Dengan takut-takut Zyra membuka mata dan menatap ayahnya. Untuk pertama kalinya dia melihat ayahnya tersenyum untuknya. Yuda menarik Zyra ke dalam pelukannya. Dia kembali menangis dan meminta maaf. "Maafkan aku Zyra, aku pria brengsek yang tidak becus menjadi ayah. Maafkan ayah nak, maafkan ayah... kamu pasti tertekan dan kesakitan." ucapnya sambil menatapi putrinya yang selalu dia sakiti.
Zyra langsung melepaskan pelukan itu, dan memberi jarak sedikit. Dahi Yuda mengerut, dia memang pantas untuk di jauhi. "Zyra...aku minta maaf, aku memang tidak tau diri, aku—"
"Kenapa?!" potong Zyra sambil menunduk.
Yuda terdiam, dia tahu pasti putrinya tidak akan memaafkannya, dia terlalu beruntung jika di maafkan begitu saja. Namun, itu hanya pemikirannya. Nyatanya Zyra malah berkata hal yang tidak terduga.
"Kenapa baru sekarang? Zyra selalu menunggu itu, Zyra memaafkan, kau adalah ayahku. Satu-satunya keluarga yang tersisa, Zyra tidak mau di buang, Zyra tidak mau di pukul lagi, Zyra tidak mau cambuk lagi, Zyra tidak mau di diamkan lagi," ucapnya tersendu-sendu sambil mengucek matanya yang sudah di banjiri air mata.
Yuda semakin bersalah. Dia memeluk kembali putrinya, dan kali ini Zyra memeluk kembali ayahnya. Kedua orang itu tidak berkata lagi apapun. Kata-kata tidak cukup untuk diungkapkan untuk masing-masing. Mereka hanya membisu dan menangis bersama.
Selang beberapa waktu setelah agak tenang, Yuda membuka percakapan. "Yang kemarin sudah berlalu, ayah memang tidak tau malu jika menginginkan kamu untuk melupakan kejadian yang kamu lalui selama ini,"
"Keluarga ini cuma tersisa dua orang, aku dan kamu... putriku." lanjut Yuda sambil menutup mata. "Ayah mau memperbaiki segalanya, memulai ulang dan memberikan segalanya untuk mu, hanya kamu satu-satunya yang aku miliki Azyra."
"Iya." jawab Zyra seadanya, dia tidak bisa berkata-kata lagi. Dia terlalu berbahagia untuk hal ini.
"Berkali-kali pun tidak cukup mengucap maaf untukmu, putriku..."
"Aku sudah memaafkannya, kamu ayahku, Zyra hanya perlu ayah selalu di dekatku itu sudah lebih dari cukup."
Yuda tersenyum, dia malu atas tindakan masa lalunya dan melihat anaknya memaafkannya begitu saja. Dia melihat beberapa luka ditubuh Zyra yang sengaja di tutupi.
"Azyra, mana yang sakit? katakan pada ayah,"
Zyra hanya tersenyum. "Ayah, kita akan memulai segalanya dengan baru kan? Zyra sekarang baik-baik saja, sekarang Zyra terlahir kembali, begitu pula dengan ayah, semuanya baru, ayo berbahagia dan lupakan yang di belakang dan fokus ke depan. Tidak usah menoleh lagi ke belakang."
Yuda terenyuh, dia tersenyum, benar adanya kata-kata Zyra, mereka akan mulai hidup baru dan bahagia. Kembali memeluk putrinya dengan erat, dan air matanya kembali mengalir dengan bahagia.
***
Sekarang, semuanya kembali hidup. Kesuraman tersingkirkan oleh kebahagiaan yang selalu tumbuh di sisi Zyra. Dia selalu iri akan keluarga yang harmonis, dia selalu berdoa agar dirinya bisa di posisi dimana dia disayangi sepenuh hati oleh keluarganya.
Kini dia tidak perlu iri, sambutan hangat dari ayahnya membuat hidupnya lebih berwarna lagi.
Tak ada pukulan, tak ada caci makian, tidak ada tuntutan yang membuat dirinya tertekan lagi. Kali ini dia membuat catatan tentang dirinya di hari ini juga.
"Terimakasih tuhan." gumamnya kemudian menutup buku diary pertamanya. Dia akan menjalani hidup baru.
Pintu terbuka, menampakkan Yuda yang lebih ramah walaupun agak kaku dan canggung. "Ayo makan? ayah sudah memasakkan untuk kamu, itu permintaan mu kan? "
Zyra menoleh dan melihat ayahnya di kusen pintu sedang berdiri mengintipnya. Senyumannya mengambang dan segera keluar dari kamar.
Makan malam kali ini tidak perlu sendiri lagi, dia benar-benar diperlakukan begitu lembut oleh ayahnya.
"Duduk saja, biar ayah yang mengambilkan." ucapnya sambil menyiapkan makanan dimeja.
Zyra tidak bisa menahan senyumnya. Dia sangat senang, kini bisa makan bersama ayahnya. "Ini makan malam terbaik yang pernah ada."
Kata-kata itu terdengar oleh Yuda, dia juga sadar dulu dia selalu menolak dengan seribu alasan untuk makan bersama Zyra sebelumnya. Dia menatap putrinya yang antusias, gadis berusia delapan belas tahun itu seperti anak kecil di matanya.
"Nah, mulai sekarang kita akan makan malam bersama." kata Yuda, yang kemudian di angguki oleh Zyra.
"Ya, ayah."
***