Udara dingin masih terasa. Tetesan embun juga belum sempurna hilang. Langit mulai terang sekalipun cahaya matahari belum nampak.
Di halaman belakang sebuah rumah, nampak dua orang lelaki berbeda generasi duduk bersisian. Dipisah meja bundar di antara mereka. Keduanya terlihat akrab. Selepas subuh tadi, mereka berdua duduk di sana. Membicarakan banyak hal.
Sekalipun baru bisa tertidur lewat tengah malam, Rony bangun pagi sekali. Ia cukup tahu diri untuk tidak kesiangan. Ajakan ayah Salma semalam untuk mengobrol dengannya, Rony paham kalau itu adalah ajakan yang serius. Ia sudah memperkirakan akan ada waktu seperti ini. Waktu di mana ia akan duduk berdua dengan ayah Salma dan membicarakan hal-hal tentang masa depan.
Dan sekarang di sinilah Rony berada, di halaman belakang rumah orangtua Salma. Halaman belakang yang mungil, tapi terasa begitu nyaman.
"Ron..." Suara berat itu mulai kembali menyapa indera pendengaran Rony. Membuat lelaki itu menoleh.
"Iya, pa." Sahut Rony. Iya, lelaki itu resmi mengubah panggilan sejak mereka mulai mengobrol tadi. Entah kenapa, tidak ada alasan pasti. Semua mengalir begitu saja.
"Puluhan tahun lalu, saat papa ngelamar mamanya Salma. Kakeknya Salma bilang sama papa," ayah Salma menghela napas. Tersenyum tipis mengingat kenangan yang sudah berlalu puluhan tahun itu.
"Menikah itu bukan hanya tentang menyatukan dua orang yang saling mencintai dan memutuskan hidup bersama. Bukan juga tentang menyatukan dua keluarga. Tapi juga tentang menyatukan banyak perbedaan."
"Ron, kehidupan tidak pernah lepas dari yang namanya perbedaan. Kamu dan Salma pasti akan menemukan banyak perbedaan ke depannya."
"Mulai dari perbedaan kecil sampai hal yang besar, pasti akan kalian berdua alami." Ayah Salma berhenti sejenak. Menyesap kopi yang tidak lagi panas. Lantas melanjutkan kalimatnya.
"Akan ada masa kamu lelah mencintai Salma. Begitupun sebaliknya. Dan itu bukan sesuatu yang salah. Kadang kita bahkan lelah dengan diri kita sendiri. Tapi pesan papa, kalau kamu lelah menyayangi Salma, ingat bagaimana perjalanan kalian untuk bisa bersama. Ingat lagi bagaimana dulu kamu begitu menyayangi dia, begitu ingin hidup bersama."
"Cinta itu mesti dijaga, mesti dipupuk agar perasaan itu tetap hangat."
Kembali hening, tatapan ayah Salma lurus ke depan. Tapi pikirannya jauh ke mana-mana. Mengingat kali pertama ia mengendong Salma. Kali pertama tangan mungilnya ia gandeng. Kali pertama anak itu mulai lancar bicara dan memanggilnya papa.
Lelaki yang sudah melewati setengah abad itu juga masih ingat bagaimana putrinya mulai pandai bernyanyi. Tampil di panggung. Mengikuti lomba bernyanyi. Ia menyaksikan itu semua.
Bahkan tiap kali kejatuhan Salma, ia ada di sana untuk memberikan pelukan. Berkali-kali ia melihat Salma jatuh, menyaksikan bagaimana gigihnya anak itu untuk menggapai mimpinya.
Ia ada dalam tiap proses jatuh bangun putrinya. Dalam tiap tawa. Dalam tiap air mata. Putrinya itu adalah kebanggaannya yang sekalipun dunia tidak menganggapnya berharga. Di matanya, Salma adalah putri terbaiknya.
"Ron," pelan suara ayah Salma. Ia menatap Rony lamat-lamat. "Papa titip Salma, jaga dia seperti kamu menjaga diri kamu sendiri."
"Iya, pa." Pelan suara Rony. Tapi sungguh, ia akan menjaga perempuan itu dengan segala kuat yang ia punya.
"Kalian berdua melewati proses yang tidak mudah untuk ada di tahap ini kan?"
Rony mengangguk. Ia ingat hari-hari yang lalu. Hari di mana ia mulai menyadari perasaan yang berbeda itu. Ia juga ingat bagaimana hari-hari yang ia lewati tanpa bersentuhan dengan Salma selama bertahun-tahun. Tahun-tahun yang berat untuk dilewati. Rony juga masih mengingat jelas bagaimana hangat hatinya saat Salma mau diajak menikah. Juga betapa hangatnya rasa bahagia semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali (SUDAH TERBIT)
FanficAda hal-hal yang nyatanya belum usai. Perasaan itu. Perasaan yang coba disingkirkan, nyatanya tidak pernah benar-benar pergi. Setelah bertahun-tahun berlalu dan kembali bertemu, apa perasaan yang tidak pernah benar-benar pergi itu bisa berjalan beri...