45. Sejenak

24.3K 2.1K 66
                                    

~Happy Reading~
Selamat hari senin, semangat

Tarik napas.

Buang napas.

Meta merentang kan tangan menikmati hembusan angin yang menerpanya, sempurna sekali dengan gemercik air dan air sejuk yang merendam kakinya.

Di tempat itu tenang sekali, Meta melihat-lihat sekitar dan membatin, 'Terakhir kesini sama Mas Satria, jadi kangen.'

Teringat sesuatu, dia menggelengkan kepalanya cepat, 'Eh apaan, dia aja entah kangen atau nggak,' batinnya sebal, wajahnya ketara sekali tidak senang, namun tetap berasumsi walaupun dia tidak suka.

Gadis itu duduk di batu besar, menghela nafas panjang.

Kenapa sih kita harus buru-buru mengambil keputusan? kenapa kita harus buru-buru melakukan sesuatu? karena kita berkejaran dengan banyak hal? seperti umur kita bahkan umur orang tua ya?

Tapi apa arti suatu hal yang cepat dilaksanakan namun tidak tau apa esensi dari hal itu sendiri? terkadang suatu hal yang indah dapat dipandang lain karena pengaruh sekitar, seperti pernikahan.

Pernikahan itu indah sampai menjadi momok ketika sudah menjadi pertanyaan yang menekan, pernikahan itu indah sampai orang yang tidak bertanggung jawab berkhianat, sampai orang memegang ego masing-masing.

Pada akhirnya Meta menyudahi sesi merenungnya, memutuskan pulang karena memiliki janji di hari libur ini, dia hanya menyempatkan waktu untuk diri sendiri sesaat sebelum kembali bersosialisasi.

"Pengen rebahan aja di kamar." Sampainya di rumah dia memandangi bahan yang sudah tersedia di dapur, kemarin dia menerima pesanan beberapa kotak kue untuk hantaran.

Dia memutuskan membuka smartphone memastikan kembali pesanan yang akan dibuat tidak salah, tetapi terlihat jejak panggilan tidak terjawab dari Satria 10 menit lalu, "Eh!" Dengan segera Meta kembali menelfon lelaki itu.

Hanya tertera pemberitahuan berdering, namun sekian menit tidak ada jawaban,"Ayo dong, kenapa sih?" Meta sudah kesal sekali rasanya, weekend pagi seperti ini harusnya dijalani dengan santai.

"Terserah deh." Dengan kasar Meta meletakkan smartphone-nya sembarang, terserah sudah lelaki itu sedang apa, mau tidur, kayang atau apapun.

Lagi-lagi.

Tarik napas - hembuskan.

Dia harus membawa mood baik untuk memasak kue yang enak dengan penuh cinta, katanya memasak harus pakai hati kan.

3 Kotak kue harus dia antarkan di siang menjelang sore ini, karena jaraknya dekat Meta pikir tidak apa-apa untuk jalan kaki. Dia berhenti sejenak di ujung pelataran, melihat orang-orang disana.

"Mbak Meta." Anak ini kenapa ada dimana-mana? bahkan ini hari minggu kenapa ada Abizar di desa ini?

"Saya di undang pak Hamid." Yang punya hajat sore ini memang salah satu pekerja kebun, pantas lelaki itu di undang.

Meta mengangguk sekilas, lalu lanjut berjalan untuk memasuki rumah.

"Mbak biar aku bantu." Lelaki itu bergerak mendekat meminta barang bawaan Meta.

Gadis itu menggeleng,"Nggak usah, terima kasih."

"Nggak apa-apa mbak." Masih mengikuti Meta dengan wajah ramahnya ingin membantu, seolah kue 3 kotak ini seberat 3 ton.

Meta berhenti, melihat wajah lelaki itu dengan tatapan datar,"Kamu tau nggak? sama dengan No." Dia sampai men translate kata 'tidak' itu sendiri.

"Abizar baik gitu loh Ta, hargai dong terima aja." Ini lelaki satu lagi pengen rasanya Meta lempar dengan pot bunga dekorasi yang sedang dipasang-pasang untuk acara ini.

Habis sudah rasanya kesabaran Meta, jika dia ketemu lagi dengan satu orang menyebalkan selain Abizar dan Bima akan Meta hantam ketiganya.

***

Hanya satu jam dia berada di tempat acara, tetapi energi dan emosinya sudah terkuras habis, apalagi mengingat besok adalah hari Senin.

Meta berkomitmen untuk langsung istirahat sampainya di rumah, baru saja merebahkan diri telepon masuk memaksanya untuk bangkit mengambil Smartphone.

Tanpa melihat nama dia langsung saja menerima telepon,"Halo," jawabnya malas.

"Kamu apa kabar hari ini? dari mana?" tanya Satria begitu mendengar suara Meta, dan gadis itu terbelalak kaget menyadari siapa di seberang sana.

Dia berdecak kesal,"Masih nanya lagi, kayak inget aja!"

"Bukan maksud aku begitu." Suara Satria yang halus justru membuat Meta tidak kuat menahan air matanya yang dia tahan-tahan.

Terdengar gadis itu sesenggukan,"Aku capek Mas, serius." Sudah Meta bilang bukan kalau hari ini menguras perasaan sekali? Dia sudah ingin menangis sedari tadi.

"Aku tau pertanyaan dari orang-orang nggak akan pernah selesai dan mereka akan terus bertanya, tapi hari ini aku capek banget." Sebiasa apapun, se-mengerti apapun setiap orang berhak memiliki titik lelah, bukankah itu manusiawi?.

Masih sesenggukan Meta melanjutkan,"Kita kan sudah usaha, setiap pasangan atau orang kan punya kisahnya, tapi kenapa terus dibandingkan orang lain." Salah satu rules dalam hidup kita supaya lebih tenang adalah berhenti membandingkan dengan orang lain, tetapi disaat diri sendiri diam saja tetap orang lain yang melakukannya pada kita, itu kenapa selanjutnya sebaiknya kita tidak terlalu banyak mendengarkan orang lain.

"Maaf." Suara Satria pelan di seberang sana, wajahnya juga ketara lelah.

Melihat itu Meta mengusap air matanya cepat,"Maaf, aku nambah beban kamu ya." Dia sangat menyadari beban lelaki itu pun sudah banyak, dan dia harus menerima itu, ibarat kamu mencintai pelangi maka harus kau terima dia sepaket dengan hujan, angin bahkan petir nya.

"No, sepertinya memang sudah waktunya kita bicara, hubungan kita akhir-akhir ini juga memburuk karena Mas sibuk sendiri," kata Satria di akhiri senyum tipis seolah menenangkan kekasihnya, cukup dengan keduanya saling menyadari dan mengerti keadaan satu sama lain lalu selanjutnya waktu untuk mereka berbicara.

Meta meluapkan segalanya, hanya di depan Satria dimana gadis itu akhirnya berani mengungkapkan kekesalannya pada Abizar, Bima bahkan orang-orang yang bicaranya menyakitkan. Lelaki itu hanya mendengarkan dengan baik, karena Meta pun tau bagaimana sibuknya lelaki itu, tau apa yang sedang lelaki itu hadapi di sana.

Satria terdiam, menghela nafas setelah mereka mengakhiri sesi teleponnya, dia menoleh ketika merasa tepukan pelan di pundaknya,"Kakak sedih kalau kamu malah begini gara-gara bantu dan urusin kakak."

"Kak," tegurnya dengan pelan, dia sama sekali tidak keberatan dengan apa yang sedang dia lakukan, karena dia rasa ini bentuk tanggung jawabnya.

Tangan kakaknya juga bergerak mengusap menenangkan, dengan senyuman-nya,"Kamu juga punya kehidupan, dengan sikap kamu selama ini buat kakak lega, karena kakak tau punya rumah yang nyama untuk pulang kayak keluarga kakak ini."

"Kamu kalau mau nengok ke sana juga nggak apa-apa, prosesnya tinggal sedikit lagi dan Alhamdulillah dengan perjuangan kita semuanya di permudah kan." Iya, dengan bukti-bukti yang ada membuat proses perceraian kakaknya lebih mudah, akhir-akhir ini itu yang sibuk Satria urusi.

"Disini ada Om dan lainnya juga kok, ya kan om?" Nada bicara Syakira di naikkan di akhir kalimat, mengajak lelaki yang duduk di ruang keluarga di belakang mereka itu mendengarnya.

Si Om yang tiba-tiba di ajak bicara hanya melongo, lalu mengacungkan jempolnya saja,"Ha? oh iyaa." Tanpa tau apa yang di iyakan, iyakan saja dulu lah.

BERSAMBUNG....
Kemaren sempet nanya pf mana kalian baca karena zuzur aja aku pengen nyabang yang bisa dapet insentif bulanan 🤭 tapi masih bingung karena dari dulu banget rasanya belum nemu platform yang sreg selain si WP ini.

Walaupun banyak diluar sana yang mandang sebelah mata, tapi selama ini masih nemu aja cerita bagus di sini wkwk

Buat yang nulis juga semangat yah, dan buat pembaca aku ucapin terima kasih sekali support dan apresiasi nya... lopyuw all

Salam

Kuncup Peony 🌷

Flower Romance [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang