Tubuh Armando sudah terbiasa bangun pagi. Selarut apapun ia tidur, ia akan bangun sekitar pukul 5 ketika seisi kota New York sebagian besar masih pulas tertidur. Matahari pun masih enggan muncul. Namun mata Armando selalu saja sudah menyala dan tidak mau dipaksa memejam kembali. Tidak terkecuali hari ini.
Ia terbangun dalam keadaan yang sudah ia duga akan terjadi sejak menginjakkan kaki di apartemen milik Rose semalam. Tangan kirinya dijadikan bantalan kepala oleh perempuan berambut pirang tanpa busana itu. Armando sendiri yang memintanya begitu, Rose pun tidak menolak.
Salah satu hal yang tidak disukai Armando tentang semalam adalah betapa ia menumpahkan semua yang selama ini disimpan dan dipendam rapat dalam hatinya kepada Rose. Hal yang paling tidak ia suka sampai mengganggu pikirannya pagi ini adalah ia menceritakan semua dalam keadaan sesadar-sadarnya.
Jadilah perempuan yang masih lelap di sampingnya itu sebagai satu-satunya orang yang mengetahui apa yang selama ini tidak Armando bagi kepada yang lain. Seorang asing yang mengerti hampir semua yang dirahasiakan Armando. Terlebih lagi, orang itu adalah bawahannya. Tidak sepantasnya seorang bawahan mengetahui apa yang menjadi kelamahan atasannya.
Sedari awal memang hubungan yang ada di antara mereka berdua, entah apa sebutannya, tidak seharusnya ada. Tidak seharusnya melihat Rose yang akhirnya bangun dengan senyum manis merekah di bibir, seraya mengucap selamat pagi dengan lembut, sukses membuat Armando merasakan kupu-kupu berterbangan di perutnya.
Seorang atasan tidak seharusnya menghadiahkan kecupan manis di bibir bawahannya sebagai ganti balasan ucapan selamat pagi. Namun itulah yang baru saja dilakukan Armando.
"Hari ini hari terakhirku bekerja sampai anak ini lahir," kata Rose, menarik selimut menutupi tubuhnya sampai leher.
"Cutimu sampai anakmu umur tiga bulan, Rose," balas Armando.
Tangan kanannya bergerak mengusap perut besar Rose dari balik selimut. Kulit tangannya bersentuhan langsung dengan kulit milik Rose. Rasanya hangat. Menghadirkan kehangatan yang entah sejak kapan Armando butuhkan.
"Atau lebih baik kamu resign saja," lanjutnya.
"Maksudmu?" Rose dibuat bingung dengan apa yang disampaikan Armando baru saja.
"Aku tidak mau punya hubungan terlalu jauh dari sebatas semestinya dengan kolega atau karyawanku, tapi rasanya tidak bisa jika aku tetap biasa saja untuk hal-hal yang ada hubungannya dengan kamu."
Rose dibuat termenung memaknai kata demi kata yang diucapkan Armando. Ia baru saja bangun dan otaknya sudah dipaksa bekerja keras.
"Berhenti bekerja untukku di kantor," kata Armando, menyederhanakan yang tadi ia sampaikan.
"Kamu memecatku? Aku bingung harus bersikap bagaimana. Kamu memecatku sementara aku tidak tahu salahku apa. Kamu juga tahu sendiri karena aku sudah berkali-kali mengatakannya, aku butuh pekerjaan ini, Ar. Aku butuh menghidupi diriku dan anakku," sahut Rose yang masih belum sepenuhnya mengerti maksud Armando sesungguhnya.
"Kamu tidak salah, Rose. Justru aku yang salah. Seharusnya sejak awal aku bisa mengantisipasi supaya tidak sampai sejauh ini. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, tapi aku tidak mau kehilangan kepercayaan karyawanku yang lain karena aku memperlakukanmu lebih dari semestinya. Namun aku juga tidak mau kehilangan kamu begitu saja," ucap Armando.
"Aku mau kamu tinggal bersamaku," lanjutnya tanpa ragu sedikitpun.
Rose bangkit dari posisi tidur dan duduk di tepi ranjang. Ia membiarkan tubuhnya yang telanjang, lepas dari balutan selimut yang sepanjang malam menutupinya. Tidak ada lagi rasa malu di hadapan Armando. Toh, pria itu sudah banyak kali melihat dan menikmati tubuhnya, menjamah tiap sudut dan centi.
KAMU SEDANG MEMBACA
call me daddy [completed]
Romance[mature and explicit content, 18+] Berawal dari usaha menyambung hidup untuk anaknya, Rosaline berakhir menjadi pemuas nafsu atasannya sendiri.