Nikah?

2.1K 15 0
                                    

"Kamar kamu kosong, kan? Boleh nggak malem ini aku nemenin kamu?"

Sialnya, Kara benar-benar tak berkutik dan membiarkan dirinya dibawa masuk ke dalam oleh Awan. Rasanya seluruh tubuh Kara memanas dan mulutnya terkunci rapat. Awan langsung menarik tubuh Kara dalam gendongannya dan lantas membuka pintu kamar Kara.

Pelan-pelan Awan menurunkan Kara di atas ranjangnya. Wajah Awan dipenuhi kekalutan, demikian Kara yang tidak bisa berhenti berdebar kencang. Meski tidak pernah Kara sangka bahwa Awan ternyata seberani ini.

"Aku rindu kamu," ungkap Awan lagi. Suaranya menggelitik indra pendengaran Kara.

Kara menarik napas dalam-dalam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat di tengah-tengah kebingungan dan panas saat ini. "Boo, aku... aku mau minta maaf. Aku emang cukup sibuk belakangan ini, tapi aku nggak maksud menghindari kamu."

Takut. Betul, Kara sangat takut membayangkan apa saja yang akan terjadi antara dirinya dengan Awan malam ini. Namun, rasa penasaran juga ada.

Netra Awan tampak sayu, kesedihannya tidak bisa disembunyikan. "Aku rindu kamu, Sayang. Kerinduanku udah benar-benar sampai di titik itu. Titik di mana aku benar-benar pengen kamu seutuhnya."

Sebagai wanita dewasa, bohong kalau Kara tidak mengerti seluruh maksud perkataan Awan yang penuh arti tersebut. Awan ingin Kara memberikan pembuktian terkait hubungan mereka, yang tentu saja mengarah menuju kenikmatan duniawi itu.

Kara tidak berani menjawab apa pun. Jika dirinya menolak atau menghindari Awan lagi, pastilah pria itu benar-benar curiga bahwa Kara sudah benar lagi tidak mencintainya. Kedua tangan Awan dengan telaten menelungkup pipi Kara lembut, bertatapan lembut sejenak.

"Aku nggak mau kehilangan kamu, Sayang," lirihnya lembut dengan mengarahkan pipi Kara itu ke arahnya. Deru napas Awan dapat terasa dengan jelas. Seinci demi inci jarak di antara kedua wajah itu semakin menipis, tapi tiba-tiba saja suara ketukan kamar membuat Awan berhenti sejenak.

Kara mengangkat bahunya tatkala Awan memberi tatapan kebingungan, apakah mungkin di jam malam begini ada seseorang yang ingin mendatangi kamar Kara?

"Si ... siapa?" tanya Kara ragu-ragu.

"Ini gue, Kar." Suara Dika terdengar dari seberang sana membuat Kara lega, takut-takut Awan si posesif ini akan kembali salah paham.

Kara pun sangat terselamatkan berkat kehadiran Dika dan memilih meninggalkan Awan yang tampak bete. Perempuan itu membuka pintu kamar dan Dika berkata serius. "Sorry nih gue ganggu malem-malem, soalnya ada hal yang harus segera gue sampein sama lo."

Kara menatap Dika dengan kebingungan. "Ada apa, Dik?"

Dika terkejut saat melirik singkat ke dalam kamar Kara dan menemukan Awan yang sedang duduk di sana. Lantas Dika memelankan suaranya. "Lo nggak bisa usir dia dulu?"

Kara terpengarah dan tampak ragu-ragu tapi memilih menuruti perkataan Dika sebab bisa jadi Dika bermaksud menyelamatkannya dari skandal-skandal yang tidak penting.

"Boo, kamu bisa pergi dulu?" tanya Kara ragu-ragu.

Awan menatap Kara dengan tatapan bingung, tetapi akhirnya mengangguk perlahan. "Baiklah. Aku keluar."

Setelah Awan pergi, Dika menatap Kara serius. "Kar, gue punya suatu berita hangat yang pastinya ini harus lo ketahui, sih."

Kara mengangkat alisnya, merasa agak tidak nyaman dengan ketegangan yang terasa di udara ditambah dirinya terus-menerus dibuat penasaran. "Apaan, Dik?"

Dika mengambil posisi terduduk di atas ranjang Kara lalu membuka tasnya. Dengan ragu, Dika mengeluarkan beberapa kertas dari mapnya dan menyodorkannya pada Kara.

"Ini apa?" tanya Kara.

"Lo ambil aja."

Kara menuruti dan terkejut membaca headline-headline berita di sana, ditambah dengan penjelasan Dika yang membuatnya sukses melongo keheranan.

"Ini artikel-artikel yang baru saja dirilis. Mereka membahas tentang kedekatan lo sama Jehan dalam film 'Oh, My Crush!' dan spekulasi dari para penggemar tentang hubungan lo berdua di balik layar."

Kara menatap Dika dan berita-berita tersebut secara bergantian. Hatinya berdebar keras ketika dia melihat banyaknya artikel yang membahas tentang kemungkinan hubungan lebih dari sekadar profesional antara dirinya dan Jehan.

"Ini ... ini nggak mungkin," bisik Kara, matanya melebar terkejut.

Dika mengangguk serius. "Sayangnya, ini sudah menjadi isu besar di media. Banyak penggemar yang berharap kalian melangkah lebih jauh dari sekadar cinta lokasi. Mereka percaya ada kemistri yang sangat nyata di antara lo berdua."

Kara mencoba mengatur pikirannya yang kacau. "Kemistri itu ... itu hanya bagian dari pekerjaan doamg, Dik. Kita cuma akting."

Dika menatap Kara dengan serius. "Gue tau tapi lo juga harus ngerti kalo ini bisa jadi nilai tambah bagi karir lo berdua. Kalian sangat disukai oleh penonton. Mereka sampe ngarepin kejelasan tentang hubungan kalian berdua di luar layar."

Kara terdiam. Dia merasa seperti berada dalam situasi yang tidak terduga dan sangat membingungkan. Sementara itu, Dika terus saja memberikan penjelasan.

"Dan inilah alasan kenapa gue dateng le sini, Kar," kata Dika dengan serius. "Gue bermaksud mempertimbangkan untuk bikin cinta lokasi lo itu jadi nyata. Gue percaya itu bisa ningkatin popularitas lo dan film ini secara keseluruhan. Gue juga udah diskusi sama manajemen dan rekan yang lain, dan mereka setuju kalo seandainya lo berdua..."

Kata-kata Dika terhenti tiba-tiba karena Kara tampak begitu terkejut. Wajahnya pucat dan matanya memancarkan rasa bingung yang mendalam.

"Lo ... maksud lo ... gue ... gue nikah sama Jehan?" bisik Kara, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Dika mengangguk perlahan. "Ya, itu saran gue dan tim. Jadi pasangan di luar layar bisa ngebantu munculnya narasi yang kuat bagi lo berdua. Bukan hanya untuk karier, tapi juga buat citra publik."

Kara merasa seperti dunia ini berputar cepat. Di satu sisi, ada bagian dari dirinya yang merasa senang dengan ide tersebut. Menjadi pasangan dengan Jehan, seseorang yang telah menjadi teman dekatnya dan rekan kerja yang luar biasa, bisa menjadi sesuatu yang indah.

Namun, di sisi lain, ide itu juga menakutkan baginya. Bagaimana jika itu semua hanya berdasarkan kepalsuan? Bagaimana jika perasaannya yang sebenarnya terhadap Jehan tidak cukup kuat untuk menjalani hubungan seperti itu?

Dika menghela napas melihat kebingungan yang terpancar dari wajah Kara. "Kara, gue nggak bakal maksa lo. Ini adalah pilihan lo. Tapi, gue yakin lo paham kalo ini bisa jadi kesempatan besar buat batu lonjakan karier lo."

Kara menutup mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Di dalam hatinya, ada perasaan bercampur aduk antara gugup, senang, dan ketakutan. Dia tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berubah sedemikian rupa setelah kesuksesan film ini.

Setelah beberapa saat berpikir, Kara membuka mata dan menatap tajam ke arah Dika. "Apa... apa Jehan juga udah tau soal ini?" tanyanya dengan suara gemetar.

Dika menggeleng pelan. "Belum. Gue pengen diskusi dulu soal ini sama lo sebelum ngajuin proposal ini ke Jehan."

Kara mengangguk perlahan, mencoba mengatur pikirannya yang kacau. "Gue ... gue butuh waktu buat mikirin ini semua, Dik."

Dika mengangguk mengerti. "Oke, gue paham. Take ur time as much as u need. Ini adalah keputusan besar yang nggak boleh diambil secara tergesa-gesa."

Mereka berdua duduk dalam keheningan yang tegang, menimbang pro dan kontra dari situasi yang tak terduga ini. Bagi Kara, ini bukan hanya soal karier atau popularitas. Ini tentang hatinya, perasaannya yang sebenarnya terhadap Jehan, dan apa yang akan terjadi jika mereka memutuskan untuk mengejar hubungan palsu ini dalam mengikatnya dalam pernikahan.

Pertanyaan yang membingungkan semakin mendesak Kara: apakah dia siap untuk menjalin peran yang begitu besar, baik di layar maupun di kehidupan nyata sebagai istri Jehan?

He is Bad Popular Actor (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang