29. Bukan Teman

4 0 0
                                    

Hari berlalu, kejadian di danau sudah terlewat 2 hari. Gevan pikir Zyra sudah tidak marah dan... mereka baikan, setelah akhirnya cewek itu mau di ajak bicara dalam perjalanan pulang waktu itu. Tapi perkiraan Gevan salah, cewek itu selalu menghindarinya di sekolah, apa lagi di rumah. Walaupun mereka bertetangga Zyra jarang sekali keluar dari rumah.

Gevan terduduk lesu di kantin, dan menatap ketiga sohibnya yang sekarang.

"Lemes banget, tumben gue jarang liat lo sama cewek galak itu," ledek Brayn.

"Oh ternyata lo sadar juga ya," lemas Gevan.

"Kita semua sadar bro." jawab Mahen dan di angguki Yohan.

Gevan cuma menghela nafas, dan mengedarkan pandangannya untuk mencari sesosok Zyra, siapa tau cewek itu di sana. Namun, bukannya ada Zyra malah ada nenek sihir—alias Maudy. Dia tersenyum lebar dan segera mendekati Gevan.

"Hai," senyumnya mengambang, dan langsung duduk di samping Gevan tanpa memperdulikan Brayn, Mahen dan tentu saja Yohan. Jujur saja, Yohan agak sedikit senang cewek pujaan hatinya duduk disana, walaupun cewek itu hanya tertarik dengan Gevan. Poor Yohan.

Maudy memandangi lamat-lamat Gevan yang sedang tidak mood untuk berbicara. "Lo masih sakit ya?" tangan Maudy mengambil kesempatan untuk menyentuh dahi Gevan. Tentu saja Gevan langsung menepisnya. Kerutan pada bibirnya tercetak jelas, Maudy agak sedikit kesal. "Lo udah makan belum? muka lo pucet banget, gue pesenin oke?" katanya untuk mencari perhatian.

"Nggak usah, nggak selera makan." katanya kemudian hendak berdiri, namun lengannya di tarik oleh Maudy. Tubuh Gevan yang tersentak oleh sentuhan itu langsung oleng dan jatuh. Maudy ikut tumbang, malah keduanya terjatuh bersama. Maudy terkapar di tanah dan Gevan di atasnya, namun tangannya masih menumpu di tanah hingga Maudy tidak sepenuhnya tertindih. Mereka berdua bertatapan. "Gila, cakep banget. Dia lihatin gue lagi aaaa pasti suka sama gue." jerit Maudy di hati, yang tentunya tidak benar. Hello Maudy, Gevan menatap karena ada mata bukan berarti ada rasa.

Jantung Maudy berdegup kencang. Dia merasa beruntung jatuh karena bisa melihat Gevan dengan sedekat ini. Namun, adegan yang membuat Maudy berdebar-debar itu terganggu. Gevan mengalihkan pandangannya ke seseorang yang baru saja berjalan melewati mereka berdua, yang tak lain adalah Zyra.

Cewek itu baru saja ke kantin, dan dia melihat kedua orang itu berjatuhan dan posisinya sedikit mesra. Zyra hanya melirik sebentar dan terus berjalan tanpa menghiraukan apapun, toh dia hanya ingin membeli makanan.

Hati Gevan berdegup kencang saat matanya bertemu mata Zyra.

"Gue nggak sengaja, sorry." kata Gevan ke arah Maudy sekaligus membantu cewek itu berdiri.

Maudy awalnya ingin marah, namun saat Gevan mengatakan itu dan membantunya dia malah tersenyum. "Nggak pa-pa kok, g-gue..." belum dia melanjutkan kata-kata itu Gevan sudah melesat ke arah Zyra.

Maudy menggigit bibirnya kesal, kuku-kukunya menancap di telapak tangannya, terlihat jelas  dia mengepalkan kedua tangannya menyalurkan emosi.

"Zyra..." ucap Gevan di belakang, cewek itu tetap diam.

"Ra gue—" ucapannya terpotong.

"Bisa nggak sih, jangan ganggu gue? mending lo kembali ke Maudy, sebelum dia ngamuk ke gue."

Zyra bisa merasakan mata tajam Maudy yang melotot seperti ingin mengulitinya hidup-hidup.

"Gue nggak mau. Gue maunya sama lo." balas Gevan dengan cepat.

Setelah Zyra selesai membeli makanan di kantin, dia segera berbalik dan berjalan menghiraukan Gevan. Tentu saja Gevan terus mengikutinya, sangat sulit itu mendekati cewek itu beberapa hari ini.

"Ra... lo masih marah sama gue gara-gara gue—" terdiam, kemudian melanjutkan dengan lirih. "—cium lo? gue minta maaf."

Telinganya tidak dungu, jelas sekali Zyra mendengar itu. Kakinya terhenti dan melotot ke arahnya. Susah payah Zyra melupakan itu namun cowok itu kembali membahasnya. Mukanya panas mengebu-ebu namun dia tutupi dengan kemarahan. "Nggak perlu dan nggak usah bahas itu, itu kejadian yang nggak ada hubungannya, itu cuma kecelakaan bodoh. Gue cuma nggak mau berhubungan apapun lagi sama lo, jadi jangan ganggu gue lagi, gue nggak mau cari masalah. Gara-gara lo hidup gue disini terusik Maudy sama teman-temannya, yang tentunya itu bersumber dari elo. Lupain aja, seperti lo nggak kenal gue dan sebaliknya." ucap Zyra tanpa jeda.

Gevan menatap Zyra dengan sedih. "Kenapa? kita temenan kan? g-gue bakalan lindungin lo dari apapun kok termasuk Maudy dan lainnya kalau macem-macem."

"Temen? gue nggak punya temen." ucap Zyra dengan kasar, berharap cowok itu segera illfeel dan pergi.

Gevan membalas lagi. "Lalu apa yang kita lakuin pada hari itu nggak berarti buat lo ya Ra? gue kira—" mulutnya terhenti dan menunduk. "—kita bisa akrab, gue bisa nemenin lo. Tapi sepertinya lo emang begitu nggak sukanya sama gue."

Zyra tertegun, dia menatap cowok itu. Alay jika Gevan menangis, tapi Zyra bisa melihat mata Gevan memerah. "Oke, kalau emang itu mau lo dan membuat lo nyaman, gue nggak bakalan ganggu lo lagi kok." kemudian dia mendongak kembali menatap Zyra yang terdiam.

"Gue... masih berharap banget kita bisa temenan, mungkin juga—" sebenarnya Gevan ingin bilang 'lebih dari teman' tapi dia tidak mau mengacaukan, dan membuat Zyra semakin kesal. "Intinya gue cuma mau bilang maaf, dan lo nggak sendirian kok, ada gue yang bakalan nemenin lo jika....lo butuh," Kemudian Gevan menjauh dari koridor sekolah itu dan menghilang perlahan dari pandangan Zyra yang sekarang terdiam membisu.

***

Not Alone Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang