tiga puluh dua

10K 274 38
                                    

Rose terbangun tanpa Armando. Armando tidak ada di sisi ranjang sebelahnya, di tempat Armando biasa tidur. Ia masih ingat betul semalam tidur dalam pelukan Armando. Bahkan sewaktu terbangun beberapa kali pun ia masih mendapati lengan Armando memeluk tubuhnya.

Ia menggerakkan tubuh hendak bangkit. Ditariknya bed cover untuk menutupi tubuhnya yang tanpa pakaian. Matanya mencari gaun tidur yang dikenakannya semalam. Ah, pasti sudah Armando bereskan. Tidak ada sisa pakaian dan dalaman bercecer di lantai seperti semalam sebelum mereka terlelap.

"Ahhh..."

Ringisan pelan keluar dari mulutnya sewaktu berdiri. Ia merasakan ngilu di selangkangan akibat perbuatannya dan Armando semalam.

Bukan itu saja sebenarnya. Posisi calon adik Nate sudah kian turun dan masuk ke panggul. Kepalanya seakan menggantung, membuatnya kesulitan mengapitkan kaki. Sudah beberapa hari ini memang Rose merasa kepala janinnya menekan mulut rahim. Semakin membuatnya yakin waktunya tidak lama lagi.

Rose membuka lemari dan mengambil celana dalam serta bra, juga kaos warna putih milik Armando yang panjangnya sampai sejengkal di atas lutut untuk dikenakan. Wangi Armando menyeruak memenuhi penciumannya. Ia selalu menemukan nyaman dalam wangi itu.

"Ar?" Panggilnya sewaktu keluar dari kamar.

Tidak ada balasan. Dengan tertatih, ia melangkah menuju kamar Nate. Dibukanya pintu kayu dicat putih itu.

"Babe?"

Masih tidak ada yang merespon. Keranjang bayi di tengah ruangan pun kosong. Tidak ia dengar suara Nate yang begitu aktif mengoceh. Sejak semalam, rengek tangisan Nate bahkan tidak ia dengar.

Satu tangan Rose ia letakkan di bawah perut besarnya sementara tangan yang lain ia gunakan untuk menyangga punggung yang sakit karena menahan beban perut. Ia mencoba berpikir dimana sekiranya suami dan anaknya berada. Diliriknya jam dinding di ruang tengah. Sudah pukul 10. Semestinya Nate sudah mencari-cari susu ibunya.

Di meja makan, dilihatnya ada sepiring berisi roti panggang dan telur mata sapi. Di sampingnya ada kertas bertuliskan tulisan tangan yang sudah tentu Rose tahu milik siapa.

"Kamu banyak istirahat saja, aku yang akan mengurus lainnya termasuk Nate. Kita akan menuju pantai untuk bermain sebentar. Semoga kamu belum bangun sewaktu kita pulang. Jadi ketika kamu bangun, kamu tidak perlu merasa kesepian."

Rose tersenyum lebar. Armando dan perlakuan manisnya yang selalu membuatnya merasa tidak cukup berhak mendapatkan perlakuan semanis itu, yang membuatnya sempat berpikir Armando hanya bergurau dan menjadikannya objek mainan saja sewaktu dulu mendekatinya.

"Semoga Mommy tidak salah memilihkan Daddy untukmu dan kakakmu, ya, Nak!" Harap Rose seraya mengusap perutnya. Sebuah tendangan menyambut dari dalam rahimnya.

Dengan susah payah, ia duduk di kursi meja makan dan mulai menyantap sarapan yang disiapkan Armando. Sesekali ia mendesis tidak nyaman dalam duduknya. Tidak ada posisi yang benar-benar nyaman. Gravitasi membuat kepala janinnya kian terasa memenuhi selangkangannya, membuat duduk seakan ada yang mengganjal.

Kontraksi rahim menemani sarapannya pagi ini. Belum cukup kencang sampai membuatnya kesakitan, namun cukup mengganggu meski durasi dan frekuensinya masih belum menandakan waktu melahirkan sudah sangat dekat. Setidaknya mungkin dalam hitungan jam lagi.

Ia mencoba melakukan induksi alami seperti yang dilakukan dulu sewaktu hamil Nate. Seusai sarapan, ia membersihkan dapur, menyapu dan mengepel rumah dengan berjongkok, melakukan semua pekerjaan rumah tangga yang bisa dikerjakannya. Ia melakukannya secepat yang dibisa disela kontraksi dan dengan perut besar menghalangi. Sebab jika Armando mengetahui, tentu saja ia akan melarang karena tidak mau Rose kelelahan.

call me daddy [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang