Mobil yang Rony kendarai tiba di depan rumah Salma. Namun Rony tidak segera turun. Ia kembali memikirkan keputusannya. Apa dengan memberitahu Salma kalau ia sudah putus dengan perempuan itu adalah hal yang baik? Sementara mereka sudah lebih dari enam bulan tidak bertemu. Tidak saling bicara. Rony menjadi ragu.
Dari dalam mobil Rony menatap ke arah rumah Salma. Rumah yang dulu sering ia kunjungi. Tapi saat ini untuk melangkah ke sana rasanya entah kenapa menjadi berat. Rony takut kalau keputusannya justru memperburuk hubungannya dengan Salma. Rony tidak ingin itu terjadi.
Rony mengembuskan napas kasar. Ia memukul setir mobil, merasa sedikit frustasi dengan keadaan. Tapi baik lah, kali ini sepertinya Rony lebih baik melangkah mundur. Kembali memikirkan banyak hal sebelum mengambil satu pilihan.
Namun, tanpa Rony tahu dari balik tirai jendela, Salma memperhatikan mobil Rony. Salma tahu, mobil yang terpakir di depan rumahnya itu adalah mobil Rony. Salma hapal bentuk mobilnya, warnanya. Salma juga ingat plat nomornya.
Salma menunggu dengan harap-harap cemas. Apakan Rony akan turun atau memilih untuk pergi. Andai Rony memutuskan turun dan mengetuk pintu rumahnya. Salma sudah memutuskan akan membukakan pintu. Ia akan mau diajak bicara. Detik demi detik berlalu. Mobil Rony justru menjauh. Hilang dari pandangan Salma. Membuat perempuan itu menghela napas panjang.
Sementara di perjalanan pulang, Rony sibuk berdialog dengan dirinya sendiri. Tentang apa yang akan ia lakukan setelah ini. Tentang perasaannya sendiri.
Separuh hati Rony sudah pasrah. Kali ini ia akan membiarkan semesta ke mana akan membawanya. Ia yakin, akan ada waktu di mana ia bisa kembali bicara dengan Salma.
***
Ibu kota, tahun 2029.
Hari ini adalah hari yang spesial, untuk kali pertama setelah lima tahun. Paul, Salma, Rony dan Novia akan berkumpul bersama. Mereka mengatur janji untuk bertemu di salah satu restoran sushi yang ada di Plaza Indonesia.
Paul sudah lebih dulu datang, ia sudah duduk di salah satu meja yang kemarin direservasi atas namanya. Sementara Rony dan Salma, terakhir Paul hubungi mereka sudah dekat. Sedangkan Novia, ia harus mampir dulu ke rumah sakit untuk kontrol kandungan.
Iya, Novia tengah mengandung anak pertamanya. Sudah memasuki usia enam bulan. Dua tahun yang lalu, Novia menikah dengan lelaki yang sudah menemaninya sejak SMA. Pernikahan sederhana di kampung halaman.
"Pauuulll," nyaring suara Salma menyebut nama temannya itu. Membuat Paul menatapnya tajam. Baru juga datang, Salma sudah membuat kehebohan.
"Bisa gak teriak kan, Ma." Gerutu Paul.
"Gak boleh marah," ucap Salma. "Kangen gue, Ul."
"Gue enggak," sahut Paul.
Salma langsung cemberut, "Tega ih."
Sekarang mereka bertiga sudah duduk, Salma dan Rony duduk bersisin. Sedang Paul duduk di seberang Rony. Sekarang tinggal Novia yang belum datang. Mungkin masih di jalan.
"Wih, couple nih." Goda Paul setelah memperhatikan dua orang di hadapannya saat ini.
"Apaan sih, Ul." Ucap Rony.
"Baju sama nih, kemeja biru muda. Cerah banget." Paul tersenyum jahil.
"Nitijen, lo." Komentar Rony. Sementara Salma diam saja. Ia sadar bajunya sama dengan baju yang Rony kenakan tapi biarkan saja.
"Janjian?" Paul masih saja memancing.
"Enggak, Paul. Kebetulan." Kali ini Salma yang menyahut.
Iya, mereka benar-benar kebetulan memakai baju yang sama. Tidak tahu kenapa bisa sama. Dan kebetulan semacam ini memang sudah terjadi sejak dulu. Kebetulan yang kadang membuat Salma dan Rony heran sendiri. Dulu, tidak jarang mereka menertawakan baju mereka yang senada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali (SUDAH TERBIT)
FanfictionAda hal-hal yang nyatanya belum usai. Perasaan itu. Perasaan yang coba disingkirkan, nyatanya tidak pernah benar-benar pergi. Setelah bertahun-tahun berlalu dan kembali bertemu, apa perasaan yang tidak pernah benar-benar pergi itu bisa berjalan beri...