Baginya, sendiri itu membuatnya tenang. Selain tak mau direpotkan, tentunya Zyra juga tak mau merepotkan orang lain, dan itu adalah hal yang selama ini dia jalani. Sendiri, sendiri dan sendiri.
Tapi semenjak kemunculan ‘dia’ kini dirinya jarang merasakan namanya sendiri. Gevano Alvarendra, dia adalah cowok yang membuat dunia Zyra agak sedikit berubah mungkin?
Ya, cowok itu benar-benar merepotkan. Argh lihat saja, bahkan sekarang cowok itu membuat Zyra kesal.
"Ra please ya, please. Tolongin gue kali ini aja, gue nggak mau sama nenek sihir." mohon Gevan dengan puppy eyes-nya.
"Gue mau ke suatu tempat, lo pulang aja sendiri." tolak Zyra mentah-mentah.
Gevan menggeleng, matanya tertuju kepada seseorang yang tengah melambaikan ke arahnya. "Tuh Ra, dia lambai-lambai ke gue."
"Gue nggak peduli."
"Nanti gue anterin lo deh, kemana aja." ucap Gevan dengan serius.
Zyra menatap Gevan dengan seksama, ada untungnya juga kalau di pikir-pikir.
"Gimana?" tanya Gevan memastikan, dan Zyra menghela nafas.
"Oke."
Senyum Gevan mengambang. "Yaudah buruan naik,"
Disisi lain, Maudy kesal lantaran dia melihat Zyra menaiki motor Gevan. Tangannya mengepal saat kedua orang itu melewati dirinya begitu saja.
"Cewek sialan!" gumam Maudy dengan marah.
Sedangkan Gevan, cowok itu menghela nafas lega. Dirinya agak merinding juga, ketika dekat-dekat dengan Maudy. Cewek itu sepertinya benar-benar tergila-gila dengannya. Buktinya dirinya merasa di ikuti stalker sepanjang hari.
"Lo mau kemana?" tanya Gevan kepada Zyra.
"Lurus terus aja dulu." balasnya.
Gevan mengiyakan, dia juga tak tau Zyra mau kemana. Kini motornya terus melaju ke arah depan.
"Berhenti," perintah Zyra kepada Gevan.
"Disini?"
Kepala Zyra mengangguk, ia memang ingin membeli beberapa barang. Kakinya menuju ke arah toko di depannya, Gevan juga mengikuti Zyra.
Tangannya mengambil plaster, obat merah, kapas, dan kain perban dengan jumlah yang cukup banyak masing-masingnya.
"Lo mau jualan ya? banyak banget pfftt..." Gevan berucap dengan tertawa.
"Nggak," balas Zyra, kemudian pergi ke tempat lain, guna mencari barang yang ingin ia beli.
Matanya mengedarkan mencari sesuatu, setelah menemukannya ia mengambil sebuah payung.
***
Sudah beres, sekarang Zyra tinggal balik ke rumahnya. Kakinya melangkah keluar toko, dengan menenteng kantong plastik di tangannya.
"Mau kemana lagi?" Zyra menggeleng saat Gevan bertanya.
"Ke rumah, gue udah selesai." sambil memperlihatkan kantong plastik yang di bawahnya.
"Lo cuma beli itu doang, lalu pulang?Katanya mau ke suatu tempat." heran Gevan.
"Kalo lo nanyain itu, ini tempatnya. Gue cuma beli ini, lalu pulang." jelas Zyra panjang-lebar.
"I-itu doang?" Gevan melongo, pasalnya dia kira Zyra akan pergi ke tempat yang istimewa atau semacamnya, tapi nyatanya cuma ke toko di pinggir jalan raya.
"Iya Gevan."
Kini Gevan tambah melongo. "Lo barusan bilang apa?" tanyanya sambil senyum-senyum.
"Kenapa? Gevan?" seketika Gevan menjerit kegirangan mendengar kalimat yang di lontarkan Zyra.
"Ish lo apaan sih pake teriak," tangan Zyra membekap mulut Gevan. Mereka di perhatikan beberapa orang karena tingkah Gevan tadi.
"Lo—manggil nama gue."
"Apaan coba? salah gue manggil?" omel Zyra.
Gevan menggeleng. "Nggak kok, cuma langka aja—lo manggil gitu sama gue."
"Kayaknya ini harus dimasukin ke daftar 7 keajaiban dunia deh, eh sekarang udah 8 yak?" lanjutnya sambil antusias.
Mata Zyra memutar dengan malas, aneh, cowok aneh—pikirnya. Gevan tak berhenti tersenyum. "Muka lo bikin eneg, buruan gue mau pulang." sewot Zyra.
"Gitu amat lo sama gue," Gevan mencebikkan bibirnya.
Zyra tak menghiraukan Gevan, dia ingin cepat-cepat pulang. Sepanjang jalan keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Gevan memberhentikan motornya.
Gevan sudah turun dari motor, tapi tidak dengan Zyra. "Kenapa disini?" tanya Zyra tak suka.
"Perut gue minta dikasih makan," tunjuk Gevan ke arah deretan penjual jajanan. "Ayo..." ajaknya.
Zyra bengong saat melihat banyak makanan yang dijajakan, dia tak pernah membelinya. Bukan tanpa alasan kenapa Zyra bisa berbinar-binar melihat itu, dia adalah cewek yang jarang keluar. Cewek itu hanya menghabiskan waktunya di rumah—belajar dengan giat untuk menjadi sesempurna mungkin.
"Ini namanya apa? enak nggak? berapaan?" Zyra terus bertanya-tanya. Dengan sabar Gevan menjawab, pertanyaan-pertanyaan dari Zyra.
"Haammppp," Zyra menikmati salah satu makanan dengan lahap, tapi seketika dia memperbaiki raut mukanya ketika Gevan melihat dirinya sambil terkekeh.
Zyra menoleh, "Apa liat-liat?"
Lalu Gevan hanya terkekeh, "Lo nggak pernah makan itu ya?"
"Nggak pernah." balas Zyra seadanya.
"Enak?" tanya Gevan, kemudian diangguki oleh Zyra.
"Suka?" Zyra mengangguk kembali ketika ditanya itu. "—sama gue," lanjut Gevan dengan jahil.
"Uhuk, nggak!" bantah Zyra.
"Pfftt, minum dulu,"
"Nggak lucu!" lanjut Zyra setelah minum.
Gevan tertawa terbahak-bahak, "Maaf-maaf, lanjut aja makannya."
Cih, Zyra yang mendengarkan itu sebal. Dia sudah tak berselera lagi untuk makan.
***