~Happy Reading~
Hari ini di desa ada acara untuk membersihkan lingkungan dan penanaman kembali pohon-pohon di pinggir jalan, penyuluhan dari Satria pun ada yang dilakukan kemarin sembari membagikan pohon untuk di tanam per RT.
Sengaja di ambil hari weekend untuk membuat semua masyarakat bisa berpartisipasi, dan akhirnya mau tak mau Meta merelakan hari liburnya.
"Kenapa aku disini," gumam Meta dengan perasaan setengah kesal, dia duduk di barisan paling depan bersama Arya, adiknya itu menariknya paksa dengan perintah kedua orang tua mereka.
Remaja itu menepuk pundak kakaknya dan memasang wajah serius, sok menasehati,"Bersosialisasi lah kak."
Meta masih duduk lemah bersandar, menatap kosong ke depan,"Aku lelah bersosialisasi, energiku habis di kantor."
"Selamat menikmati." Setelah berucap seperti itu, Arya berdiri meninggalkan kakaknya, karena tugasnya hari ini menjadi asisten Satria untuk penyuluhan dan pembagian tanaman.
Satria terlihat kebalikannya dari gadis itu, lelaki itu terlihat sibuk dan semakin berkarisma saja saat sedang menjelaskan tentang pertanian modern dan rencana desa yang akan mengangkat satu buah sebagai khasnya, atau desa mereka menjadi sentra salah satu buah yang banyak dari warganya tanam.
Padahal Meta ingat sekali kebun pria itu hancur 3 hari yang lalu, tetapi dia sudah beradaptasi dengan pekerjaan dalam sekejap. Penerimaan lelaki itu terhadap masalah atau hanya topeng saja yang mereka lihat sekarang? siapa tau lelaki itu masih suka murung di belakang umum.
Di tengah keramaian seperti ini telinga Meta menangkap perbincangan kedua gadis di belakang nya,"Mas Satria masih bisa senyum dan ngasih materi walaupun masih kondisi terpuruk kebunnya rusak.""Itu berarti dia sudah bisa mengelola perasaan dengan bagus." Masalah pengelolaan perasaan, bukankah itu adalah hal penting bagi setiap manusia? kita tidak tau kapan datang hal yang tidak di inginkan dan kita juga tidak bisa menolak takdirnya, akan lebih sulit jika kita tidak punya pengelolaan perasaan yang baik.
Apalagi pekerjaan Satria setiap harinya berhadapan dengan banyak manusia, yang terkadang menyebalkan bukan main.
"Lagi nyari pasangan nggak sih?"
"Denger-denger lagi deket sama anak Pak Ibrahim." Meta melotot mendengar nama Bapaknya di sebut, Pak Ibrahim mana lagi yang memiliki anak gadis di desa ini? Pak Ibrahim RW 05 anaknya sudah menjadi ibu anak 1.
"Hah? masa?" Kedua gadis itu kaget ketika mendapati Meta menoleh menatap mereka, bukan apa-apa, supaya mencegah obrolan tentang nya berlanjut dan bisa berhenti saat itu juga.
Sekarang warga sudah kembali ke rumah masing-masing, mengambil perkakas untuk membersihkan lingkungan dan menanam pohon, terlebih dahulu dilakukan pembersihan tanaman liar di sekitar jalanan hingga mempersiapkan tempat pohon baru, kegiatan itu dibagi menjadi dua untuk jobdesk bapak-bapak dan ibu-ibu, semua kebagian pekerjaan berat itu, jangan remehkan kekuatan ibu-ibu ini.
"Mbak minta gorengannya." Ketenangan Meta dalam menjaga gorengan yang baru datang terganggu dengan segerombolan anak tetangga yang datang, perasaan mereka tadi bermain di pinggir jalan sana, hari ini tidak terlalu ada motor berlalu-lalang karena semua sibuk kerja bakti.
Gadis itu menarik nampan berisi mendoan dan teman-temannya,"Ih, belum kerja masa udah minta duluan."
"Terus kita ngapain?" Dia berfikir sejenak.
"Bantuin masukin rumput ke tempat sampah." Setidaknya itu kegiatan yang tidak menggunakan benda tajam, dia juga melakukan itu tadi karena ibunya sudah membabat dan merapikan tanaman, jadi tugas angkut-mengangkut sudah pasti tugas Meta selagi Arya masih bersama Satria entah dimana.
"Udah." Meta menghela nafas, menyuruh anak-anak itu untuk duduk bersamanya saja, yang berakhir mereka main masing-masing menjadi beberapa kubu, kubu laki-laki yang bermain bola dan perempuan yang bermain masak-masakan.
"Ibu disana mau beli apa?"Meta yang dari tadi hanya memperhatikan mereka tertawa canggung, ketika justru di tunjuk untuk ikut dalam drama mereka.
Melihat reaksi Meta mereka melayangkan protes,"Mbak Meta jawab, kita jual mie goreng dan kue kering." Penjualnya agak sedikit maksa ya sepertinya.
Dan sekarang gadis itu tertawa lepas mendengar menu yang anak-anak itu sebutkan,"Kok nggak nyambung banget yang warung kalian jual."
Wajah anak-anak perempuan di hadapannya terlihat masam, lalu menjawab dengan wajah centil,"Terserah kita, kan kita ownernya."
"Kue keringnya satu," jawab Meta seadanya.
Dia melihat anak-anak itu mengeruk sedikit tanah dan menguleninya dengan air, setelah itu membentuknya lalu di jemur di bawah terik matahari, lalu setelah kering mereka menyerahkan gumpalan tanah itu pada Meta,"Silahkan."
"Woohh." Suara keras dari anak laki-laki yang sedang bermain menggema menarik perhatian, salah satunya tersungkur di tanah, karena melihat pipi dan lututnya terluka terkena kerikil, Meta segera memanggilnya mendekat.
Wajah anak itu terlihat ingin menangis, tetapi masih bertahan dengan diamnya, berpura-pura melihat anak lain bemain, Meta hanya tertawa,"Nangis aja sih kalau pengen."
"Nggak, malu mau nangis, masa cowok nangis." Anak itu menepuk dadanya, mencoba terlihat sangar saat ini.
Meta sedikit melirik anak itu sembari mempersiapkan air untuk membersihkan lukanya dan plaster,"Emang cowok nggak punya air mata? nggak punya rasa sakit dan sedih? nggak apa-apa."
"Mbak tenang, aku kuaaat." Dia sedikit berteriak di kata terakhirnya karena merasakan perih ketika Meta mulai membersihkan lukanya, air matanya sedikit keluar dengan tidak sengaja merasakan perih lukanya.
Dilihatnya Arya dan Satria mendekat bersama warga lain, matahari memang mulai terik dan pekerjaan sedikit lagi selesai, jadi pas sekali untuk istirahat meminum es dan makan camilan, "Ayo ini di makan dulu, istirahat dulu bapak ibu."
Pelataran rumah salah satu warga penuh dengan orang, untungnya pelatarannya adem karena di lingkupi banyak pepohonan besar, di rumah itulah Meta membatu menyiapkan segala hal ini dari tadi,"Wah mendoan."
"Kenapa?" tanya Arya menyadari ada satu anak yang sudah duduk disana terlebih dahulu disaat temannya yang lain baru mendekat di ujung sana.
Lagi-lagi anak lelaki itu memasang wajah sok keren,"Biasa, cowok."
Satria tertawa pelan dan menepuk pundak anak itu,"Bagus, emang harus kuat." Dan anak itu semakin pongah, sampai lupa jika da tersenyum harusnya merasa sakit di luka pipinya.
Dari tadi dia sudah melihat anak-anak bermain dari pertama dia datang, sampai anak lelaki itu akhirnya jatuh dan bagaimana dia juga tau akhirnya anak itu menangis walaupun sekejap karena pengobatan yang diberikan Meta.
Gadis itu sepertinya memang tipe yang perhatian, walaupun tidak terlalu suka bersosialisasi tetapi tetap memiliki kemampuan sosialisasi yang baik pula.
Sadar sedang di perhatikan, Meta menoleh sedikit tersenyum canggung,"Mau es tehnya?" tawarnya.
Lelaki itu mengangguk, menerima teh yang Meta berikan dan melihat interaksi antara warga satu dengan yang lainnya, entah sudah berapa kali dia bilang jika dia bersyukur berada di lingkungan ini, hangat.
"Beneran mas, kamu nggak mau mempertimbangkan jadi orang sini aja?" Arya tiba-tiba duduk di sebelah Satria, di sebelahnya ada sang kakak yang juga minum es teh.
Lagi-lagi dia tidak menjawab, membuat Arya berdecak.
Bersambung...
Akhirnya update lagi, gimana part ini?
Dilihat-lihat cerita ini lumayan sepi yak wkwk
Tapi nggak apa-apa, akan aku lanjut terusss
Selamat tidur, semoga nyenyakSalam
Kuncup Peony
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower Romance [End]
ChickLitMeta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ketika dia memilih pulang berarti dia siap kehilangan ketenangan dalam hidupnya. Dan tanpa di duga dia...