Ketukan di pintu ruang kamar yang ditempati Rose membuatnya bangkit dari duduknya di depan meja rias. Sudah tiga kali terdengar bunyi ketukan, membuatnya merasa bersalah karena sudah membuat si pengetuk menunggu terlalu lama.
"Sebentar," ujarnya seraya meraih tas kecil yang ia isi ponsel genggam dan dompet.
Ia sudah diperingatkan untuk bersiap makan malam sebelum pukul tujuh, namun proses memilih pakaian yang pantas untuk makan malam di restoran bintang lima dengan keadaannya yang hamil besar mendatangkan keraguan pada diri Rose.
Di balik pintu, sudah berdiri Armando dengan gagah dan tampan dalam setelan jas. Sebuah senyum manis ia sunggingkan pada Rose yang terlihat cantik dalam balutan dress berwarna peach selutut. Warna cerah terlihat cocok pada kulit putih bersih milik Rose. Ralat, menurut Armando, warna apa saja akan cocok pada Rose.
"Sudah siap?" tanya Armando.
Rose mengangguk pelan.
"Sudah, Pa—maksudku Armando," jawabnya dengan masih ada keraguan ketika menyebutkan nama bosnya tanpa embel-embel ‘Pak’ atau ‘Tuan’.
Armando terkekeh mendengarnya. Terlebih melihat pipi Rose yang seketika bersemburat merah karena pemiliknya sedang malu. Demi Tuhan, suara Rose sudah cukup membuatnya ingin memiliki dan menguasainya di atas ranjang. Ia tidak ada niatan melihat Rose selain di wajah, karena tentu dua gundukan payudara dan perut buncit milik Rose akan membuat Armando makin gila.
"Ayo, sebelum kita kehabisan meja!" ajak Armando yang merentangkan tangan kirinya, mempersilakan Rose untuk mendahului.
Semerbak aroma parfum manis milik Rose menggelitik ujung saraf penciumannya, dan Armando makin mendekati ketidakwarasan.
Berjalan berdampingan di sepanjang koridor lantai tempat suite room mereka menuju elevator membuat Rose merasa terintimidasi. Trip bersama atasan selalu penuh kecanggungan, terlebih jika hanya berdua dan berbeda gender.
"Istirahatmu tadi sudah cukup, kan?"
Rose dengan cepat menoleh ke sisi kanannya pada Armando yang memencet tombol arah ke bawah di dekat pintu elevator yang masih tertutup.
"Iya, sudah cukup," jawab Rose seraya tersenyum.
Melihat senyum Rose, Armando ikut tersenyum.
"Enak? Nyaman?"
Lagi-lagi Rose mengangguk mengiyakan.
"Tentu saja," jawab Rose.
Pintu elevator terbuka. Tidak ada orang di dalam bilik besi itu. Armando mempersilakan Rose masuk terlebih dahulu sebelum ia menyusul. Ia kemudian menekan tombol dengan huruf L, yang mengartikan keduanya akan turun menuju lobby.
Restoran tempat mereka akan menikmati makan malam terletak di dekat pantai pribadi hotel. Untuk menjangkaunya harus melewati pintu samping lobby yang menyambungkan ruang lobby dengan ruang outdoor dan merupakan akses menuju pantai.
"Apa nanti Jeff akan menyusul dan menginap di sini?" tanya Rose setelah hening lama menyelimuti sejak elevator bergerak turun.
Armando menggeleng pelan. Tangan kirinya mengatur jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya—salah satu hal aneh yang Armando lakukan yang diketahui Rose. Selama ini Rose hanya menemui orang mengenakan jam tangan di pergelangan tangan kiri.
"Tidak," jawab Armando singkat.
"Lalu mengapa kita tidak ikut menginap di villa saja?" tanya Rose.
Mendengar pertanyaan Rose, Armando menghentikan aktivitasnya dengan jam tangan dan diam sejenak. Ia kemudian menoleh ke arah Rose dan menatapnya. Tidak lama kemudian Rose menyadari pertanyaannya tadi sudah terlalu jauh dan tidak pantas dipertanyakan oleh seorang asisten kepada atasannya. Tentu atasannya punya alasan, tapi bukan haknya untuk tahu apa alasan sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
call me daddy [completed]
Romance[mature and explicit content, 18+] Berawal dari usaha menyambung hidup untuk anaknya, Rosaline berakhir menjadi pemuas nafsu atasannya sendiri.