14. Maaf

4 4 0
                                    

Semalaman Gevan tak bisa tidur, bahkan memejamkan mata saja sudah tidak betah. Pikirannya melayang-layang.

Setiap pikiran Gevan kosong dan matanya tertutup, sekelebat pasti ada wajah murung Zyra. Ya, kejadian tadi siang membuat Gevan uring-uringan semalaman.

Dia sangat egois dan pemaksa sekali, ah dia ternyata baru sadar. Dasar brengsek!

Baru saja Gevan dan Zyra memasuki tahap-tahap keakraban. Tapi kejadian tadi siang membuat semuanya kandas!

"Gimana?" gumam frustasi Gevan sendirinya.

Bolak-balik Gevan memegangi ponselnya, serangkaian kalimat tengah ditulis untuk seseorang. Belum sempat selesai kalimatnya, dia sudah menghapus kembali. Terus begitu, hingga dirinya tertidur sendiri.

Sedangkan disisi lain, Zyra tak bisa tidur lantaran pusing memikirkan tentang dirinya yang begitu-begitu saja. Tak berubah sama sekali.

Tapi jika membicarakan tentang berubah—ah semenjak kemunculan Gevan dia rasa...

'Nggak sempurna!'
'Nggak sempurna!'
'Nggak sempurna!'

Tidak-tidak, kenapa suara itu yang muncul sih. Potongan kalimat itu adalah ucapan yang dilontarkan Gevan tadi siang.

Sial, kepalanya jadi pusing karena memikirkan cowok gila itu.

'Gila-gila, harus cepat-cepat belajar saja sampai ketiduran dari pada memikirkan hal tak jelas itu.' pikir Zyra lalu turun dari ranjang.

Ctak lampu belajar dinyalakan, tangan Zyra langsung mengambil buku-buku di meja yang tersusun rapi.

Memejamkan matanya sebentar, lalu dengan sekali tarikan nafas dia harus fokus belajar.

Yah akhirnya tetap menjadi malam-malam sebelumnya, hanya belajar guna mengalihkan pikirannya sejenak.

***

Dengan langkah yang santai, Zyra menuju ke arah perpustakaan dengan tampang yang selalu ia bawa kemana-mana.

Tampang yang begitu-begitu saja seketika lenyap ketika ada seseorang yang menghadangnya.

"Ikut gue sebentar!" ujarnya dengan kesan yang angkuh.

Belum sempat menolaknya, tangan Zyra sudah di seret begitu saja, entah kemana.

Bibir semerah cabai busuk itu pun berucap, "Lo bisa nggak sih deket-deket sama Gevan?"

Zyra menatap tidak suka kepada orang yang di depannya.

Apa-apaan Maudy ini? sudah menyeret-nyeret dengan paksa, dan hanya menanyakan soal ini?

Dasar orang tidak bisa menghargai waktu, bang-buang waktu saja!

"Heh muka lo bisa biasa aja nggak sih? Nggak usah ngeliatin kita begitu dong!" kesal Emy yang di samping Maudy.

Dira menambahkan kalimat, "Songong banget jadi cewek lo!"

Lantaran Zyra tak menjawab pertanyaan mereka, dengan cepat Maudy menjambak rambut panjang Zyra. "Bisa jawab nggak sih?"

"Cih, kenapa lo tanya gue?" Decih Zyra dengan menahan emosinya.

"Lo jadi cewek murahan! Gue jelas tanya lo yang udah didepan gueeeee!" lengking Maudy semakin menjambak rambut Zyra.

"Siapa yang murahan? Lepas tangan lo dari rambut dia!" Tegas seseorang yang tiba-tiba muncul.

"Nggak k-kok, kita sedang bermain bersama aja, iya kan?" elak Maudy, lalu mengelus-elus rambut Zyra yang semula di jambak.

"Nggak." balas Zyra, lalu menepis tangan Maudy.

"Dasar, awas aja!" desis Maudy dengan tangan yang mengepal.

Ketiga cewek itu—Maudy, Emy, Dira pergi dari hadapan Zyra.

Setelah ketiga cewek itu benar-benar lenyap dari keberadaan Zyra, seseorang langsung menghampiri Zyra yang masih di tempat itu.

"Emm lo nggak papa kan?" tanyanya yang ingin menyentuh kepala Zyra.

Dengan cepat Zyra menepis, "Nggak lah, rambut gue rontok!"

Sakit? Ya sakit lah, apa lagi tadi Maudy menarik rambut Zyra dengan kencang.

"Apa?" lanjut Zyra menatap orang di depannya.

"G-gue mau—"

"Bentar, lo ngikutin gue ya?" sadar Zyra, setelah beberapa saat.

"Iya," polos Gevan. Ya, seseorang itu adalah Gevan.

Zyra menghela nafas kasar, "Apa?"

"Hah?"

"Lo mau ngomong apa, tadi?" ucap Zyra dengan malas.

Dengan kata-kata yang sudah dia susun dari kemarin malam, Gevan langsung mengucapkannya. "Gue mau minta maaf, untuk yang kemarin. Gue nggak bermaksud bikin lo kesel dan lainnya yang bikin lo nggak nyaman."

Zyra masih menyimak, Gevan yang menunduk. "Gue—cuma mau ngajak lo buat belajar bareng, dan itu sepertinya menyenangkan. Jadi gue mau berbagi hal itu."

Tangan Gevan terulur, lalu memegang tangan Zyra. "Maaf, maaf gue pikir lebih menyenangkan apabila semakin banyak teman, tapi—ternyata itu buat lo nggak nyaman. Sekali lagi maaf, gue egois banget. maaf ya?"

"Gue lebih maafin, kalo tangan lo nggak pegang-pegang tangan gue." ucap Zyra.

"Maaf," dengan cepat Gevan, melepaskan tangannya itu. "Jadi— dimaafin nggak?" lanjutnya.

"Ya." singkat Zyra.

"Lo nggak marah sama gue lagi kan?" tanya Gevan memastikan.

"Nggak." balas Zyra malas. "Udah minggir, gue mau jalan."

"Asli ini?" kata Gevan sambil mengikuti Zyra di depannya.

"Nggak, palsu!" sewot Zyra.

"Kok?"

"Ck, lo nggak dengar tadi gue jawab apa?" kesal Zyra.

Gevan terkekeh, "Iya deh maaf-maaf he he he."

Kaki Zyra terhenti, lalu berbalik badan. "Jangan ikutin gue." galak Zyra.

"Kena—" ucapannya tak jadi di lanjutkan melihat tatapan tajam dar Zyra. "Oke, satu kali ini gue nggak ngikutin lo."

Setelah itu, Zyra berjalan lagi menuju perpustakaan. Meninggalkan Gevan yang senyum-senyum tak jelas.

"Huhh tangan gue dingin banget." gumam Gevan, mengingat dia sangat gugup saat tadi berbicara dengan Zyra.

***

Not Alone Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang