dua puluh

10.8K 286 23
                                    

Sewaktu ditinggal Armando pergi pagi tadi, Rose pikir kram perutnya akan berangsur menghilang atau setidaknya berkurang intensitas sakitnya. Namun nampaknya tidak. Justru semakin lama semakin menjadi.

Rose mencoba menghiraukan rasa sakit dan tetap beraktifitas seperti biasa. Ia membuat sarapan, membuang sampah, membersihkan apartemen, mengganti sprei ranjang yang tentu saja sudah basah oleh keringat dan cairan pelepasannya dan Armando.

Selagi akhir pekan, Rose juga menyempatkan pergi ke laundromat yang berjarak dua blok dari apartemennya. Membawa baju kotor sebanyak sekitar lima kilogram dan berjalan kaki sejauh kurang lebih 200 meter cukup melelahkan. Terlebih perut besar berisi janin 41 minggu itu tentu kian memperberat beban yang dibawa Rose.

Setiba di laundromat, hanya ada tiga orang lainnya. Cukup sepi mengingat akhir pekan biasanya banyak yang mencuci pakaian. Namun Rose bersyukur karena biasanya jika ramai yang datang, ia seringkali berdiri karena kursi tunggu penuh. Ia tidak bisa membayangkan harus berdiri lama dengan keadaannya sekarang.

"Anak pertamamu?" tanya seorang ibu paruh baya yang sama-sama menunggu mesin cuci selesai menggiling pakaian kotor mereka.

Rose tersenyum dan mengangguk.

"Iya," jawabnya.

"Sudah berapa bulan?" tanya ibu itu lagi.

"41 minggu," jawab Rose. "Sudah lewat due date-nya."

Ibu itu tersenyum menampakkan giginya. Senyum teduh keibuan.

"Tak apa. Wajar saja. Anak pertama biasanya butuh waktu lebih lama untuk lahir," katanya. "Pasti jenis kelaminnya perempuan, ya?"

Rose dibuat kebingungan karena ibu itu menebak namun tidak seperti menebak. Seperti yakin betul janin yang ia kandung adalah perempuan.

"Aku belum tahu. Ingin jadi surprise sewaktu lahir nanti," jawab Rose yang masih dibuat penasaran bagaimana ibu itu terdengar begitu yakin.

"Anakku lima dan kalau dilihat dari bentuk perutmu, sepertinya anakmu perempuan," ucap ibu itu, menjawab rasa penasaran Rose.

Rose yang benar-benar tidak tahu harus merespon bagaimana, memilih untuk terkekeh saja. Keduanya lanjut mengobrol tentang cuaca yang cukup cerah, harga bahan pokok yang kian naik, ibu itu kemudian bercerita tentang kelima anaknya. Pada Rose ia menceritakan pengalaman membesarkan dan mendidik anak.

Setelah saling mengobrol hampir satu jam, mereka berpisah ketika cucian keduanya sudah sama-sama bersih dan kering. Dalam perjalanan pulang, ia terus memikirkan bagaimana jika memang benar apa yang diucapkan ibu tadi. Bagaimana jika anaknya perempuan.

Tentu akan mudah untuknya. Lain halnya dengan anak laki-laki, jika yang lahir adalah perempuan, ia bisa membesarkan anaknya tanpa perlu bingung mencarikan figur laki-laki sebagai contoh. Ia hanya perlu menjadi teman untuk anak perempuannya, membesarkannya dengan nilai-nilai yang selama ini ia pegang dan diajarkan sebagai seorang perempuan.

Justru yang ia takutkan adalah jika anaknya nanti laki-laki. Bukan takut tanpa alasan. Rose tumbuh tanpa mendapat figur laki-laki baik dalam hidupnya. Ayah janin dalam kandungannya pun tidak bisa hadir untuk memberi contoh sebagai figur laki-laki yang baik. Rose hanya takut tidak bisa membesarkan anaknya selayaknya anak laki-laki pada umumnya.

Sebenarnya itu yang mendasari keinginannya untuk tidak mencaritahu jenis kelamin anaknya. Ia sedikit ada ketakutan jika anaknya laki-laki.

Setiba di apartemen, Rose mengecek ponselnya dan mendapat pesan dari Rachel. Ia memantau keadaan Rose. Setelah menceritakan kram perut yang masih ada dan kian sakit, Rachel meminta Rose untuk memaksakan diri mengepel lantai dengan tangan.

call me daddy [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang