Zyra Pov
Aku menatap punggung lebaranya, senyuman di wajahnya tidak pernah luput dari pandangan ku. Dia kembali dengan membawa kedua es krim di tangannya. Dia duduk di samping ku dan menyerahkan benda dingin itu ke arah ku.
"Nih, buruan makan nanti meleleh" ucap lelaki itu ke padaku.
"Hmm makasih," aku menerimanya.
Keheningan melanda sampai dia membuka suara dan menyenggol lengan ku. "Mereka adalah orang-orang yang beruntung ya?"
Aku memicingkan mata, dan menelusuri apa yang di maksudnya. Di depan sana ada anak kecil yang senantiasa menggandeng lengan kedua orang tuanya.
"Lo juga beruntung" kataku setelah menghabiskan es krim. Cowok itu terkekeh, dan menatapku. "Ih nggak ada pekanya, sih lo."
Aku hanya bergumam. "Maaf, bukannya gue mau menghakimi lo, tapi Om Fariz sama Tante Linda selalu menyayangi lo, dan lo juga beruntung, ya walupun mereka bukan—" aku terhenti karena tidak ingin lebih menyingung kedua orang tuanya yang sudah berpulang terlebih dahulu.
"Bukan orang tua kandung gue kan? hehe nggak pa-pa, gue juga udah ikhlas. Cuma gue sedang berandai-andai kalau setidaknya saat itu gue nggak mau lihat jerapah pasti...mereka masih ada di samping gue." katanya sambil menerawang jauh ke atas langit yang cerah.
"Hmm, tapi mungkin kalau gue nggak di adopsi oleh Mama Linda gue juga pasti nggak pernah bertemu lo kan?" ucapnya dia terkekeh dan menatapku. "Yah gue percaya, rencana Tuhan itu pasti ada baiknya. Lo bener, gue juga beruntung."
"Hmm.." aku berdehem dan memalingkan muka. Tak tau mau menjawab apa lagi.
"Bagaimana dengan lo?" tanyanya. seketika aku menoleh dan menatapnya. "Apanya?"
Dia menghela nafas. "Kalau dipikir-pikir gue nggak tau apa-apa tentang lo, gue pengen tau tentang lo Ra. Bukannya gue mau sok tau, tapi emang gue emang mau tau, gue pengen deket...kita teman kan? atau mungkin kita bisa lebih dari seked—"
Aku melotot saat dia berniat mengambil ancang-ancang untuk menggoda seperti biasa."Nggak ada, gue normal seperti yang lo liat."
Mulutnya ternganga yang kemudian di selingi dengusan kecil. "Dih yaudah, kalau begitu gue boleh tanya-tanya dong?"
"Tiap hari lo tanya-tanya gue, sekalipun pertanyaan itu nggak penting. Apa?" jawabku sambil memutar bola mata malas.
"Yessss," girangnya. "Kalau begitu mau nggak jadi pacar gue?"
Kini giliran ku yang mendengus kesal. Cengirannya terpampang jelas di wajahnya.
"Hehehe jangan ngambek dong, bercanda tapi kalau lo mau nggak pa-pa sih."
Jelas sekali aku menggeleng cepat kepalaku. "Nggak lah, amit-amit."
Senyumannya tersungging. "Oke-oke gue serius, sejujurnya gue penasaran sama orang tua lo," ucapnya hati-hati terlihat jelas dari raut wajahnya.
"Lo tanya itu, kenapa?"
"Ya kan persiapan lah ke camer," dia mengedipkan sebelah matanya. Aku tidak paham apa maksudnya.
"Calon mertua, heran deh gue berasa gombal ke anak kecil yang nggak peka." dia terkikik geli.
Aku cuma bergidik ngeri, "Bukan salah gue, salah situ sih."
"Pfftt hahaha, jadi... boleh lah gue tau informasi camer dari anak gadisnya." dia menaik turun kan alisnya.
Aku menatap ke arah danau yang ada di depanku. "Nggak ada,"
"Gue cuma punya Ayah, dia galak tau, lo pasti nggak berani bilang apapun kepada nya," Lanjutku sambil memberikan senyuman seringai ke arahnya.
"Cuma punya ayah?" Matanya memandangku dengan tatapan mata yang lembut.
"Hahaha bunda masih hidup, mungkin... gue nggak tau dan nggak mau berurusan dengannya lagi." kataku sambil melanjutkan, entah mengapa aku bisa bercerita setelah ini.
"Ayah dan bunda sudah bercerai saat gue masih kecil, dia entah menghilang kemana bak ditelan oleh bumi. Satu-satunya yang gue punya sekarang hanyalah ayah. Gue sayang banget sama ayah Gev, dia nggak buang gue seperti bunda. Padahal gue nakal, bandel, dan banyak kesalahan tapi... ayah tetep nggak buang gue. Gue takut banget kalau sampai membuat ayah marah, gue takut di buang seperti bunda buang gue, alias meninggalkan gue. Gue nggak mau mengecewakan dia, gue mau menjadi sempurna. Ayah suka hal yang sempurna, gue takut kalau gue nggak sempurna gue bakalan di buang. Namun, sampai sekarang gue sadar gue nggak bisa sesempurna itu, gue masih aja membuat ayah kadang kecewa,"
Aku memejamkan mata dan membayangkan betapa sakitnya ketika punggungku di cambuk sabuk oleh ayah dan kekerasan lainnya. Namun tentang itu aku tidak akan menceritakannya.
"Ayah galak karena gue kadang emang bandel, tapi gue tau dia sayang sama gue kan Gev? mana mungkin dia buang gue, paling dia cuma memberi hukuman 'kecil' karena emang gue nakal, dan itu pantes iya kan Gev?" aku menatap manik cowok itu.
"Ah... makanya gue takut banget kalau dapet nilai jelek, pokoknya hal yang membuat gue nggak sempurna, gue nggak takut hukuman tapi gue cuma takut di buang karena ayah nggak suka, gue nggak mau, gue takut sendiri."
Tanpa aku sadari aku menceritakan sebagai perasaan yang sudah aku pendam sekian lamanya.
***