7

22.5K 1.6K 66
                                    

⚠️ Baca narasi yaa guys😄

~Enjoy it guys~

Sepertinya memang benar jika doa itu tidak bisa tiba-tiba terkabul. Butuh waktu dalam semua proses itu. Seperti Zafran, ia tetap menjadi tawanan di kamarnya sendiri.

Selesai sarapan ia hanya berbincang santai dengan kakaknya. Untuk mengurangi rasa canggung diantara mereka.

Dirinya sudah tidak berharap lebih jika ingin keluar dari kamarnya. Perintah papanya itu mutlak. Tidak bisa dibantah ataupun ditawar. Begitu juga dengan ancaman Arsen. Tidak pernah main-main atau nanti akan mendapatkan imbasnya. Terakhir, ucapan Ansel adalah sebuah ultimatum yang jika melanggar sama saja bunuh diri.

Untuk beberapa waktu, Zafran merutuki kenapa dirinya dilahirkan ditengah keluarga Euan*. Jika berbicara tentang kebutuhan sudah tidak perlu dipertanyakan. Ia bahkan hanya perlu duduk diam dan semua keinginannya terpenuhi.

Lain lagi, jika ditakdirkan sebagai anggota terakhir dari keluarga Euan. Gambaran Zafran adalah versi nyata bagaimana keluarga itu memperlakukan putra bungsu mereka.

Nasib seseorang memang tidak sepenuhnya baik. Baik dan buruk seperti paduan yang bersampingan.

🌠🌠

Zafran keluar dari kamar mandi dengan setelan santainya. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kaos hitam polos yang tertutupi hoodie berwarna abu-abu serta celana panjang yang berwarna senada.

Ia melangkahkan kakinya ke meja belajar. Beberapa buku gambarnya masih tertumpuk berserakan disana, lengkap dengan beberapa crayon dan cat air yang sudah tidak di tempatnya. Memang, ia tidak suka jika barangnya disentuh oleh orang lain. Terutama barang untuk menggambar atau melukisnya.

Laki-laki itu mengambil sebuah canvas berukuran A2 yang terletak di rak paling bawah. Lalu mengambil stand lukis yang terselip diantara rak dan meja belajarnya.

Ervin segera membantu membawakan canvas serta stand lukis. Pria itu menatap kearah Zafran yang sibuk mengambil alat untuk melukisnya.

Total ada tiga kotak cat air, dua palet berbahan dasar plastik dan kayu, sepuluh kuas dengan ukuran yang berbeda, dan pensil yang beraneka fungsi.

Membawa tungkai kaki kearah kursi yang berada di dekat jendela. Ervin mengatur agar Zafran bisa melukis dengan nyaman. Menyingkirkan satu kursi lainnya ke sudut ruangan.

Zafran meletakkan semua alat lukisnya di meja sebelah kanan. Ia menghadap jendela dengan canvas yang sudah terpasang di stand lukis. Ervin yang melakukan itu.

Pemandangan hutan pinus dihadapan sana benar-benar memanjakan mata dan selalu membuatnya takjub.

Ia mengambil pensil 5H* setelah mengatur duduknya agar nyaman dan mendapat angle* yang tepat. Menggoreskan ujung lancip pensil diatas canvas dan mulai menggambar sketsa terlebih dahulu.

Alisnya menekuk serius dengan tangan bergerak luas di media putih itu. Matanya bergerak bergantian menatap sketsa dan pemandangan di depannya.

Setelah ia menyelesaikan sketsa tipisnya, tangan kanan itu mengulur mengambil pensil 4B* untuk menebali gambaran tipis itu. Bertujuan agar nantinya ia bisa melihat goresan dengan jelas saat sudah mulai melukis.

Ervin berdiri dibelakang Zafran, tidak jarang dirinya tersenyum saat melihat Zafran menyelesaikan satu persatu gambaran objeknya.

"Tuan Muda ingin buah?" Tanya Ervin membuka suara.

"Hm. Mangga saja." Jawab Zafran tanpa mengalihkan pandangan.

"Baik, Tuan." Balas Ervin. Ia berjalan kearah intercom yang terletak disamping ranjang. Meminta maid untuk membawa buah mangga ke kamar Zafran.

ZAFRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang