41

7.3K 575 77
                                    

Belakangan ini aku nemu kalimat bagus dan pingin share ke kalian.

"Pelan-pelan, satu persatu. Semua sudah diatur dengan baik oleh yang Maha Baik. Doa, usaha. Usaha, doa. Perihal hasil, serahkan semua pada yang paling paham tentang dunia dan seisinya."

~Enjoy it guys~

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Suasana di ruangan itu menjadi lebih ramai karena Ansel dan Arsen saat ini tengah hadir diantara mereka.

Anggap saja kedua laki-laki itu sedang setor muka pada orang tuanya karena sejak kedatangan dua jam lalu yang mereka lakukan adalah : datang, membuka pintu, duduk, dan memangku laptop.

Zafran berbaring diatas ranjang, memang mau bagaimana lagi. Operasi itu hanya bisa membuat Zafran berbaring dan bersandar. Masih belum cukup mampu untuk bangun dan berdiri. Apalagi mematahkan teralis besi yang ada di jendela.

Sejak pemeriksaan pagi tadi, Zafran tak banyak bicara. Apa mungkin efek dari koma membuat laki-laki itu menjadi pendiam. Tapi sepertinya tidak, ilmu medis tidak mengajari hal seperti itu.

Ia hanya mencoba mengingat-ingat kejadian sebelum dirinya koma. Ia merasa terlalu banyak hal janggal yang terjadi.

"Papa mau ke cafetaria di depan rumah sakit, kau ingin menitip sesuatu?" Darel beranjak dari duduk, menatap kedua anaknya yang masih fokus pada pekerjaan.

"Aku ingin americano." Sahut Ansel. Ia melepas kacamata lalu memijit pangkal hidungnya.

"Aku ingin latte." Arsel menatap papanya sejenak lalu kembali mengetikkan sesuatu pada laptopnya.

Darel mengangguk, ia memberi isyarat pada Leona untuk pergi bersama.

"Mama pergi dulu sebentar. Kau ingin menitip sesuatu?" Tanya Leona. Ia mendekati Zafran.

"Boleh?" Zafran bertanya balik.

"Tentu saja, asal itu tidak minuman." Balas Leona. Ia merapikan sedikit selimut yang menutupi tubuh si bungsu.

"Cake?" Ucap Zafran sedikit tidak yakin.

"Tentu." Tanpa disangka, jawaban itu keluar dari mulut Darel.

🌠

Setelah dua orang dewasa itu keluar, keadaan kembali menjadi hening untuk beberapa menit.

Ansel meregangkan otot kakunya. Beranjak dari sofa dengan membuka dua kancing kemeja paling atas.

"Bagaimana keadaanmu? Lebih baik?" Sulung dari keluarga Aciel itu mendekati adik termudanya.

Zafran mengangguk. "Ya, lebih baik." Senyum tipis terulas di sudut bibir.

"Kau tak penasaran dengan semua kejadian yang telah terjadi sebelum berbaring di ranjang seperti hari ini?" Celetukan itu keluar dari Arsen.

Ansel sontak menoleh ke belakang dimana adiknya berada. Mencoba memberi isyarat, agar pembahasan seperti ini tidak perlu diungkit kembali.

Tapi mungkin, Arsen belum juga puas. Ia menutup laptopnya, meletakkan diatas meja kaca lalu bergerak mendekati kakak dan adiknya itu.

"Sean. Kau tak ingat dia?"

Boom! Arsen dengan segala wataknya yang sama sekali tidak bisa berbasa basi itu sungguh buruk.

Hening sesaat, Zafran pun hanya diam. Dia memilin selimutnya, berusaha membuka kembali memori yang terjadi dua bulan lalu.

"Apa yang terjadi di hari itu?" Zafran membalikkan pertanyaan. Ia menatap kedua kakaknya secara bergantian.

"Tak perlu lagi dibicarakan, bagaimanapun juga sekarang Zafran sudah baik-baik saja." Menjadi anak sulung, tentu membuat Ansel harus bisa menjadi penengah di situasi seperti ini.

ZAFRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang