Bonus Chapter (3)

1.9K 128 13
                                    

"Abang."

Ares yang saat ini duduk di sofa ruang tengah apartemen mereka dan tengah fokus di depan laptopnya menoleh ke belakang, di mana sang kekasih yang masih mengenakan bathrobe memanggilnya barusan.

"Apa?" Balasnya singkat, kemudian kembali menghadap laptopnya.

Rena menghela nafas panjang, kedua tangan mungilnya terkepal kuat, kemudian melangkah mendekati prianya. Ia mengalungkan kedua lengannya di leher Ares dengan cukup erat, menyembunyikan wajahnya di antara leher dan pundak kokoh milik kekasihnya.

"Rambutmu basah, Rena." Kata Ares, sebab baju kaus di bagian pundak kanan dan lengan atasnya terasa basah terkena rambut Rena yang tergerai dan memang masih basah karena habis mandi.

Diperingati seperti itu malah hanya membuat Rena semakin mengeratkan pelukannya di leher Ares, bahkan mulai mendusal di sana, "Abang..." Panggilnya dengan nada lirih berbisik.

"Mau apa, hm? Kamu bukannya mau jalan? Aku udah izinin juga, mau apa lagi?" Tanya Ares, nadanya pelan namun keras mengintimidasi, tangannya berhenti mengetik di atas keyboard laptop, bergerak mengambil rokok dan koreknya di atas meja, menyalakan batangan nikotin itu, lalu menghisapnya perlahan, membuang asapnya sembarang, seolah tidak peduli dengan posisi gadisnya saat ini yang bisa saja menghirup asapnya.

"Maaf." Bisik Rena.

"Buat apa?" Tanya Ares acuh tak acuh.

"Nggak tau. Buat semuanya." Katanya, kemudian melepas pelukannya di leher sang kekasih, tapi tetap berdiri di belakang tubuh Ares yang duduk diam seperti tidak ingin menatapnya.

"Dimaafin." Balas Ares singkat, lagi.

"Abang..." Keluh Rena, kemudian tangannya bergerak meremat pundak Ares, "Kia nggak tenang kalo Abang begini pas Kia mau keluar..."

"Ya, terus aku harus gimana lagi, Renatta? Kamu udah izin dari tadi pagi mau keluar, ke klub, bareng seniormu. Aku juga udah kasih izin, kamu mau jalan ya, silakan. Aku nggak larang juga. Aku harus gimana lagi, emangnya?" Tanya Ares, sedikit lebih keras dari kalimat sebelumnya. Ia memutar tubuhnya, menaikkan satu kakinya dan melipatnya di atas sofa, menatap netra bak rubah yang tengah menatapnya memelas, "Kamu mending rapih-rapih, jadi nanti pas temen-temenmu jemput, kamu tinggal jalan." Kata Ares, final.

Rena menghentakkan kakinya, kemudian pindah berdiri di hadapan kekasihnya, memegang kedua rahang tajam bak belati milik sang kekasih, kemudian mencium bibirnya kasar.

Ares hanya diam memperhatikan, menutup mata pun tidak. Ia melihat dengan jelas bagaimana Rena dengan desperate-nya menggigit bibir bawahnya, membuat bibirnya terluka, kemudian gadis itu menjilat darahnya, dan melenguh pelan setelah merasakan karat besi di lidahnya.

Kalau boleh jujur, Ares sangat ingin mengurung Rena di apartemen mereka saat ini, tidak diizinkan pergi barang seinci dari atas ranjang. Tapi, ia ingat dengan tujuannya. Sampai saat Rena terkena batunya sendiri, ia akan selalu membiarkan gadisnya bermain-main. Gadis keras seperti Rena tidak bisa sembarangan di kekang, atau bahkan di lepas. Maka dari itu, setelah Rena pergi nanti, Ares akan menyusul gadis itu dengan segera.

Rena melepas tautan belah bibir mereka, kemudian menatap Ares sayu namun matanya berkaca-kaca, "Kenapa nggak dibales?" Bisiknya lirih.

Ares menggeleng, membuang rokoknya yang tidak sempat ia nikmati ke dalam asbak karena Rena mendadak menciumnya, "Nggak kenapa-napa. Gih, ganti baju. Kelamaan gini juga nanti kamu malah masuk angin." Katanya, kalimatnya terucap dengan santai namun terasa dinginnya oleh Rena.

Kalau Ares tidak salah melihat, di pipi gembil sebelah kiri gadisnya, jatuh satu bulir air mata. Tapi, Ares tetap memasang raut datarnya. Berusaha abai, walau hatinya menjeritkan permintaan maaf.

The Djeong'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang