Bagian Tiga Puluh Dua

10.5K 818 129
                                    

Semburat jingga mulai terpancar. Membuat langit terlihat indah. Satu persatu lampu mulai menyala. Berpadu dengan cahaya jingga. Membuat senja selalu nampak indah.

Rony sedang di dalam kamarnya. Ia baru selesai mandi. Jam delapan malam nanti ia akan pergi ke salah satu kafe. Ada janji. Dan ini penting. Penting untung keberlangsungan hidupnya ke depan.

Bagaimana tidak penting, seseorang yang nanti malam mengajaknya bertemu adalah kakak laki-laki dari perempuan yang saat ini bersamanya. Entah kenapa, Rony merasa tegang. Padahal dari sambungan telponnya bersama orang itu, nada suara di seberang sana terdengar ramah. Tapi tetap saja, perasaan tegang itu tidak bisa ia hindari.

Rony menarik napas dalam, ia meraih ponselnya. Membuka aplikasi WhatsApp. Memutuskan mengirimkan pesan pada Salma.

Ron ❤️ : Sal, asli deg-degan parah ini.

Pesannya tidak langsung mendapat jawaban dari Salma. Mungkin perempuan itu sedang ada kegiatan dan sedang tidak memegang ponsel.

Sementara di luar sana, cahaya jingga mulai memudar. Matahari sempurna tenggelam di ufuk barat. Rony melanjutkan aktivitasnya. Menaruh ponsel di atas tempat tidur.

***

Langit sudah sempurna gelap. Bintang bertaburan. Bulan nampak bersinar indah. Rony mulai bersiap untuk berangkat. Ia sudah berganti pakai. Ia mengenakan kaos bermotif garis-garis hitam putih dan jaket berwarna hitam serta celana jeans.

Rony memainkan ponselnya, belum ada balasan chat dari Salma. Entah kemana dia. Rony mengembuskan napas. Berjalan keluar kamar menuju ke arah tangga untuk turun. Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Satu jam waktu yang cukup untuk sampai di tempat janjiannya bersama Kelvin, kakak satu-satunya Salma.

Saat sudah duduk di depan kemudi dan bersiap menyalakan mensin mobil. Ponsel Rony berdering, panggilan masuk dari Salma.

"Rony...."

"Gak usak teriak kenapa sih, Sal."

Suara di seberang sana terdengar tertawa. Sementara Rony menghela napas saja.

"Santai kenapa sih, Ron. Tegang amat dah."

"Tau ah."

"Ih ngambek dia."

"Gak usah nelpon kalo cuma mau ngeledek."

"Utukutuk... Jangan ngambek dong."

Tidak ada jawaban dari Rony, tapi sudut bibirnya terangkat tipis. Bagaimana bisa ia benar-benar merajuk pada Salma.

"Ron," suara Salma terdengar lembut. "Santai aja, anggap kayak ketemu sama temen. Kamu baru sama mas Kelvin udah tegang, gimana kalau ketemu sama papa."

"Iya iya, gimana kalau ketemu sama Papa kamu ya. Tapi asli sih, Sal. Gak tau kenapa kok tegang ya. Mungkin karena aku takut respon mas Kelvin gak baik, takut gak dapat restu."

Suara helaan napas Salma terdengar. "Segitu takutnya ya gak bisa sama aku lagi?"

"Menurut anda?"

"Takut banget."

"Yaudah."

"Yaudah apa?"

"Mau berangkat ini."

"Yaudah, hati-hati di jalan. Gak usah tegang, gak bakal diapa-apain sama mas Kelvin."

"Iya iya, aku berangkat dulu."

"Bye, sayang."

Baru Rony ingin menjawab, sambungan telepon sudah diputus oleh Salma. Rony jadi geleng-geleng sendiri. Ia bisa membayangkan semu merah di wajah Salma saat ini. Perempuan itu selalu saja merona tiap kali memanggil Rony dengan sebutan sayang.

Kembali (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang