[Serenada Season 2]Pagi-pagi sekali aku sudah berdiri di depan loket pendaftaran ulang. Aku mengembuskan napas berkali-kali. Ya, kurasa diri ini siap untuk memulai sesuatu yang baru. Perjuangan baru, bukankah hidup ini hanya lah serangkaian perjuangan? Berawal dari harapan, tumbuh seperti benih lalu menjadi ambisi. Lalu kalau gagal jadi sedih. Lucu sekali.
Antrean membludak, untung saja aku datang lebih awal jadi antrenya tidak terlalu jauh dari loket. Sampai tiba saat giliranku, aturan antrean sudah tak lagi beraturan. Beberapa calon mahasiswa ada yang menyerobot, tipe orang-orang menyebalkan.
Tubuhku terdorong hampir jatuh saat ingin keluar dari barisan karena sudah menyetor berkas, hampir saja terjatuh kalau tidak ada tubuh jangkung yang entah dari mana sigap menopangku.
“Aduh.” Aku berusaha menyeimbangkan tubuh, mulai mendongak. “Makasi—“
“Amal?”
Aku terkejut mendapati orang yang kukenali itu berdiri di hadapanku. Apa ya istilahnya, mungkin 'dunia sangat sempit'. Bertemu dengan orang yang itu-itu lagi.
“Nada!” Ia juga tampak terkejut. “Kirain kamu di Univ Negeri.”
Aku tersenyum sembari menggeleng. “Enggak jadi, enggak nyangka aku ketemu kamu.” Biar kuingatkan lagi, Amal adalah salah satu teman Nugi. Tentunya dia sedikit lebih waras dari Nugi, sedikit memikirkan masa depan ketimbang lelaki urakan yang kini kurindukan itu.
“Ngambil jurusan kebidanan?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Iya.”
“Sama, dong!” Benar-benar dunia memang sesempit itu. “Yuk kita ngobrol-ngobrol di Cafetaria sana.”
Daripada aku pulang dan mendekam di rumah seorang diri, lebih baik mengobrol sebentar dengan Amal. Aku pun cukup penasaran dengan keadaan Nugi, apa dia melanjutkan pendidikan. Kalau iya, di mana? Duh, bagaimana otakku bisa fokus belajar kalau seperti ini.
***
"Aku pikir kamu ngikutin jejak teman-temanmu mau menikmati masa muda dengan benar-benar mudah," kelakarku yang disambut kekehan oleh Amal. Di depan kami sudah ada dua gelas es teh dan dua porsi mie tik-tik.
"Kita 'kan enggak bakal muda terus, Nad. Lagian aku tobat jadi nakal, pulang-pulang dislepet ekor ikan pari aku sama bapak," ucapnya berekspresi ngeri.
"Syukurin, memang seharusnya begitu biar kapok. Eh, ngomong-ngomong Nugi lanjut enggak?" tanyaku di sela-sela obrolan, mengatur waktu yang pas untuk menanyakan tujuan utamaku.
"Enggak tahu, mungkin kerja. Dia sudah enggak ada di kampung saat kamu pergi. Galau banget kayaknya dia." Amal memainkan korek apinya.
"Kamu tahu kami putus? Dari siapa?"
"Semua juga tau kali, Nad. Kami ngegosipin kamu di grup messenger alumni." Aku mengeluh, pasti di antara Mila dan Aisyah ada yang bocor. Dasar!
"Aku enggak masuk, baru diizinin punya HP sendiri aku." Aku melanjutkan makan, sebenarnya sangat tidak nafsu makan, tetapi mumpung ditraktir Amal untuk menghargainya segera saja kuhabiskan. Setelah itu, aku beranjak ingin pulang.
“Aku duluan ya.” Amal mengangguk, dia sudah mengeluarkan sebatang rokok dari tempatnya. Menyulut api lalu menghisap rokok itu dalam-dalam. Aku menggeleng, dasar kelakuan.
Aku berjalan menyusuri gang sempit untuk menuju rumah, hanya butuh sepuluh menit dari kampus untuk sampai. Cukup dekat. Aku mendudukkan tubuh ke kursi yang ada di teras. Sia-sia saja, Amal pun tak tahu tindak-tanduk aktual anak itu. Menyebalkan saat tak tahu kabarnya, padahal sudah bukan siapa-siapa.
Aku mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Membuka aplikasi biru dengan logo huruf F besar. Mengetikkan nama Nugi Irawan di sana. Ya, ketemu! Aku membuka profilnya. Melihat post-ing-an yang sudah seminggu lebih tak ia perbaharui. Aku mengembuskan napas kesal, susah sekali mendapatkan kabar dari manusia paling menyebalkan sekaligus kurindukan itu.
Aku mengetik pesan di room chat-nya.
[Hai]
Hanya sekadar basa-basi, tetapi sepertinya manusia jelmaan jailangkung itu tak aktif. Membuatku makin kesal saja. Aku tak kehabisan akal, kuhubungi Mila untuk memasukkanku ke grup alumni, siapa tahu cowok itu berinteraksi di sana. Meskipun berisiko membawa sesak napas kalau sampai dia berinteraksi dengan cewek sesama alumni. Nada! Tetap santai. Harus.
Grup Trilili Trulala. Masuk notifikasi pesan dari grup yang berisi aku, Mila, dan Aisyah. Membahas segala hal mulai dari yang receh sampai yang berat seperti minggu lalu kami menyemangati Mila yang orang tuanya baru bercerai. Miris sekali saat-saat terpuruk seperti itu, aku tak ada di sampingnya dan memeluk tubuh mungilnya. Ya, pasti berat untuk Mila meski dia pura-pura tegar dan bilang sama sekali tak terganggu soal itu.
[Udah aku masukin tuh, Nad.] Aku tersenyum membaca pesan dari Mila.
[Mau ngapain hayo di sana? Tumben-tumbenan seorang Nada peduli sama grup-grup begitu] Aku juga membaca pesan dari Aisyah yang membuatku cemberut. Selalu saja curiga.
[Paling mau kepoin Nugi dia, Ais ]
[Dih, enggak ya] balasku, kenapa sahabat-sahabatku sepeka itu sih? Aku kan jadi malu!
Ternyata begini rasanya tak bisa melupakan seseorang, padahal dari awal aku sudah tahu konsekuensi pacaran adalah merasakan sakitnya perpisahan. Parah hati yang membuat luka, merasa menyerah, tetapi masih sama-sama punya rasa. Aneh, yang tadinya terasa sangat indah jika bersamanya berubah menjadi perasaan yang mungkin bisa dibilang rindu yang tak tersampaikan. Miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenada
Teen Fiction[Revisi] [15+] Seseorang yang kuanggap baik, belum tentu baik untukku. Seseorang yang aku anggap buruk, padahal dia baik untukku .... Haruskah hati serapuh ini? Jika memang dia tidak menyukaiku, kenapa waktu itu dia melemparkan bunga? Atau hanya...