II| 11

1 1 0
                                    

Aku baru saja memeriksa Ibu dan bayinya. Tak ada masalah, syukurlah semua berjalan dengan lancar. Saat aku baru saja menutup pintu kamar, Nugi datang membawa beberapa rantang makan. Ia tersenyum padaku, aku membalasnya dengan kikuk. Koridor yang lengang membuatku teringat masa sekolah. Ya ampun, tidak Nada jangan berpikir macam-macam.

“Siang,” sapanya.

“Juga.” Aku merasa lelaki itu sudah banyak berubah meski sifat menyebalkannya tak hilang-hilang. Ia menyodorkan salah satu tantangnya padaku. Aku mengernyit tak mengerti maksudnya.

“Kita makan bareng ya, enggak terima penolakan.” Ia memajukan wajahnya. “Tapi jangan ge-er, ini hadiah karena udah bantu Kak Hilmi lahiran.”

Aku memutar bola mata malas, ada-ada saja orang ini. Aku mengambil alih rantang itu. Ia lalu tersenyum manis. Membuatku sedikit meleleh, bisa-bisanya ia memamerkan senyum itu. Aku menggeleng, inget Nada ada seseorang yang menunggumu!

“Kerja bagus Bu Bidan, “ucapnya sembari mengusap lembut rambutku. Lalu, masuk ke ruangan. Meninggalkan aku yang terdiam malu, benar-benar Nugi menyebalkan. Dia tak tahu apa di dalam sana ada jantung yang selalu berdetak kencang untuknya. Semua hanya gara-gara satu orang.

Aku menutup wajahku malu. Celingak-celinguk apakah ada yang melihatnya. Aku duduk di depan ruangan kamar. Ibu muda bernama Hilmi itu sudah dipindahkan dengan bayinya ke ruang rawat inap.

Nugi keluar dengan menutup pintu pelan. Sekarang shift bila untuk menjaga si bayi, ia sih memang sedikit rewel tapi kesehatan bayi mungil ini sangat baik.

“Ayok.”

Aku berdiri, kami mulai berjalan ke kantin yang ada di rumah sakit. Duduk di salah satu sudut yang tak begitu ramai. Aku menata rantang stainless yang Nugi beri tadi. Di sana ada ayam saus kecap dan sambal tahu. Jangan lupakan nasi hangat beserta lalapan dan sayur sopnya.

Aku mulai menyiapkan suapan pertama. Rasa masakannya sangat enak, aku menyendok dengan lahap. Energiku terkuras karena sudah dua hari ini kebagian shift malam.

“Makan berdua kayak begini, keinget masa lalu deh. Dulu kamu suka sekali makan saus pakai bakso. Masih suka gitu?” Ia tertawa, mengingat masa lalu.

Aku terkekeh, lucu juga kalau diingat-ingat. “Enggak usah bahas masa lalu deh, udah selesai juga.”

Ia tersenyum. “Masih tetep ya judesnya.”

Aku sudah mau protes jika saja ponsel Nugi tak berdering. Lelaki dengan kaos oblong warna hitam dan celana jeans berwarna pudar itu beranjak, sedikit menjauh saat ingin mengangkat telepon.

Aku mencoba menajamkan pendengaran, entahlah ini tak biasanya kulakukan. Aduh, sebenarnya kamu kenapa sih, Nad? Masa masih suka sama cowok berandalan itu.

“Iya, Sayang. Nanti ya saya beliin.” Siapa yang dia panggil sayang seperti itu? Apa pacarnya ya. Entah kenapa suasana hatiku jadi buruk. Kenapa pula harus angkat telepon di tempat yang masih kudengar. Awas saja kalau dia sengaja seperti itu untuk menunjukkan kalau dia sudah move on dari masa lalu dan hanya aku yang tinggal masih berharap. Ternyata begini rasanya cemburu, tapi bukan siapa-siapa.

Ia kembali duduk saat sudah meneleponnya, aku ingin bertanya siapa tapi sadar diri bukan siapa-siapa. Aku memalingkan timun yang ada di piring, memotong-motongnya hingga benar-benar hancur lalu kulakukan lagi ke irisan timun yang lainnya. Berasa seluruh nafsu makanku hilang gara-gara manusia yang sebenarnya kalau dia tidak muncul aku tidak akan ingat lagi.

“Kenapa, Nad?” Ia menyadari ada yang tidak beres dengan kelakuanku.

Aku menopang wajah dengan kedua tangan. Menatap wajahnya dalam-dalam. “Kamu ke mana aja selama ini? Kok akun sosmed kamu enggak pernah aktif-aktif. Kirain udah meninggal.” Aku tidak tahu apakah ucapanku yang terakhir itu menyinggungnya. Intinya aku kesal dia hilang kabar, masih banyak hal yang ingin kutanyakan. Namun, rasanya berat untuk bertanya sebebas dulu pada orang itu sekarang.

Ia terkekeh. “Cuma keliling kota aja, ngedaki gunung bareng temen. Maklum pengangguran.”

Aku mengembuskan napas, sampai kapan lelaki itu menyia-nyiakan sisa masa mudanya.

“Kenapa enggak ngabarin aku pas ada di Makassar waktu itu?”

Ia menggaruk tengkuknya. Meletakkannya sendok makan itu. “Saya merasa kita juga butuh waktu buat menyadari arti rindu sesungguhnya.”

Aku tersenyum, tumben sekali ia menjadi sebijak ini. Harusnya tadi kurekam monent langkah itu lalu menjadikan itu bahan ghibah di grup persahabatan kami.

“Eh, siapin itu dong! Biar kayak anak SMA lagi. Masih pantas kok.” Ia menunjuk kembang kol yang ada di piringku.

“Enggak usah alay deh!” semburku.

“Harus pokoknya, maksa nih.” Aku tertawa sembari menggeleng ada-ada saja kelakuan orang ini yang membuatku terhibur.

“Sekali aja.” Akhirnya aku menyerah dan menyuapinya dengan sup yang banyak agar ia kesusahan berbicara. Aku tertawa, wajahnya belepotan. Ia terlihat lucu dengan pipi mengembang itu, beberapa orang yang membeli makan di kantin memperhatikan kami. Namun, Nugi sepertinya tak memedulikan itu. Ia masih asik mengunyah makanannya.

Lalu, makanan siang yang tadinya menyenangkan itu berubah jadi suram saat seseorang datang. Aku langsung kehabisan kata-kata.

“Tadinya mau suprise-in kamu, Nad. Tapi malah aku yang merasa suprise,” ujar orang yang entah dari mana itu. Aku sama sekali tak melihat kedatangannya. Tubuhku langsung menegang, sontak aku berdiri. Kenapa Kak Ilham bisa tiba-tiba ada di sini?

“Kak—“ Ia mengangkat tangannya, mengisyaratkan tak ingin mendengar apapun. Aku menghela napas, tetap harus ada yang diluruskan di sini. “Aku cuma makan siang, Kak.”

Nugi sedari tadi hanya diam, ia kembali melanjutkan makannya. Dih, dasar padahal ini semua gara-gara dia mau bernostalgia.

“Makan apa sambil bercanda berlebihan begitu, pantes panggilan saya enggak diangkat!” Suara Kak Ilham naik satu oktaf. Untung kantin sedang sepi, hanya beberapa orang yang menjaga stan warungnya.

“Aku lupa handphone-ku ada di ruangan, Kak. Aku enggak mak—” Belum sempat kuselesaikan kalimat penjelasanku, suara Nugi menginterupsi.

“Bisa diam enggak? Enggak liat apa orang lagi makan?” Nugi mendongak, la berdiri. Wajahnya terlihat memerah. Aku merasa takut akan hal ini, suasana menjadi tegang dengan langit-langit kantin yang tenang.

“Kamu.” Kak Ilham menunjuk Nugi, lelaki itu menepis kasar tangan Kak Ilham. Aduh, sepertinya akan ada perang dunia ketiga kalau tak segera dipisahkan.

“Cowok macam apa Anda enggak percaya sama yang dibilang pasangannya?” ujar Nugi menantang.

Kak Ilham sepertinya juga sudah tersulut, napasnya naik turun. Aku menahan lengannya agar ia tak membuat keributan di sini. Aku tak enak dengan orang-orang yang ada di sini.

“Saya peringatan sama kamu, jauhi pacar saya!”

Nugi sudah mengepalkan tangannya, aku segera menarik Kak Ilham sebelum semuanya benar-benar terlambat.

“Udah dong, Kak.” Aku menyeretnya paksa. Benar-benar hari ini di luar ekspektasiku. Semuanya kacau dan aku yakin Kak Ilham bakal marah besar.

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang