tiga puluh empat

2.8K 135 6
                                    

Suara bel interkom terdengar dan sontak membuat Rose dan kedua anaknya yang sedang bersantai di ruang tengah menoleh ke arah pintu utama penthouse. Nate yang semula asyik membacakan buku anak-anak yang baru dibelikan Armando beberapa hari lalu kepada adiknya, mendadak menyudahi dan berlari sekencang yang dimampu kaki kecilnya mendekati pintu. Teriakan girang dan senyum lebarnya membuat Rose ikut tersenyum. Digendongnya Jasmine yang sudah bisa menegakkan kepala dan melangkah menyusul putranya yang berjinjit dan menunjuk pada layar interkom di dinding sebelah pintu.

"Aunty! Aunty!"

Pada layar interkom, tampak Thea dan Shane melambaikan tangan pada kamera yang terdapat di mesin interkom. Thea dan Shane sudah berjanji untuk mampir sebelum mereka terbang ke Dubai dua hari lagi untuk menghadiri acara launching katalog baru dari brand yang pernah berkolaborasi dengan brand milik Thea. 

Kesibukan keduanya membuat mereka baru sempat berkunjung dua minggu setelah Armando dan Rose resmi pindah ke penthouse baru di kawasan Upper East Side. Itu sebabnya kali ini mereka benar-benar menyempatkan untuk datang berkunjung. Rose sudah memberitahu Thea passcode untuk elevator khusus ke lantai 40 tempat penthouse-nya berada, jadi Thea dan Shane bisa langsung tiba di depan pintu.

Rose membukakan pintu dan tentu saja Nate langsung lari ke dalam pelukan bibi kesayangannya itu. Ia terkekeh geli sewaktu Thea menggendong lalu menghujani pipinya dengan ciuman. Shane ikut bergabung dan mengacak-acak lembut rambut gelap milik Nate.

"I miss my favorite nephew so bad!" kata Thea dengan nada bersemangat meski terdengar berlebihan bagi orang dewasa.

"Nate miss Aunty too!" balas Nate, tidak kalah dramatis.

Seperti tak mau ketinggalan, Jasmine heboh mengayunkan kedua tangan gembul miliknya ke arah paman dan bibinya. Mulutnya meracau tak jelas, seolah mengatakan bahwa ia minta perhatian yang sama dengan kakaknya. Shane yang lebih dulu merespon Jasmine. Ia mendekatkan tangannya yang sedikit ia rentangkan kepada Jasmine yang menyambut dengan mencondongkan badannya meminta digendong Shane. Bayi sembilan bulan itu tersenyum lebar, memamerkan gigi-gigi kecilnya yang sudah muncul empat di gusi atas dan dua di gusi bawah.

"Oh my God, she has many teeth already! Terakhir kali kita bertemu dia baru punya empat!" Thea berseru begitu melihat gigi Jasmine.

Thea selalu bersemangat setiap kali membicarakan topik mengenai Nate dan Jasmine. Meski ia adalah bibi yang amat baik pada Nate dan Jasmine, Thea dan Shane sepakat memutuskan untuk tidak akan punya anak. Bukan karena keadaan yang memaksa mereka demikian, namun memang sejak awal memutuskan menikah, Thea dan Shane tidak berniat untuk memiliki anak sendiri.

"And she can stand on her own legs too. Mungkin tidak lama lagi kau akan disambut mereka berdua yang berlarian berebut minta peluk tiap kali mampir kemari," ucap Rose, membuat Thea membuka mulutnya terkejut.

"Your babies are growing up so fast, Rose," kata Shane.

Rose tersenyum dan mengangguk. "I know right. It drives Armando crazy sometimes," balasnya.

Berbicara mengenai Armando yang dibuat pusing tiap kali menyadari anak-anaknya kian bertumbuh dan berkembang, Rose jadi teringat percakapan mereka di malam terakhir di penthouse lama. Ketika itu anak-anak sudah terlebih dulu tidur, Armando dan Rose seperti biasa menyempatkan waktu untuk mengobrol berdua. Alasan mereka pindah ke penthouse baru adalah lokasinya lebih dekat dengan rumah orang tua Armando, luasnya juga jauh lebih besar, selain itu sekolah yang akan dimasuki Nate di tahun ajaran baru nanti juga berada tidak jauh dari lokasi penthouse baru. 

Rose menceritakan pada Thea bahwa Armando sampai berkaca-kaca sewaktu membahas Nate yang sebentar lagi mulai masuk pre-kindergarten. Thea dan Shane kompak tertawa mendengarnya. Meski terdengar lucu membayangkan Armando sedramatis itu, namun Thea tahu kakaknya itu memang benar-benar mencintai anak-anaknya.

call me daddy [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang