32. Kehangatan Tak Terbatas

4 0 0
                                    

Matahari mulai mengintip malu-malu. Seperti biasa Bi Leni, asisten rumah tangga yang datang ke kediaman Yuda dan Zyra untuk sekedar membersihkan rumah itu hanya di pagi hari dan kemudian dia akan pulang setelah selesai.

Wanita itu masuk dari pintu belakang dapur, menggunakan kunci yang sudah di percayakan. Langkahnya hendak pergi ke ruang tamu, netranya menangkap kedua orang yang masih tertidur. Senyumnya mengambang melihat majikannya memeluk putrinya. Sangat langka melihatnya seperti itu. Bi Leni mengurungkan untuk pergi kesana dan kembali ke dapur untuk melakukan aktifitas disana.

Mata Zyra mulai terbuka, sebentar dia menyetabilkan penglihatannya. Dia masih di dalam pelukan ayahnya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Dia merasa enggan untuk bergerak, jika boleh dia tidak ingin pergi ke sekolah dan ingin tetap berada di pelukan ayahnya yang masih belum terbangun dari tidur nya. Kesempatan itu sangat lah langka.

Namun pada akhirnya dia menggeleng kepala, dan tetap pergi ke sekolah, dia tidak mau membolos dan kena marah. Dengan hati-hati Zyra beranjak dari sofa. Berlari kecil megambil selimut dari kamarnya untuk ayahnya, dilihat wajahnya yang mulai memudar tak semuda dulu. "Ayah... mungkin banyak beban yang selama ini ditanggung olehnya."

Setelah itu dia beranjak dan pergi ke dapur, di sana ada Bi Leni. "Selamat pagi bibi," sapanya.

"Eh nona, pagi juga. Apakah bibi terlalu berisik hingga nona terbangun?"

Zyra menggeleng dan tersenyum. "Nggak kok, ini memang sudah waktunya bangun dan bersiap ke sekolah."

"Ah...benar juga ya."

Zyra duduk sebentar di bangku meja makan. "Bi... Zyra mau minta tolong, boleh?"

Wanita dengan rambut mulai memutih itu terkekeh dan mengangguk. "Tentu saja, selama bibi bisa."

"Nanti...tolong buat bubur untuk ayah ya? kemarin malam ayah mabuk, pasti nanti ayah akan membaik jika memakan bubur pereda mabuk itu..."

"Siap nona, serahkan kepada bibi."

Senyumannya mengambang. "Makasih bi."

***

Muka Zyra berseri-seri dia bersenandung kecil di setiap koridor sekolah. Dia berangkat pagi-pagi sekali bahkan sekolah masih sepi.

"Tuhan... jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku, biarlah berlalu lama, bahkan aku rela tertidur selamanya jika memang ini mimpi." Zyra bergumam di bangku mejanya.

Pelukan ayahnya dan belaian pada rambutnya membuat dia senang, walupun Ayahnya sedang mabuk dan mungkin tidak sadar apa yang dia lakukan. Tapi Zyra tidak peduli dan tetap senang bukan main. Pelukan itu sangat hangat, namun terbatas. Entahlah apakah Zyra bisa mendapatkan pelukan lagi esok hari.

Waktu berlalu begitu cepat, sekolah mendadak ramai. Begitu pula dengan kelas Zyra. Banyak orang-orang yang sudah berkeliaran kesana kemari, suara di ruangan itu pun ramai. Zyra mengambil sesuatu dari tasnya, earphone andalannya yang kemudian segera dipasangkan untuk meredam suara berisik di kelasnya. "Salma, nanti tolong bangunin gue kalau udah masuk kelas." pintanya ke cewek yang sekarang menjadi teman bangkunya, Salma mengangguk singkat.

Matanya mengantuk, mendengar lagu-lagu yang bergelora di telinganya. Dia menutup mata dan tergeletak dimeja. Oke 20 menit lagi sebelum jam pelajaran di mulai, Zyra akan bangun.

Matanya terlelap, cewek itu tidak menyadari seseorang duduk di sebelahnya kini telah berganti.

Dengan ragu-ragu Gevan kembali duduk ke tempat duduk di sebelah Zyra. Sungguh butuh waktu 1 minggu untuk melakukan hal ini. Pasalnya sudah di hitung sudah beberapa minggu tidak duduk di samping cewek itu. Dia sedikit menyesali berpindah tempat duduk, dia...jadi melewatkan beberapa momen untuk sementara. Terpaksa Gevan memohon lagi kepada Salma untuk bertukar kembali.

Dua puluh menit berlalu, cewek itu masih terlelap dan betah, dengan berat hati Gevan mengguncangkan bahunya dan berbisik pelan ke arah Zyra.

"Enghh..." Zyra membuka mata pelan dan mencopot earphone nya.

"Salma makasih, udah bangunin," ucapnya yang masih mengucek mata.

"Sama-sama, tapi gue bukan Salma." ucapnya dengan suara berat.

Zyra segera menoleh dan menatap suara berat milik orang itu. Suara yang tidak pernah dia dengar beberapa waktu belakangan ini.

"Hai," canggungnya. "Pak Jono udah masuk, jadi...gue bangunin lo."

Zyra masih tidak menjawab dan sedang mencerna kata-kata cowok itu. Sebelum pelajaran dimulai Zyra berkata. "Makasih, Gevan."

Hati Gevan kembali menggila. Nafasnya seperti tertarik begitu saja, dia sesak nafas saat ingin membalas perkataan cewek itu.

"Selamat pagi anak-anak." Ucap Pak Jono selaku guru, di depan sana. Akhirnya Gevan mengurungkan niatnya untuk membalas Zyra.

Suasana di kelas tenang, siswa-siswi dengan tenang mendengarkan guru di depan sedang mengucapkan beberapa kata sebelum di mulai pembelajaran.

"Para murid ku, sebentar lagi kalian akan lulus, tinggal menghitung berapa bulan lagi, bapak sudah tidak mengajar kalian lagi. Disini bapak doakan di ujian nanti kalian lancar dan lulus semua! Jangan lupa belajar tentunya, bersedia?" Ucap pria dengan bertubuh gempal itu, yang kemudian di beri jawaban riuh oleh murid di kelas.

"Huhuhu gue nggak nyangka, udah mau lulus." Yohan sedih sambil memeluk Mahen. "Huhuhu udah ga bisa ketemu Maudy lagi."

Mahen bergidik ngeri. "Najis," sambil melepaskan pelukan Yohan.

"Gue malah sedih, kapan lagi dapet guru sebaik Pak Jono, mana itu guru nggak pernah marah, pemaaf pula. Duh gue takut kaget kalau kuliah nanti dapet dosen modelnya kaya Bu Tutik." Brayn berkata.

"Bener banget jir, nenek Tutik serem, mana galak banget. Ngalahin Zyra gue rasa." Yohan berbisik kecil ke belakang, dimana tempat Brayn duduk.

Zyra yang merasakan namanya di bawa-bawa cuma, terdiam sambil mengabaikannya.

***

Not Alone Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang