In Another Life, Baby

995 76 11
                                    

Sebulan. Sudah sebulan lepas, setelah hari di mana Nyana terpaksa diantar pulang saat ia tengah asyiknya berkencan dengan pujaan hatinya.

Juga, sudah sebulan. Sudah sebulan lepas, setelah tragedi menyakitkan bagi Nyana dan seluruh keluarganya.

Tok... Tok...

"Nana... Kakak izin masuk, ya?" Suara Jemia terdengar setelah ketukan pintu di kamarnya menghilang.

Nyana tidak menjawab, ia hanya diam. Memandang ke luar jendela, duduk di atas meja belajarnya yang super berantakan.

Jemia menatap sendu pintu kamar sang adik ipar, lantas membukanya perlahan dengan satu tangannya, sedangkan satu tangannya yang lain memegang satu buah nampan berisi sepiring nasi goreng hangat dan susu putih hangat untuk Nyana.

"Nana..." Panggil Jemia pelan.

Nyana hanya menoleh sekilas, seolah memberi validasi atas kehadiran Jemia di sana, tapi enggan mengeluarkan suara sedikitpun. Ia kembali menatap ke luar jendela. Tak memperdulikan lagi kehadiran Jemia.

Jemia meletakkan nampan di atas kasur dengan hati-hati. Memperhatikan kamar Nyana yang walaupun rapih dan bersih, tapi seperti kehilangan hawa pemiliknya. Seolah tidak pernah ditempati, padahal Nyana senantiasa di dalamnya setiap hari.

"Nana, makan yuk, sayang? Udah empat hari ini kamu cuma makan apel aja. Nanti Nana sakit lama-lama... Yuk? Kakak suapin, deh, ya?" Pinta Jemia melas, menatap perih pada adik iparnya yang seperti mayat hidup.

Semenjak kecelakaan yang menimpa Nathya dan Jeffrey saat dalam perjalanan menuju bandara satu bulan yang lalu hingga harus merebut nyawa keduanya, Nyana mulai menutup diri. Menyalahkan dirinya sendiri perihal ia yang tak ingin mengganggu liburan kedua orang tuanya. Padahal, jika Nyana ikut bersama mereka, Nyana pastinya sedang merasa bahagia luar biasa karena berada dalam pelukan hangat Nathya dan Jeffrey saat ini. Seandainya ia ikut hari itu, ia tidak akan ditinggal sendirian sekarang. Begitu pikirnya.

"Sayang..." Bujuk Jemia lagi.

"Nana..." Panggil Chellia yang berdiri di depan pintu bersama Jean dan Mark.

Mereka masuk ke dalam, Chellia meletakkan piring buah yang sudah ia potong dan kupas sebagaimana Nathya selalu melakukannya untuk sang anak, di samping tubuh Nyana. Ia mengusap sayang rambut panjangnya, menyelipkannya ke belakang telinga, "Nana, makan, ya? Sedikit aja. Gapapa kalaupun cuma satu suap aja. Ya?" Bujuk Chellia, menatap wajah pias nan pucat sang adik ipar.

"Dek, makan, ya?" Pinta Mark pelan, berjalan menghampiri Nyana dan mengusap pipinya penuh kasih dengan kedua tangannya, "Biar nggak sakit. Mama sama Papa pastinya nggak mau liat Nyana begini. Ya, Dek?" Tambahnya.

Nyana mendorong pelan piring berisi buah-buahan yang dibawa oleh Chellia, menolak untuk memasukkan apapun ke dalam mulutnya, "Nggak mau. Perutnya mual." Katanya dengan lirih, ia semakin memeluk kakinya yang ia tekuk ke atas dengan erat, menolehkan kepalanya ke luar jendela tanpa niat menatap Mark di sana.

"Nana, makan, Dek. Jangan kayak gini, kasian yang lain liat kamu begini terus. Kalo kamu sakit, 'kan, yang susah kita-kita juga. Kita nggak cuma ngurusin kamu aja. Tolong, ngerti, Nyana." Tegas Jean tiba-tiba.

"Jean!" Tukas Jemia cepat, menarik lengan suaminya menjauh dari jangkauan Nyana.

Mark dan Chellia yang mendengarnya jelas saja ikut terkejut dengan perkataan Jean yang begitu frontal.

"Apa? Bener, 'kan? Dia, nih, ngerasa dia doang yang paling sakit, kah? Nggak cuma dia doang yang ngerasa kehilangan di sini! Aku, kak Mark, Aji, Shaka, semuanya ngerasain hal yang sama! Tapi kita berusaha cope up sama apa yang kita rasain, sedangkan dia di sini nyusahin semua orang!" Tukas Jean dengan nada yang semakin lama semakin tinggi. Kesal karena Nyana seolah tak ingin mengerti apa yang orang lain rasakan perihal kematian sang ibu dan ayah mereka.

The Djeong'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang