Pagi-pagi sekali Rony sudah ada di bandara, ia memilih penerbangan pertama untuk kembali ke ibukota. Sebab hari ini Salma akan berangkat untuk manggung di beberapa kota di pulau Sumatera selama satu minggu. Dan Rony ingin menyempatkan waktu untuk bertemu perempuan itu. Kalau tidak, ia harus menunggu satu minggu untuk bisa bersua dengan perempuan pemilik senyum favoritnya itu.
Di dalam pesawat, selama perjalanan ke ibukota. Rony mencoba untuk tidur, menebus jam tidurnya yang hanya dua jam. Tapi bukannya tertidur. Pikirannya seolah terbang lebih dulu kepelukan Salma.
Begini rupanya bagaimana rasa rindu akan tuntas dengan pertemuan. Bibir Rony melengkung tipis dengan sepasang mata yang masih terpejam. Rasanya aneh. Bahagia. Antusias. Tidak sabar. Semua bergumul menjadi satu.
Kalau dulu, mau serindu apapun ia pada Salma. Pertemuan tidak pernah bisa ia usahakan. Rony akan mengalihkan perasaan rindu dengan kesibukan apapun itu. Iya, apapun akan Rony lakukan untuk menjadi pengalih dari perasaan rindunya.
Pernah satu hari. Rony menghabiskan satu hari penuh di tempat Gym. Rony membuat tubuhnya lelah dengan berbagai aktifitas olahraga di tempat itu. Dan Rony baru berhenti saat matahari nyaris tenggelam. Tubuhnya penuh keringat. Hari itu bukannya merasa lebih segar setelah berolahraga. Tubuh Rony justru remuk karena kelelahan.
Dan hari itu Rony tidak pulang ke apartemennya. Ia memilih pergi ke apartemen Paul. Memilih merebahkan diri di atas sofa panjang di ruang tamu apartemen sahabatnya itu.
"Lo kenapa, Ron?" Tanya Paul sesaat setelah kembali menutup pintu.
"Capek." Jawab Rony singkat. Ia sudah rebahan di atas sofa panjang.
"Lo habis ngapain?"
"Ngegym."
"Bukannya lo ngegym tadi pagi?
"Iya."
Paul menatap Rony seksama, curiga ada yang tidak beres.
"Lo ngegym berapa lama?"
"Dari pagi."
"Sampai jam berapa?
"Jam 6."
"Dari pagi sampai sore?" Tanya Paul seolah tidak percaya
"Hmm..."
"Gila lo, Ron." Paul geleng-geleng kepala. Heran dengan sahabat yang ia kenal sejak awal mengikuti ajang pencarian bakat dulu.
Tidak ada tanggapan dari Rony. Lelaki itu diam dengan mata terpejam. Pikiran dan perasaannya sedang tidak terlalu baik dan ia perlu pengalihan.
"Temuin kalau lo emang kangen, Ron. Gak usah gengsi." Kalimat Paul telak menyentil Rony. Membuat lelaki itu tidak bisa mengelak.
"Gue gak bisa, gak sekarang."
"Ah elah," dengus Paul. "Lo nunggu apaan sih? Capek gue liatnya."
"Nunggu gue yakin sama pilihan gue." Jawaban yang sama tiap kali Paul menyuruh Rony menemui Salma.
"Jawaban lo template, selalu itu. Yang di sana nungguin yang di sini, yang di sini gak jelas nunggu apaan. Sama aja kalian berdua." Gerutu Paul.
"Lo juga nanya itu mulu."
Paul menarik napas dalam, "Iya, gue yang salah. Salah nanya. Lo gak salah. Salma gak salah." Ucapnya sambil bangkit dari duduk. Paul memilih pergi ke dapur untuk mengambil minum. Tenggorokannya mendadak kering.
Rony tidak menanggapi perkataan Paul, ia bisa mengerti kenapa Paul bisa kesal. Tapi baginya situasinya dengan Salma terlalu rumit untuk diurai hanya dengan sekadar sapa dan temu. Dengan keinginan memiliki tapi mengerti bagaimana keadaan yang tidak sesederhana itu. Kalau ia menemui Salma sekarang, satu tahun setelah mereka tidak saling sapa lagi. Rony rasa itu tidak mengubah apapun, mereka tetap asing dengan perasaan yang terlanjur dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali (SUDAH TERBIT)
FanfictionAda hal-hal yang nyatanya belum usai. Perasaan itu. Perasaan yang coba disingkirkan, nyatanya tidak pernah benar-benar pergi. Setelah bertahun-tahun berlalu dan kembali bertemu, apa perasaan yang tidak pernah benar-benar pergi itu bisa berjalan beri...