Bagian Empat Puluh Tiga

10.1K 850 94
                                    

Setelah pernyataan Rony mengenai keinginannya. Hening masih menggantung di ruang keluarga orangtua Salma. Tatapan ayah Salma masih berganti antara menatap Rony juga putrinya yang merangkul lengannya erat.

Demis masih ingat bagaimana kelakuan putrinya itu kalau sedang sangat menginginkan sesuatu dan perlu dukungannya. Salma akan duduk di sampingnya lantas merangkul lengannya erat dengan tatapan memohon yang lucu sekali. Dan sekarang itu yang tengah Salma lakukan.

"Rony," ayah Salma menatap Rony lekat. Ia menangkap gurat tegang di wajah lelaki di hadapannya saat ini. Ia tidak asing dengan ketegangan itu. Puluhan tahun silam, ia pernah ada di posisi itu. Harap-harap cemas menanti jawaban apakah ia di restui atau tidak oleh orangtua dari perempuan yang ia cintai. Seseorang yang saat ini sudah menjadi istrinya.

"Semua keputusan ada di tangan Salma. Om sebagai orangtua, mendukung apapun yang membuat Salma bahagia. Termasuk pasangan hidup. Karena pada akhirnya kalian yang akan menjalaninya." Ayah Salma menghela napas. Ia sudah bicara cukup panjang. Namun masih banyak yang ingin ia katakan.

Rony mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Ia kehilangan kata. Tidak tahu harus mengatakan apa. Atau merespon bagaimana. Jadi ia memilih diam saja.

"Ca, papa tanya sama kamu." Demis beralih menatap putrinya lekat, tepat di manik matanya. "Yakin mau sama Rony?"

Hening, tidak ada kalimat dari siapapun. Salma menatap ayahnya lalu menatap Rony yang menunduk menatap lantai. Entah apa yang sekarang lelaki itu pikirkan. Salma tidak bisa menebaknya. Lantas ia kembali menatap ayahnya. Tangannya makin erat merangkul lengan sang ayah.

"Pa, Caca rasa papa udah tau jawabannya." Ucapnya pelan. Salma tidak berani menatap siapapun kali ini. Ia menatap lurus ke depan, menatap dinding berhiaskan foto keluarga.

"Dari dulu, Caca selalu yakin sama Rony. Kali ini juga. Caca yakin sama dia, Pa." Kali ini, entah kenapa ada sesuatu yang lolos dari sepasang matanya. Pipinya basah. Banyak ingatan masa lalu yang berputar di kepalanya. Segala hal yang sudah ia lewati untuk sampai di hari ini.

Ayah Salma menarik lengannya dari sepasang tangan Salma. Lantas melingkarkan tangannya di bahu putrinya itu. Mendekapnya erat.

"Kalau yakin sama Rony, kamu mau janji satu hal sama Papa?" Pertanyaan yang diutarakan dengan nada lembut itu langsung dijawab anggukan oleh Salma.

"Janji sama papa, sama mama, juga sama diri kamu sendiri. Apapun yang terjadi kamu gak akan ninggalin Rony apapun alasannya."

"Iya, Pa. Gak akan." Salma tersenyum menatap ayahnya. Salma tahu kenapa ayahnya berkata seperti itu. "Dia Rony, Pa. Bukan kevin." Ucap Salma pelan. Lengkungan masih bertahan di bibirnya.

"Justru karena dia Rony. Papa mau bukan hanya Rony yang yakin sama kamu. Tapi kamu juga harus yakin sama pilihan kamu. Papa gak mau kamu mengulang kesalahan yang sama."

"Iya, Caca paham maksud Papa." Salma mengerat pelukannya pada pinggang sang ayah. Pelukan ini yang ia rindukan selama berbulan-bulan kebelakang.

"Jadi adek mau sama Rony?" Suara lembut itu akhirnya terdengar. Suara dari perempuan yang paling Salma sayang sedunia.

"Ma," rengek Salma. "Direstuin gak, sih?" Tampang Salma saat ini terlihat lucu sekali. Persis seperti anak kecil merengek meminta mainan.

"Iya, apapun yang membuat adek bahagia Mama restui." Senyuman itu nampak teduh sekali. Membuat Salma menghambur ke dalam pelukannya.

"Ron," ucap ayah Salma. Tatapannya fokus sepenuhnya pada lelaki yang sudah ia kenal sejak bertahun-tahun lalu itu.

"Kamu dengar sendiri kan apa jawaban Salma?"

Kembali (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang