33. Pengakuan (1)

4 1 0
                                    

"Kalau begitu, saya tutup pelajaran ini. Selamat siang, dan selamat beristirahat." Katanya sebelum keluar ke dalam kelas.

Seluruh kelas menghela nafas lega, tanpa berlama-lama mereka semua tentu nya berhamburan pergi mencari udara segar di luar, dan tentunya mengisi perut di kantin kecuali Zyra dan... Gevan mungkin?

Tanpa merasa terganggu akan tatapan Gevan yang terus-menerus, Zyra mengeluarkan benda kotak di tasnya. Gerak-gerik itu membuat Gevan memandang sesuatu di tangan Zyra.

Kotak bewarna hijau. Ah sepertinya Zyra membawa bekal dari rumah. Memang, dia tadi meminta Bi Leni untuk membuatkannya.

"Ra, gue..mau ngomong sama lo." ucapnya setelah berkali-kali menelan ludah.

"Barusan itu ngomong." jawab Zyra kemudian berdiri dan berjalan membawa bekalnya entah kemana.

Gevan membuntutinya. "Serius, gue nggak bercanda."

"Yang bilang bercanda siapa?"

Gevan mendesah kecil, jawaban ketus itu membuat hatinya semakin gugup saja. Hingga kakinya tanpa sadar terhenti di bangunan yang jarang di jamah orang.

Zyra meniup beberapa daun di sana, sebelum duduk. Gevan mengikutinya dan duduk di sampingnya. Pikirnya berkelana di mana terakhir kali dia duduk disini adalah ketika dia bersembunyi agar Maudy tidak menemukan dirinya, tentunya di bantu cewek di sampingnya.

Kekehan muncul begitu saja. "Udah lama banget rasanya... saat gue sembunyi sama lo biar nggak ketahuan sama nenek sihir itu."

Telinga Zyra hanya mendengar dan tidak menjawab. Dia membuka kotak bekalnya.

Gevan melirik ke kotak nasi itu, ada sosis, nugget, beberapa sayur dan...susu kotak rasa stroberi terselip disana.

Seakan tak peduli Zyra melahap makanan itu, hey disana ada Gevan. Merasa terus di perhatikan, Zyra melirik.

"Apa?"

Senyum Gevan mengambang, akhirnya Zyra mau di ajak berbicara. Gevan menghirup nafas panjang-panjang. "Lo...nggak ngusir gue?" herannya.

"Lo mau diusir?" tanya Zyra yang langsung di beri gelengan oleh Gevan.

"Nggak," kemudian menggeser posisinya agar lebih dekat. "Ra...gue mau bilang serius. Gue mau baikan sama lo. Mungkin lo sampai bosen dengerin gue minta maaf, tapi gue bakalan bilang itu terus. Maaf banget, atas kesalahan gue selama ini. Gue selama ini sadar gue selalu gangguin lo, tapi sungguh itu cuma bercanda, gue...cuma pingin deket aja sama lo. Terus masalah ciu—"

Seketika nugget itu langsung membungkam mulut Gevan. Tentu saja itu ulah Zyra, dia tidak mau mendengarkan lanjutan itu.

Gevan mengunyah nugget itu dan menelannya sebelum berkata lagi. "Ra... gue tau gue kurang ajar waktu itu. Lo boleh deh maki-maki gue sepuas lo. Tapi gue mau selesain masalah itu,"

Giliran sosis itu yang akan masuk ke mulut Gevan, namun dengan cepat tangan cowok itu sudah menahannya lebih dahulu. "Eits nggak kena, dan gue nggak mau. Ra dengerin gue please, gue tau kita bukan anak kecil lagi. Gue yakin, lo pasti ngerasain sesuatu kan? saat gue... cium lo." katanya dengan penuh harap.

Muka Zyra melengos, Gevan sadar muka Zyra memerah. "Nggak, nggak ada." jawab cewek itu yang dirinya sendiri tidak yakin.

Gevan mengecutkan bibir nya. "Oke nggak pa-pa, tapi itu lo. Berbeda sama gue." hatinya saat ini sudah panas dingin.

"Lo tau nggak rasanya perut dan hati kalau lagi naik roller coaster pokoknya itu deg-degan dan tergelitik. Tapi gue nggak sedang naik itu, nyatanya gue cuma sedang di samping lo." ucapnya perlahan.

"Lo tau nggak rasanya jantung seperti di cabut malaikat. Tapi itu belum takdir gue untuk mati, dan nyatanya itu cuma gue yang sedang memikirkan hal-hal tentang lo"

"Lo tau nggak rasanya panas di muka, telinga, dada, gue sampe sesek. Itu cuma gara-gara gue denger suara lo manggil nama gue."

Nafas Zyra tercekat, dia tau arah pembicaraan ini. Dia ingin mengakhiri namun Gevan terus berbicara tanpa henti.

"Gue nggak nafsu makan, gue nggak mood untuk melakukan apapun itu, gue cuma berdiam diri sambil senyum-senyum nggak jelas di kamar hanya karena kebayang sama lo. Gue kayak orang gila." Gevan semakin gencar mengungkapkan perasaan.

Mata Gevan menelisik ke wajah Zyra yang terdiam sedari tadi. "Gue suka sama lo, kalau gue suka gue bakalan bilang suka, gue nggak bisa tutup ini lagi."

"Ini bukan suka lagi." ucapnya perlahan. "Gue udah tahap cinta, gue jatuh cinta sama lo Fersylia Azyra." ucapnya serius, tak ada raut bercanda lagi.

Kini jantung Zyra ikut menggila, mendadak kepalanya pusing, "Gev gue—"

"Sebentar, jangan jawab dulu." ucapnya sambil menutup bibir Zyra menggunakan jarinya.

"Gue tau, gue seperti main-main. Tapi Ra jauh dari lubuk hati terdalam, gue nggak sanggup kalau menjauh dari lo terus. Dan gue yakin kalau gue ajak lo pacaran lo bakalan tolak gue. Jadi...tunggu gue sebentar lagi, sampai kita dewasa. Kita nggak usah pacaran, atau apalah. Gue pengen serius, gue...gue... pingin lo jadi satu-satunya pendamping gue seumur hidup maupun sampai akhir hidup."

Tangan Gevan merogoh sesuatu di kantongnya, kemudian menaruhnya di rambut Zyra. Jepit tengkorak itu lagi.

"Please jangan benci gue, setelah ini. Jangan hindari gue lagi. Jangan bilang lo nggak mau lihat gue lagi."

Kedua tangan Gevan mendarat di pundak kecil Zyra. "Ra setelah lulus nanti, gue bakalan bicara langsung sama Ayah lo!"

***

Not Alone Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang