekarang jemari Kara dengan lihai membuka isi pesan dari Dika.
Saat membacanya, netra Kara resmi memelotot seketika ditambah dirinya tertegun. Bola matanya saja hampir bisa keluar dari sana. Aliran darah Kara seolah memanas dan jantungnya berdebar ketika membaca nama Jehan beberapa kali disebut.
"Ada apa, Sayang?" Ternyata mama peka pada tangan Kara yang bergemetar dan menggenggamnya bermaksud memberikan aliran kekuatan.
Tidak mau orang tuanya khawatir, Kara yang tadi panik cepat-cepat mengubah ekspresinya menjadi normal. Ugh, benar-benar seorang aktris yang pandai berakting! Hampir tidak ada seorang pun yang tahu kapan seorang Kara sedang jujur maupun tengah menyembunyikan sesuatu. Soalnya tidak ada bedanya, cara perempuan itu bersikap terlalu halus dan tidak kentara.
"Nggak kenapa-napa, Ma. Besok aku bakal diantar sama Dika ke PH Attacca, ada urusan di sana," ungkap Kara, mencoba menetralkan nada suaranya. Sulit sekali tidak memakai emosi pada hal-hal yang masih berkaitan dengan Jehan.
"Ngapain? Ada yang kamu sembunyiinkah? Kenapa kemarin mama sedikit denger kamu ribut sama Awan di bawah? Sebenernya ada apa?" tanya mama dengan nada menginterogasi, netranya menyipit.
Kara menggeleng tegas. "Nggak ada apa-apa."
Maaf, Ma, Pa. Aku terpaksa bohong dulu. Aku takut soalnya. Nggak ada yang percaya sama aku. Aku juga takut kalo kalian nggak percaya sama aku.
Akibat trauma mencoba memberanikan diri untuk speak up dan sayangnya tidak didengar maupun tidak dipedulikan sama sekali, Kara berakhir menjadi seperti ini. Perempuan itu ... menyembunyikan semua hal yang memalukan dan menyedihkan dari kedua orang tuanya.
Tadi saat sedang makan bersama, Kara membaca pesan dari Dika. Dika melalui pesannya, megucapkan kalau dirinya bermaksud memediasi perempuan itu dengan Bryan dan Jehan di Attacca Production House. Jujur saja, saat ini Kara benar-benar merasa sangat ketakutan. Tiap kali membaca atau mendengar nama Jehan disebutkan, peristiwa buruk itu kembali terngiang dalam kepalanya.
Seolah momen tersebut terpaku rapi di dalam otak dan tak bisa dilenyapkan sama sekali. Peristiwa tersebut terlalu membekas.
Oh, sial! Apa mungkin kalau Kara siap untuk bertemu dengan Jehan? Jawabannya tentu sama sekali tidak! Bertemu dengan Jehan sama saja seperti membuka kembali luka yang berusaha Kara pendam, tetapi nyatanya saat ini masa depan Kara dan karirnya yang baru saja dimulai ini sedang dipertaruhkan.
Kepala Kara benar-benar terasa penuh. Pada siapa Kara harus mengadu? Dia tidak ingin membebani kedua orang tuanya, Awan sudah tidak mau mendengarkannya, dan Bryan juga malah menyalahkannya. Orang yang paling dipercayai Kara yakni Dika juga malah menyudutkannya.
Perempuan itu terduduk lemas, kedua lututnya terasa begitu ringan dan tak sanggup menopang berat tubuhnya. Bahu Kara bergetar, buliran bening mulai membasahi parasnya yang menawan.
"Sampai kapan aku harus berpura-pura kuat? Aku lelah, aku lelah," lirih Kara entah pada siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Bad Popular Actor (18+)
Romance🔞WARNING🔞 "Lo siap nggak main film dewasa sama dia?" "Apa lo bilang? Film dewasa?!" *** Kara Tamara sangat ambisius ingin menjadi top aktris tapi alih-alih terwujud, rasa trauma lantas tercipta. Kara ditawari manajernya beradu peran di film roman...