33

6.5K 774 154
                                    

~Enjoy it guys~

Entah sudah berapa lama ia terkunci di ruangan bercat putih itu. Ruangan tanpa ada perabotan satupun didalamnya. Bahkan jendelapun tak ada. Kakinya mati rasa, ia tidak bisa memastikan apakah ini masih sore atau justru sudah malam hari. Tak tahu persis jam berapa.

Jaketnya sudah dilepas sejak tadi karena digunakan untuk menahan darah yang keluar dari sudut bibirnya. Bahkan warna jaket itu sudah berubah menjadi merah darah dibeberapa sisinya.

Zafran mengigil kedinginan. Ia mengacak rambutnya acak-acakan. Berusaha memikirkan cara agar bisa keluar dari tempat yang sekarang ditempati. Sesekali laki-laki itu meremas perutnya kala rasa sakit datang. Ia hanya menyantap sereal dan susu pagi tadi.

Zafran mendekat kearah pintu, mengetuknya pelan. Berusaha berpikir positif setidaknya masih ada dari mereka yang berempati padanya.

"Ma, mama." Ucap Zafran pelan. Suaranya bahkan serak. Tenggorokannya kering.

"Papa, maaf."

"Kakak, buka pintunya."

"Paman Ervin, buka."

"Mama, sakit. Perut Zafran sakit." Pada akhirnya laki-laki itu memutuskan untuk mengeluh atas rasa sakitnya.

"Mama. Tolong. Setidaknya beri Zafran makan." Lanjut laki-laki itu.

Cklek

Suara pintu sontak membuat Zafran bergerak mundur. Ia tetap duduk dilantai yang dingin dan mengangkat kepalanya menunggu siapa yang datang.

Darel menghampiri Zafran, tak lupa menutup pintunya kembali. Langkah kaki mantap milik pria itu membuat Zafran beringsut takut.

"Apa yang kau mau sekarang?" Tanya Darel. Pria itu bersandar pada pintu dibelakangnya.

"Keluar dari tempat ini." Jawab Zafran.

Darel tertawa keras bahkan menepuk tangannya heboh. "Dalam mimpimu, Zafran."

"Pa, aku salah apa?" Perkataan itu terlontar begitu saja dari mulut Zafran.

"Pa, aku mau seperti anak lain seumuranku. Kenapa papa begitu menyiksaku seperti ini?"

"Kak Ansel dan Kak Arsen bisa sekolah umum, kenapa aku tidak. Mereka bisa punya banyak teman, kenapa aku tidak. Mereka bisa melakukan apapun, kenapa aku tidak."

"Dari kecil pa, bayangkan. Aku selalu diatur ini itu. Makananku, pakaianku, bahkan langkah kakiku. Pa, aku lelah. Sungguh."

Zafran melontarkan apa saja yang ada diotaknya. Ia berusaha menuntaskan apa yang menganjal di pikiran dan hatinya selama ini.

"Pa, jika penyakit ini membuatku berbeda dengan kakak. Setidaknya beri aku kebebasan. Aku tertekan selama ini. Biarkan aku hidup seperti apa yang aku mau."

Darel mendengarkan semua keluh kesah si bungsu. Ekspresinya tetap datar. Setelah memastikan bahwa anaknya tidak lagi berbicara, ia mulai buka mulut.

"Ah, jadi seperti itu yang kau mau?" Tanya Darel. Ia menggeser tubuhnya lalu membuka pintu, membuat Zafran menautkan alisnya.

"Keluarlah. Lakukan apapun yang kau mau." Zafran berdiri dengan tertatih. Tak menyiakan kesempatan itu.

Setelah Zafran keluar disusul dengan Darel yang menutup pintu. Melewati anaknya tanpa sepatah katapun. Zafran berjalan pelan menuju kamarnya. Selain perut, kepalanya juga pusing. Mungkin karena banyaknya darah yang keluar akibat tamparan dari papanya.

Ia menoleh kearah jendela besar, ah ternyata sudah malam hari. Kakinya melangkah kearah lift, menekan tombol untuk ke lantai dasar.

Netranya menatap papa, mama, dan kedua kakaknya tengah menyantap makan malam. Zafran mengigit bibirnya mencoba mempertimbangkan. Ia membawa tungkai kakinya mendekat kearah meja makan.

Leona hanya menatap sekilas lalu melanjutkan acara makannya. Begitupun juga Ansel dan Arsen yang bersikap acuh.

Zafran menarik kursi yang biasa ia tempati. Berniat untuk makan malam seperti rutinitas mereka setiap hari.

"Sedang apa kau disini?" Tanya Darel dengan suara dingin.

Zafran terpaku, pergerakannya berhenti. "Untuk makan." Jawab laki-laki itu ragu.

"Saya hanya memperbolehkan seseorang makan atas perintah dan kemauan saya. Kau adalah pengecualian." Mendengar lontaran dari papanya memuat Zafran diam.

"Maksudnya?" Laki-laki itu ingin memastikan bahwa papanya tengah salah bicara.

"Saya sudah membiarkan kau melakukan apapun yang kau mau. Dan harus ada harga yang pantas dibayar untuk itu." Darel meletakkan sendok dan garpunya disamping kanan piring. Menengak air putih lalu menyenderkan punggungnya pada kursi.

"Kau bukan lagi Tuan Muda karena dirimu tidak mau diatur oleh kepala keluarga disini. Lakukan apapun sendiri, jangan menyusahkan orang lain." Darel mengakhiri kalimatnya lalu berdiri mengajak Leona yang juga selesai menyantap makanannya.

Ansel berdiam, duduk menyaksikan drama yang dibuat oleh adik bungsunya itu. Tidak juga berniat untuk membantu atau sekedar membela adiknya.

Zafran menundukkan kepalanya dalam, matanya memanas. Tangannya sibuk memilin ujung baju yang ia pakai.

Suara gesekan kursi dan lantai marmer terdengar, rupanya Arsen sudah muak dengan drama yang entah sudah episode berapa.

"Ah, satu hal yang harus kau tau. Mulai hari ini Ervin dan Levo bertugas menjadi asisten pribadiku." Arsen berkata demikian lalu menepuk pelan pundak kakaknya tanda bahwa ia pergi.

Tersisa hanya Zafran dan Ansel. Laki-laki itu mendekati adiknya. "Sekarang kau tau akibatnya kalau melawan papa." Setelah berucap Ansel berlalu meninggalkan Zafran sendiri.

Bahu Zafran menurun. Sekarang apalagi? Harusnya ia senang kan karena papanya melepaskan dirinya? Tapi kenapa jadi seperti ini? Papanya bahkan sudah membangun tembok besar diantara mereka. Bahkan pria itu berbicara padanya seperti berbicara pada rekan kerja, tidak ada kehangatan dalam tuturnya. Lagi, mamanya yang sama sekali tidak peduli dengan keadannya. Terakhir, kedua kakaknya yang sama sekali tidak membantunya.

Beberapa maid menghampiri meja makan, membawa semua makanan ke dapur tanpa menghiraukan kehadiran Zafran disana. Hanya beberapa jam, kedudukan Zafran berubah.

"Maaf, apa aku boleh makan? Bukankah makanan itu masih ada? Aku akan memakannya." Zafran mencegah salah satu maid yang membawa lauk berupa tumis kangkung.

"Maaf, Tuan Darel melarang kami untuk memberi makanan pada Anda." Jawaban maid itu lalu melangkah pergi.

Benar, maid itu tidak salah. Beberapa kali Zafran mencoba menenangkan dirinya sendiri. Maid itu hanya melakukan perintah yang diberikan papanya.

Zafran menghela nafas kasar, mulai hari ini ia bukanlah Tuan Muda lagi.

-

Bye bye! See u soon🖐

Salam Rynd🖤

ZAFRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang