28. Mengambil Jiwanya

4 0 0
                                    


Langkah kakinya semakin cepat, namun tak dipungkiri entah hatinya atau jantung nya berdegup kencang, atau malah keduanya? entahlah Zyra tidak tau.

Hal yang tidak dikagetkan lagi. Selama hidupnya Zyra tidak pernah berpacaran sama sekali, mengingat cewek itu tidak pernah dekat dengan siapapun, mempunyai teman pun tidak ada karena mukanya yang judes dan galak.

Namun hari ini, seseorang mengambil ciuman pertamanya. Bahkan seseorang yang bukan siapa-siapa nya... oh ataukah bisa di sebut dengan temannya? Zyra tidak pernah memikirkan itu, apakah Gevan temannya? mengingat hanya cowok itulah yang sering mengekorinya.

Mukanya panas, memerah, dan dadanya bergemuruh saat bayangan ciuman tadi terlintas dibenaknya. Bayangan Gevan dengan lembut melumatnya bibirnya, seakan beban yang ditanggung selama ini hilang begitu saja, namun tetap saja Zyra kesal. Mulutnya tak berhenti mengucap umpatan untuk Gevan sepanjang jalan. Dia tidak peduli pandang orang yang melihatnya seperti orang gila kesetanan.

Sedangkan Gevan, yang masih di area danau sedang meratapi nasibnya. Dadanya juga tidak berhenti berdetak kencang, rasanya ini lebih mendebarkan. Wajah manis Zyra yang sedang menangis terbayang-bayang di kepala Gevan, begitu pula dengan ciuman itu...

"Aakhhh, bodoh banget sih gue." dengan gemas Gevan menjambak rambutnya sendiri. Entah ilham dari mana dia berani mencium Zyra. Cewek itu, benar-benar mengambil seluruh jiwanya.

"Pasti Zyra nggak mau ketemu gue lagi, tck! padahal baru aja deket...sial, lo bodoh gevan, bodoh banget," cowok itu mengerang dan mendesah kesal. Namun tak di pungkiri ada sepucuk rasa senang setelah mengambil ciuman itu.

Tangannya mengambil jepit rambut yang pernah dia berikan kepada Zyra. Mengingat jepit itu saja membuat pipinya merona panas. "Aaah mama, apakah Gevan jatuh cinta? apakah boleh?" gerutu Gevan sambil mengadahkan pandangnya di langit. Dia gila, gila karena Zyra.

***

Pukul 04.30 pm, di halte bus. Kedua orang duduk bersama dengan jarak berjauhan. Ternyata Zyra masih disana, menunggu bus yang entah kapan datangnya karena sekarang sudah sore. Kemungkinan ini akan terjadi bus terkahir yang bakalan sempit karena banyak orang pulang bekerja dari kantor.

Gevan tidak seberisik biasanya, cowok itu terdiam cangung, dan cuma bisa curi-curi pandang ke Zyra dengan rasa yang takut. Namun mulutnya sangat gatal ingin berbicara. "Ra.." akhirnya dia berbicara namun tidak ada sahutan.

Helaan nafas panjang terdengar. "Zyra, gue rasa...tadi—"

"Stop! lo bisa nggak sih diem? gue bilang itu kecelakaan, jadi nggak usah di bahas lagi." potong Zyra dengan cepat.

Sudah jelas Zyra menghindari topik itu, bahkan mungkin dia berusaha melupakan walaupun sulit. Bibir Gevan kembali tertutup rapat. Bahkan Zyra enggan rasanya melihat wajah Gevan. Cewek itu terus menatap lurus tanpa mengatakan sepatah katapun setelah itu.

Bus tiba, terlihat bahwa disana sudah penuh orang, kenyataan yang paling menyebalkan adalah harus berdiri didalam bus yang sempit tanpa duduk. Bahkan tubuh Gevan yang menjulang tinggi tepat di belakangnya. Hembusan nafas hangat terasa di lehernya, lagi-lagi Zyra di buat merinding. Sial, Zyra hanya bisa memejamkan mata berharap cepat sampai dan turun lalu berlari ke rumahnya.

Seakan doanya dijawab oleh tuhan, bus berhenti namun bukan karena sudah sampai. Kata supir ban pada bus itu bocor dan harus menunggu beberapa menit atau jam malah? banyak desahan kesal, kecewa di sana, begitu pula Zyra.

Dengan susah payah, Zyra keluar dari dalam bus yang sempit itu. Dia memilih akan berjalan kaki menuju rumahnya, tak apa itu tidak jauh lagi kok. Hanya perlu waktu untuk beberapa menit untuk jalan sampai ke pemberhentian bus selanjutnya, lalu berjalan ke arah setapak menuju komplek rumahnya.

Gevan menyadari cewek di depannya kini sudah hilang, buru-buru dia mengedarkan pandangan ke kaca Zyra sudah jalan disana. Dengan cepat cowo itu juga ikut menyusul nya.

"Hey... tunggu," ucap Gevan setelah berhasil keluar dari bus.

Zyra menoleh, dan itu Gevan yang sedang mengejarnya. "Bareng, gue nggak mau lo jalan sendiri." lanjutnya, sekarang dia di samping Zyra.

"Gue nggak akan hilang, dan gue tau jalan dimana rumah gue." jawab Zyra masih dengan nada ketus.

Gevan tersenyum lega, dia bersyukur Zyra masih mau menjawabnya seperti biasa. "Ya tapi kan gue yang ngajak lo keluar, masa sih pulang sendiri, lagi pula kalau ada culik gimana?"

"Nggak akan pernah terjadi sekalipun kalau lo mau tau."

Gevan semakin menyunggingkan senyumnya. "Bisa jadi lho, gue liat di berita lagi banyak penculikan anak kecil." dengan nada yang menakut-nakuti.

"Dan gue bukan anak kecil," jawab Zyra.

"Oh ya?" balas Gevan lagi tak mau kalah.

Zyra kesal lantaran cowok itu memandanginya dari atas hingga bawah, padahal Gevan tidak bermaksud, dia hanya bercanda. "Bisa nggak, mata lo liat jalan aja!? gue lebih takut jalan berdua sama lo."

Kekehan keluar dari Gevan. "Gue nggak akan ngapa-ngapain lo kok, tapi kalau gue mau gue bisa culik lo." candanya.

"See dan ternyata lo penculik anak-anak itu, seperti lo bilang yang ada di berita."

Gevan tertawa terbahak-bahak. "Oh my... berarti secara tidak langsung lo mengaku dong?"

Alis Zyra terangkat, Gevan terkikik geli. "Berarti lo anak kecil juga."

Raut muka Zyra jauh lebih kesal, dia hanya menatap lurus dan berjalan lebih cepat.

"Eh tungguin dong," kata Gevan sambil terus menahan tawa.

***

Not Alone Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang