Hari ini hati Zyra bisa merasakan kelembutan, kehangatan, cinta dan kasih sayang tak terduga dari seseorang.
Mau tak mau jantungnya berdegup kencang, dia tidak bisa mengendalikan lagi. Gevan mengatakan semuanya, layaknya pria sejati. Dia menyatakan perasaannya dengan serius, bahkan cowok itu akan meminta restu kepada ayahnya langsung.
Gevan baru berusia 19 tahun, dan mungkin terlalu cukup mengatakan sesuatu yang tidak boleh dia mainkan.
"Azyra, will you be my wife? will you be my only life partner?" ucapnya dengan lancar tanpa rasa malu sedikit pun.
Namun Zyra tidak mampu menjawabnya, dia tidak yakin. Dia mengigit bibirnya dalam-dalam. Rasanya dia ingin kabur, namun kedua tangan Gevan menahan pundaknya. Padahal dia bisa saja menyingkirkan tangan itu, yang bahkan Zyra yakin dia bisa. Namun perasaan sedang di mainkan didalam, tubuhnya tidak mau berdiri dan kakinya mendadak kesemutan. Perutnya berasa meledak-ledak.
Saat Zyra membuka bibir ingin mengatakan sesuatu. Gevan memotong terlebih dahulu. "Oke jangan jawab sekarang, gue belum siap." kekehnya.
"Beri kepastian saat kelulusan nanti, dan jelas gue... ngarep hehehe jadi pilihanya cuma tiga."
Zyra mengangkat alisnya. Dan Gevan menurunkan tangannya dari pundak Zyra, dan memulai berbicara
" A. Mau, "
" B. Mau banget, "
" C. Nggak mau, nolak,"Mendengar itu mulut Zyra menganga, pilihan itu sama saja. Gevan terkekeh. "Lo tau kan, maksud gue?"
Zyra berdehem dan menjadi gugup. "G-gue... masih kecil." jawabnya, sialnya itu malah menjadi berantakan.
Semburat merah memenuhi wajah Zyra. Tak kuasa menahan lagi, Gevan tertawa terbahak-bahak. Dia sudah memastikan Zyra bakalan jadi salah tingkah dan gugup akibat ungkapnya tiba-tiba. Lagi pula siapa yang tidak kaget, jika tiba-tiba seseorang mengungkapkan perasaan dan secara langsung seperti Zyra yang dilamar secara tidak langsung oleh Gevan.
"Jangan ketawa! g-gue serius juga, gue masih ke-kecil, dan...gue belum memikirkan sampai kesana." ucap Zyra terbata-bata. Gevan masih tertawa.
"Gue tau kok," balas cowok itu. "Kita masih remaja. Tapi Ra, waktu terus berlalu, bahkan dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Dan kita tentunya lo nggak mungkin selamanya remaja 18 tahun kan?"
Zyra mengangguk tanpa sadar. Gevan tersenyum. "Maka dari itu gue mulai sekarang. Sambil menunggu jawaban lo, nantinya gue bakalan mencoba mengetuk pintu hati lo biar gue bisa masuk dengan sehalus mungkin, kalau nggak bisa bisa sambil ugal-ugalan pun bakalan gue lakuin." tawanya pecah.
Zyra mengerutkan kening dan berucap. "Silakan aja, lakuin sampai lo bisa buka pintu hati gue."
Seketika Gevan terhenti tertawa, dan menatap Zyra. "Apa? bisa di ulangi lagi?"
"Make me." ucap Zyra sambil bergeser dan memunggungi Gevan dan menatap ke arah lain.
Senyum Gevan mengembang mendengar jawaban itu. "Pasti."
Hening tak ada jawaban lagi. Zyra terdiam sambil mengeratkan genggaman sendok yang sedari tadi bekal makanan yang dia bawa di anggurin.
Gevan berdiri dan berganti posisi untuk menatap Zyra dari depan. "Jangan tegang gitu, gue nggak mau bikin ini jadi cangung," kekehnya sebelum mengambil susu kotak milik Zyra dan meminumnya begitu saja.
"Ini bakalan jadi favorit setelah ini," ucapnya sambil menenteng susu kotak itu. "Makasih."
***
Jantungnya tak berhenti berdegup kencang semenjak Gevan menyatakan perasaannya disekolah tadi. Di tambah mobil ayahnya yang masih terparkir disana menambah degup jantungnya berpacu berlipat-lipat lebih cepat.
Zyra membuka pintu dengan hati-hati, dia pulang sekolah agak terlambat dan bukan tanpa alasan, ada les tambahan mengingat dirinya akan segera melakukan ujian kelulusan sekolah.
"Aku pulang...." ucapnya yang sering kali ia katakan setelah kembali ke rumah.
"Sudah pukul empat lebih tiga belas menit." suara itu terdengar dengan jelas di arah pojokan sana.
Zyra mengedarkan pandangannya ke arah meja makan, dan terdapat ayahnya memunggunginya. Jujur saja, mendengar ayahnya berkata seperti itu membuat Zyra takut setengah mati, keringatnya bercucuran deras seketika. Mulutnya susah sekali untuk mengucapkan sesuatu untuk membela dirinya.
"A-ayah...maaf, Zyra pulang sore karena...Zyra...maaf... Zyra..." lidahnya terbelit-belit, dengan bodohnya dia malah terus mengulangi kata itu.
Sosok Yuda mendekat ke arahnya. Melihat Zyra menunduk ketakutan dan mencoba mengatakan sesuatu yang jelas Zyra sendiri kesulitan untuk mengatakannya karena terlalu takut.
Hatinya berdesis sakit, melihat betapa takutnya putri semata wayangnya itu. "Azyra berhentilah berbicara." ucap Yuda, yang sebenarnya dia tidak berniat membentak namun karena dia gugup dia malah berkata dengan keras.
Tubuh Zyra tertegun dan bergetar, dia melakukan kesalahan. "A-ayah...jangan pukul aku...aku mohon, aku... melakukan kelas tambahan itu sebabnya. Tolong jangan pukul, sakit...sakit ayah..."
Yuda menurunkan tangannya yang hendak mengelus kepala anaknya, namun kesannya hendak memukul karena memang itulah yang biasa dilihat dan dirasakan Zyra. Hati Yuda seperti di timpa batu dari tebing, sebegitu takutnya putrinya yang menganggap dirinya akan memukuli seperti biasa.
"Aku tidak akan memukul mu." ujarnya. "Buka matamu Azyra, aku sudah bilang tidak akan memukul mu, lagi."
***