Suara debur ombak dan sinar matahari menerobos masuk lewat pintu kaca yang sudah dibuka lebar-lebar. Pekikan burung pesisir ikut meramaikan. Jam digital di atas nakas sisi ranjang menunjukkan pukul tujuh pagi lewat lima menit. Masih belum ada tanda-tanda perempuan dalam pelukannya akan terbangun dalam waktu dekat.
Armando lupa berapa kali mereka bersetubuh, berapa lama mereka menikmati tubuh satu sama lain, berapa banyak load-nya yang tersembur di dalam liang dan di atas perut buncit si puan. Satu yang pasti, bau khas after sex menempel pada kulit mereka, memenuhi kamar besar yang menjadi saksi.
Dan, Armando sedikit tidak menyukai itu.
Ini kali pertama ia bersetubuh dengan pegawainya sendiri, mengingkari janji yang sudah ia buat dan tegaskan pada dirinya. Ia masih tidak percaya dengan keputusannya semalam. Tapi jika menilai dari berminggu-minggu menahan hasrat untuk tidak mengunjungi club itu, wajar saja jika ia menggila semalam.
Tapi tetap saja. Apa yang ada dalam diri Rose yang membuatnya seakan bersedia melakukan semuanya, termasuk meruntuhkan benteng atas nama profesionalitas yang sudah susah payah ia bangun di antara mereka?
Sialnya, seperti ada kupu-kupu berterbangan di atas perutnya ketika dini hari tadi menyadari ada yang menindih lengannya dan itu adalah kepala Rose.
Armando amat mudah kegerahan dan mudah terbangun karena gerakan sekecil apapun. Namun sama sekali tidak ada usahanya untuk membangunkan Rose atau memindahkan kepala Rose ke atas bantal lain di ranjang. Meski beban kepala Rose yang menjadikan lengannya bantal cukup membuatnya tidak nyaman, ditambah lagi Rose yang sering bergerak dan meracau dalam tidurnya membuatnya terbangun beberapa kali, Armando dengan bodohnya tidak keberatan.
Ia benar-benar tidak ada niatan beranjak dari posisi tidak nyaman yang entah mengapa justru membuatnya merasa tenang. Bahkan untuk bergerak meraih celana boxernya yang tergeletak di atas karpet lantai saja ia tidak tega, takut membangunkan Rose yang pasti kelelahan setelah ia gempur semalaman. Beruntung hotel tempat mereka menginap dilengkapi piranti artificial intelligence atau AI yang memungkinkan sistem bekerja menuruti perintah, seperti membuka pintu kaca misalnya.
Dengan perlahan, Armando menekuk kaki kanannya karena kaki kirinya ditindih kaki kiri Rose yang seakan memeluk tubuhnya. Ia menyandarkan iPad pada paha kaki kanannya yang sudah tertekuk, mengecek satu per satu surel yang masuk, dan membaca ulang proposal dari beberapa perusahaan perintis yang memintanya menjadi investor.
Matanya masih berat. Biasanya ia akan segera membasuh wajah dan menyikat gigi setelah bangun tidur. Namun, ini sudah lewat hampir dua jam dan ia belum melakukan keduanya.
Sebagai seorang yang terpaksa menjadi morning person dan seringkali terbangun pagi, rasanya aneh jika jam tujuh pagi dan belum turun dari kasur untuk memulai kesibukan hari itu. Lagi-lagi Rose dan kemampuannya mengatur ulang kehidupan Armando.
Sejak kurang lebih setengah jam yang lalu, Armando merasakan tendangan dari dalam perut Rose. Awalnya pelan, namun semakin lama semakin sering dan kencang. Perut besar Rose menempel pada pinggangnya, membuatnya bisa merasakan pergerakan naik-turun perut Rose setiap kali ia bernapas. Tentu saja tendangan-tendangan janin di dalamnya juga ikut bisa ia rasakan.
Anehnya, Rose sama sekali tidak terbangun atau terganggu karenanya. Entah ia yang sudah terbiasa dengan tingkah makhluk kecil yang tumbuh di dalam rahimnya, atau memang Rose yang tidur terlalu lelap.
"Shhhhh..."
Armando mematung mendengar desisan yang dibuat Rose. Tendangan yang baru saja dirasakan memang paling keras dibanding sebelum-sebelumnya. Mungkin kali ini cukup keras untuk membangunkan ibu mereka dari tidurnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
call me daddy [completed]
Romance[mature and explicit content, 18+] Berawal dari usaha menyambung hidup untuk anaknya, Rosaline berakhir menjadi pemuas nafsu atasannya sendiri.