16. Tak Sinkron

34 8 0
                                    

Hati dan otak tak selamanya bisa berjalan beriringan. Saat hati dan otak tak sinkron, mengakibatkan pertentangan batin yang tak terelakkan.

~Serenada cinta (16)

-----------------------------------------------------

Aku berjalan menyusuri koridor yang tampak lengang. Menikmati setiap langkah kaki ditemani suara kicauan burung yang tinggal di pohon-pohon depan kelas yang berjejer meneduhkan koridor sekolah ini.  Saking asiknya menikmati suasana, tak sengaja tubuh mungilku menabrak seseorang bertubuh kekar, membuatku limbung dan hampir terjatuh ke lantai jika segera tak menyangga ke tembok kelas. Untung suasana sedang sepi, hanya ada beberapa siswa yang sedang mengikuti pelajaran olahraga.

"Aduh, sorry!" Aku membetulkan posisi berdiri dan sedikit mendongak untuk melihat siapa yang baru saja kutabrak.

"Enggak apa-apa, kamu nggak apa-apa 'kan," tanyanya. Ternyata dia Bagas. Pantas saja dia bergeming saat kutabrak. Dia baru saja keluar dari kelasnya.

"Eh ... enggak apa-apa, cuma kaget aja." Kupaksakan senyum sembari mengelus-elus sikut yang sempat terbentur ke tembok, meninggalkan rasa nyeri seperti tersengat listrik.

"Oh, kamu mau kemana?"

Duh, aku harus jawab apa? Jika aku jawab perpustakaan, besar kemungkinan Bagas akan ikut.

"Nada!" panggilnya menyadarkanku.

"To ... toilet. Iya, ke toilet." Aku menjawab dengan terbata, membuatku semakin gugup saja. Kuremas-remas ujung rok ini dengan gusar.

"Oh, aku pikir kamu mau ke perpus. Aku pikir mau bareng."

"Kamu mau ke toilet bareng aku!" Aku sangat terkejut.

"Eh, nggak. Maksudnya, ke perpus bareng. Bukan...."

"He-he-he, kirain." Aku nyengir kuda.

Dia hanya tertawa, memamerkan deret gigi yang berpatri rapi dan putih bersih. Membuatku terpesona lalu tersadar. Saat otak menginginkan untuk menjauhinya dahulu, untuk menenangkan diri dan melupakan semuanya. Namun, hati tak bisa menahan gejolak yang menginginkan aku untuk selalu didekatnya, menikmati setiap rasa saat berada hanya dalam jarak tiga langkah. Saat otak berusaha menghindar, namun hati tak ingin jauh. Mencintai secara sepihak memang sakit. Inikah yang dinamakan cinta dalam diam? Entah sampai kapan aku bungkam. Suatu saat aku ingin mengutarakan perasaan ini, memendamnya lebih lama lagi bisa membuatku jatuh terjerembab ke dalam luka yang mungkin tak dapat terobati.

"Aku duluan ya!" Kalimat yang baru saja kulontarkan, mengingatkanku pada kesan awal saat pertama kali rasa itu tumbuh di hati ini. Masih ingat, bunga mawar yang dilempar ke arahku? Itu pertama kalinya aku mendapatkan bunga mawar, tapi dia bukan cinta pertamaku. Namun, dia cinta yang pertama kali kuperjuangkan hingga sampai detik ini.

"Iya," jawab Bagas.

Aku melenggangkan kaki ini, tak lupa pula sedikit senyum perpisahan. Lalu, menatap sendu ke depan koridor yang sepi. Membiarkan otak menyusuri lorong-lorong koridor. Kosong.
H

anya derap langkah kaki sendiri yang kudengar, menginterupsi di lorong sesepi ini. Bahkan, suara guru dan murid yang riuh di beberapa kelas luput dari pendengaran. Telingaku seolah menuli, bersamaan tenggelam dalam otak yang tak kunjung bertemu jawaban. Bergaduh tanpa berpikir sang tubuh sudah lelah dengan keadaan.

🌟🌟🌟

Aku menatap bayangan diri dari pantulan cermin. Membiarkan diri mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada di kepala. Terlihat pantulan seorang gadis menatap sendu bayangannya sendiri. Iya, itu adalah diriku. Wajah lesuh tak seceria hari sebelumnya, ditambah mata panda yang semakin menghitam karena serangan imsomnia dan tangis yang diam-diam merembes. Menyedihkan.

"Apa yang harus kulakukan?" Aku mengembuskan napas pelan. Mencoba menenangkan diri tapi sangat sulit.

Mungkin saatnya menyusun rencana. Perasaan yang menyesakkan hati ini harus segera kuutarakan. Tak peduli bagaimana ke depannya. Tetapi, nyali ini sama sekali tak mendukung. Menyurutkan semua ide yang ada di kepala dengan dugaan tak mendasar. Terjadi pertentangan batin di dalam diriku, membuat akal sehat menjadi kacau. Uh ... apa susahnya jujur pada perasaan sendiri.

"Nada, kamu tidak mungkin benci hanya karena sepatah kata bodoh menghinamu 'kan?" Aku bermonolog kepada bayanganku sendiri seperti orang gila berharap bayangan diri sendiri menjawab.

"Iya, aku bukan pembenci tapi pendendam. Walaupun begitu rasa cinta untuk Bagas masih sempurna." Aku menatap lekat bayangan diri. Membulatkan tekad lalu mengepalkan tangan.

"Okey, aku kalah. Rasa ini lebih besar. Aku harus membuang gengsi ini! Memangnya kenapa jika aku yang harus memulai duluan, daripada menunggu cowok tidak peka itu!"

Aku meremas-remas jariku sendiri, menyakinkan diri serta membulatkan tekad. Tak bisa kuhiraukan lagi perasaan yang selalu menggebu di hati. Memporak-porandakan semua akal sehat, bisa-bisa aku jadi gila.
"Tunggu saja!"

Aku melangkah pasti, keluar dari toilet yang terasa makin pengap. Membiarkan langkah pasrah mengikuti hati bukan lagi perintah otak.

[Keep Smile😊]

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang