25. Kunjungan

2 1 0
                                    

Rasa takut berangsur-angsur menghilang. Gevan sendiri tidak menyangka bahwa dirinya kali ini bisa melupakan sejenak trauma yang dia takuti.

Apa semua itu karena keberadaan Zyra? Entahlah Gevan sendiri juga tidak tau.

Tangan kecil Zyra menggenggam erat-erat tangan Gevan yang lebih besar. Jika di lihat terus menerus Gevan ingin tertawa. Tangannya itu lembut dan sekecil tangan anak kecil.

Netranya melirik ke arahnya, Gevan bisa melihat raut muka Zyra yang sangat serius. Apa Zyra mengira Gevan benar-benar akan setakut itu menaiki bus?

Lupakan itu, kini Gevan hanya fokus ke arah Zyra. Rambut pendek, baju imut, dan sedikit polesan make up yang membuat cewek itu semakin feminim.

Gevan sangat menyukainya. Jarang sekali dia melihat Zyra seperti ini. Mungkin nantinya dia akan berterimakasih kepada Bi Leni yang sudah mau mendandani Zyra seperti ini. Dia bisa tau karena tadi cewek itu mengeluh soal baju yang dipilihkan Bi Leni.

"Lo pusing? Apa mau turun saja?" bibir kecil itu berucap.

Gevan masih terdiam, dan tidak menjawab.

"Muka lo merah, lo masih sakit ya?" ucap Zyra sekali lagi, dan itu mampu menyadarkan Gevan.

"Bodoh, ini karena lo bukan sakit!" gerutu Gevan di dalam hati. Jangan lupakan hatinya yang berdebar kencang.

"Nggak usah, turun di pemberhentian berikutnya saja." Saat itu juga Gevan langsung menyadarkan kepalanya ke pundak Zyra.

"E-eh!" kaget Zyra.

"Gue pusing, pinjem sebentar ya?" Bohong! Gevan bohong saat ini. Dia sengaja memanfaatkan kesempatan ini.

"Bohong sedikit nggak pa-pa lah ya?" batin Gevan.

Pundak Zyra mendadak kaku. Apa-apaan Gevan ini, membuat jantung Zyra kaget saja. Tapi mau bagaimana lagi, dia tetap membiarkan laki-laki itu menyadarkan kepalanya. Toh katanya pusing, mungkin karena trauma?

Tak tau saja, kini Gevan menutup keduanya matanya sambil tersenyum bahagia. Sedang Zyra hanya terdiam kaku.

***

Tring! pintu tertutup membunyikan lonceng di sana, "Terimakasih atas kunjungannya." kata penjual bunga di toko itu.

Setangkai bunga mawar di sodorkan. Kedua alis Zyra terangkat. Apa Gevan memberikan bunga itu kepadanya?

"Buat lo hehe," ucap Gevan sambil tersenyum.

Zyra tidak menolak itu, dia menerima bunga itu.

"Jadi kita akan kesana sekarang?" tanya Zyra sambil melirik sekerajang bunga di tangan kiri Gevan.

"Ya, lo nggak keberatan kan?"

Zyra menggelengkan kepalanya. "Jangan hiraukan gue. Cepat bergerak, katanya kangen 'mereka'."

Kemudian mereka berdua berjalan menuju ke TPU. Ya, tempat pemakaman. Gevan mengunjungi kedua orangtuanya yang telah berpulang terlebih dahulu.

"Halo, maaf ya Gevan baru bisa mengunjungi kalian lagi." lirih Gevan sambil mengelus kedua batu nisan yang di depannya.

Dari kejauhan Zyra bisa melihat Gevan yang sedang berbicara kepada orangtuanya. Yah, walaupun tidak secara langsung. Namun, Zyra tau bahwa Gevan pasti sangat merindukan kedua orangtuanya.

Gevan melambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Zyra datang kesana.

Zyra yang tak tau harus apa, meletakkan setangkai bunga mawar pemberian Gevan. Lalu tak sengaja menatap mata Gevan yang sudah memerah dan berkaca-kaca.

"G-gue tunggu disana," kata Zyra.

Sebelum pergi meninggalkan Gevan seakan paham perasaannya Zyra berucap, "Santai, gue nggak akan lihat."

Setelah itu pun dari kejauhan, Zyra melihat lagi Gevan yang sedang berbicara. Tapi kali ini cowok itu menangis. Saat itu juga Zyra membalikan tubuhnya. Dia juga peka, untuk situasi ini.

Tak lama Zyra merasakan ada yang menepuk pundaknya, dan ternyata itu Gevan.

"Selesai?" singkat Zyra dan diangguki oleh Gevan.

Saat keluar dari TPU Gevan tidak banyak bicara seperti biasanya. Namun bila ditanya tetap menjawab dengan senyuman seperti biasa.

Zyra juga tidak tau harus apa dan dia hanya mengekori saja. Gevan lah yang mengajaknya untuk keluar, namun cowok itu tetap tidak bergeming sedikitpun untuk kali ini. Sampai dimana saat Gevan mengehentikan jalannya, Zyra tak sengaja menabrak punggung bidang milik Gevan.

"Aduh..." spontan Zyra meringis, dan mengelus hidungnya.

Gevan membalikkan badan. "Eh maaf, apa sakit?" paniknya saat melihat hidung Zyra memerah sedikit.

"Nggak," jujur Zyra.

"Kenapa jalannya dibelakang, disini dong harusnya." ucapnya lalu sambil menarik lengan Zyra agar berada di sampingnya.

"Ya gue kan nggak tau," kesal Zyra. "Lo aja dari tadi... diem." lanjutnya dengan lirih, namun masih di dengar Gevan.

Cowok itu meringis, "Maaf tadi kayaknya ada alien yang masuk ke kepala gue, jadi nggak sinkron otak sama tubuhnya."

Zyra memutar bola matanya dengan malas. Walupun begitu, setidaknya dia cukup lega saat Gevan mulai berbicara lagi.

"Jangan marah dong~" bujuk Gevan. "Gue beliin es krim deh, mau rasa apa?" lanjutnya.

"Gue bukan anak kecil, yang mau di bujuk dengan es krim."

"Terus apa? Mau apa?" tawar Gevan sambil memajukan wajahnya.

"Gue nggak marah, jauhkan wajah lo!"

Sedangkan cowok itu nyengir. "Kenapa? lebih deket lebih baik kan?" dia semakin mendekat ke wajahnya.

Nafas Zyra tercekat, saat mata Gevan turun melihat ke arah bibirnya. Dia menyeringai, "Lo...manis banget sih," kemudian dia meniup kedua mata Zyra. Sebelum memundurkan kembali wajahnya. Hampir saja huft, hampir saja Gevan tidak bisa menahan dirinya.

***

Not Alone Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang