Kakinya melangkah menuju ke pekarangan rumah. Netranya menangkap sebuah mobil yang terparkir di depannya. Zyra meremas roknya kuat-kuat, mencoba tenang untuk mengahadapi hal selanjutnya.
Dengan hati-hati Zyra membuka pintu, lalu masuk kedalam rumah. Seseorang pria tengah duduk santai di ruangan yang pertama Zyra injak.
"Azyra," panggilannya yang tak bergerak sedikitpun disana.
Jantung Zyra berdebar-debar kala mendengar suara itu. Dengan terbata-bata, ia menjawab, "I-iya ayah?"
"Duduk." perintah seseorang yang disebut ‘Ayah’ dan siapa lagi kalau bukan Yuda. Keluarga Zyra satu-satunya.
Dengan sigap Zyra melangkahkan kakinya, lalu duduk dengan patuh di hadapan Yuda. Kepalanya terus menunduk, saat ini dirinya enggan menatap ke arah Yuda. Aura ayahnya itu sungguh menakutkan.
"Kamu, tadi ulangan?" tanya Yuda tanpa basa-basi.
Tubuh Zyra membeku, sudah dia duga kalau ayahnya akan menanyakan hal ini. Dengan perasaan yang tak enak, Zyra mengangguk.
"Kamu tau, kenapa aku menanyakan ini?" ucapnya dengan dingin.
Lagi-lagi Zyra mengangguk, dengan buru-buru ia mengambil selembar kertas didalam tas. Lalu dengan tangan yang gemetaran Zyra menyerahkan selembar kertas itu kepada Yuda.
"Jadi memang segini?" ucap Yuda tak suka saat melihat angka di kertas itu.
"Apakah kau tau kesalahan yang kamu buat? Jawab Fersylia Azyra!" nada bicara Yuda semakin meninggi.
Zyra takut untuk sekian kalinya, dia hanya bisa mengangguk. Lidahnya amat kelu untuk menjawab.
"Aku bilang jawab Azyra! Bukan mengangguk, kamu bisu?"
Telinga Zyra berdengung, mendengar bentakan Yuda. Matanya kian memanas. "Iya ayah, aku tau, aku tau." ucap Zyra dengan bergetar.
Yuda mengambil korek api di saku celananya, setelahnya dia membakar kertas ulangan tepat di hadapan Zyra.
'Tahan, tahan, jangan menangis, kalau kau menangis semuanya tambah rumit.' mohon Zyra kepada dirinya di dalam hati.
"Kau tau kan? Aku tak butuh nilai cacatmu!" kata Yuda.
"Yang aku inginkan sempurna! Sempurna Azyra, semuanya harus sempurna!" lanjutnya, sambil membentak.
Dengan sekuat tenaganya Zyra menahan air matanya, dan rasa sakit pada dagunya ketika Yuda mencengkram dengan kuat.
"Apa aku mengajarkanmu menjadi anak yang tidak sempurna? aku tak mau mendengarkan yang namanya kecacatan dan tidak kesempurnaan, sialan!" tekan Yuda kepada Zyra.
"Ma-maafkan aku ayah, aku...aku salah." ucap Zyra dengan susah payah.
Yuda melotot dan semakin mengeratkan cengkramannya. "Aku bosan dengan kata maafmu itu, kalau—"
Drrttzzz... ponsel Yuda bergetar, ada yang menelponnya! Dengan kasar Yuda melepaskan dagu Zyra lalu segera mengangkat ponsel yang terus bergetar.
Selang beberapa menit Yuda menutup ponselnya. Dirinya harus segera kembali bekerja. Dengan cepat Yuda mengambil beberapa berkas-berkas dari rumahnya yang akan ia bawa pergi hari ini juga.
"Kali ini kamu beruntung." ucapnya, lalu pergi begitu saja. Mendengar itu hati Zyra sedikit lega. Kini dirinya terbebas dari hukuman karena Yuda sudah pergi. Zyra menghempaskan tubuhnya di sofa.
'Terimakasih siapapun itu yang sudah menelpon ayah.' batin Zyra sambil tersenyum simpul.
Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu. Zyra menoleh ke arah pintu, mukanya kini masam, melihat seseorang yang masuk ke dalam rumahnya.
"Gue masuk ya?" izin Gevan, lalu menghampiri Zyra yang sedang menatap datar dirinya.
Dengan santai Gevan duduk. "Eh apa ini?" gumamnya yang melihat beberapa abu yang berserakan di meja. Namun dia tak menghiraukan abu itu dan di susul pertanyaan lain.
"Lo kenapa ninggalin gue?" tanyanya dengan kesal.
Zyra menjawab ketus, "kenapa harus nungguin lo?"
"Ya kita pulang bareng lah~"
"Oh, sayangnya itu nggak akan terjadi." balas Zyra.
Gevan menghela nafas, dia sudah biasa dengan jawaban ketus Zyra itu.
"Apa itu?" tanya Zyra, saat Gevan menyodorkan sesuatu.
"Buat lo, ini kue dari mama."
Kemudian Zyra membuka bungkusan itu, beberapa kue coklat yang terlihat menggoda tampak disana. "Cobain Ra, buatan mama enak loh."
Tangan lentik Zyra mengambil sepotong kue pemberian itu. Begitu masuk di dalam mulut, matanya berbinar.
"Gimana?" tanya Gevan mengenai kue itu.
"Enak." jujur Zyra, sambil menatap kue ditangannya.
"Makasih kuenya, tolong bilang ke Tante Linda ya?"
"Kan! buatan Mama Linda emang nggak ada tandingannya." bangga Gevan dengan tersenyum. Zyra membalasnya dengan senyuman sekilas.
"Ra..." panggil Gevan tiba-tiba. Dahi Zyra mengernyit. "Lo tadi senyum ke gue?" lanjutnya denga heran.
"Emang kalo orang senyum nggak boleh? Seaneh itu kah?" tanya Zyra.
"Ya nggak gitu juga kali, lo kan jarang gitu, dan hati gue jadi nyut-nyut. Tanggung jawab!" alay Gevan sambil memegangi dadanya.
"Lo kira gue apaan, lagi pula gue senyum ke kue buatan Tante Linda bukan senyum ke lo, jangan geer!" sinisnya ke arah Gevan.
Gevan hanya mesem. "Oh iya, tadi pas gue kesini gue papasan sama sese—"
"Ayah." potong Zyra, yang sudah tau kalau Gevan akan menanyakan.
"Ayah lo ganteng Ra, suka deh." katanya sambil tersenyum manis. "Tapi...gue masih sukaan sama anaknya," lanjutnya sambil cengar-cengir.
"Gila." ucap Zyra.
"Iya gila, tapi gilanya karena lo~"
Mendengar itu Zyra memalingkan mukanya, dan diam. Ini satu cowok kalau di ladenin akan jawab terus. Jadi Zyra memutuskan dengan diam.
Gevan tertawa melihat muka Zyra yang sebal. Lalu tak lama kemudian dirinya pamit pulang.
"Hey, tunggu!" teriak Zyra, sebelum Gevan melangkah lebih jauh dari pekarangan rumahnya.
"Kenapa? masih kangen ya~" kata Gevan bercanda.
"Nggak," balas Zyra, kemudian menyerah gelang yang sedari tadi di rambutnya. "Hoodienya gue kembaliin besok, setelah di cuci." lanjutnya.
Gevan mentap gelang yang ada di tangannya. "Ah elah, cuma gelang. Simpen aja napa sih. Siapa tau lo rindu sama gue."
"Nggak, terimakasih." Singkat Zyra lalu pergi, dan kembali masuk ke rumah.
***