II| 02

1 1 0
                                    

Aku mendongak, mendapati Kak Ilham yang mengulurkan tangan. Ia mengibas-ngibaskan tangannya menyuruhku untuk segera meraih. Aku meraihnya dengan canggung, berusaha membuat kaki menopang tubuh kembali. Namun, kakiku benar-benar seolah tulangnya melunak. Aku terjatuh kembali dan hal yang tak kusangka terjadi padaku. Kak Ilham mengangkat tubuhku.

“Sudah tahu lemah, malah melanggar!” Ternyata masih ada orang yang mulutnya lebih pedas dariku. Aku cemberut, benar-benar cemberut. Ia membawaku ke ruang BEM, menyuruhku istirahat di sana karena di sana lumayan sepi. Semua panitia sedang melaksanakan tugasnya.

Setelah mendudukkanku ia lalu berlari keluar tanpa sepatah kata. Aku mengerutkan kening, dasar orang aneh. Ia kembali masuk, membawa beberapa botol minuman—air mineral, minuman isotonik bahkan rasa jeruk. Ia mengeluarkan isinya.

“Kamu suka yang mana?” Aku melongo, dia beli semua ini untukku?

“Heh, kalau ditanya jawab.” Nada bicaranya sudah tak sekasar tadi waktu menghukum.

Dengan takut-takut aku mengambil air mineral saja. Takut dibilang ngelunjak.

“Awas saja saya kamu laporin ke Abangmu. Sorry ya, tadi harus dituntut profesional. Takut dikira pilih kasih,” jelasnya yang membuatku ber-oh ria.

“Tadinya sih mau aku laporin ke Bang Dicky, Kak. Biar diusir kalau dateng ke rumah. Sebel aku.” Aku meneguk air itu hingga setengah botol. Benar-benar haus.

“Emang berani?” Aku tersedak air saat ia bertanya. Sebenarnya juga tidak berani juga sih.

Seorang panitia memasuki ruangan. Kami langsung pura-pura tak saling melihat dan sontak aku berdiri. Ia menatapku tak suka, lalu berganti menatap Kak Ilham.

“Ngapain kamu di sini?” tanyanya dengan nada sinis. Aku menunduk. Kalau menjawab pun akan salah. Maha benar senior dengan segala sabdanya.

“Saya yang nyuruh buat beli minum, Nin.”

Aku dengan refleks menyodorkan botol yang kupegang. “Ini Kak airnya.”

Ia pura-pura memasang muka galak lalu merampas botol itu dengan kasar. Kucoba berdrama senatural mungkin. Susah payah kutahan senyum, menggelikan melihat ia memakai topeng muka bengis itu.

“Awas ya Ilham, jangan godain junior.” Senior perempuan itu memperingati. Kak Ilham terlihat acuh tak acuh, malah meminum setengah air yang kusisakan tadi.

“Ya sudah, sana balik ke aula,” suruhnya. Sangat konsisten dengan muka bengis.

“Permisi, Kak.” Aku langsung berlari menuju aula. Kulihat semuanya duduk dan mencatat. Entah aku ketinggalan berapa materi. Langsung saja kuambil duduk barisan paling belakang.

Materi hari itu dibawakan oleh ketua dewan mahasiswa–Dema. Aku mencatat segala yang ia jelaskan, tiba-tiba saja otakku mengingat kejadian tadi. Aku menahan tawa, takut dikira orang gila. Ya ampun, kenapa Kak Ilham selucu itu.

***

Aku berdiri di depan fakultas, satu persatu mahasiswa baru pulang entah dijemput orang tua, dijemput gojek bahkan dijemput pacar. Aku mulai melangkahkan kaki ketika Amal membunyikan klaksonnya. Kepala menoleh.

“Mau pulang?” tanyanya. “Yuk bareng.”

Aku sudah mau naik ketika tiba-tiba saja ada seseorang yang menghentikan motornya. “Nada pulang bareng saya,” sahutnya tiba-tiba. Aku melongo. Senior yang satu ini memang suka seenaknya ya.

“Enggak usah, Kak. Sama Amal aja.” Aku tersenyum kikuk.

“Enggak nerima penolakan. Kamu mau saya hukum?” Aku tidak mengerti, ini galak beneran atau cuma pura-pura. Ekspresinya sangat menyakinkan. Dasar orang aneh.

Ia menyodorkan helm padaku, ogah-ogahan Kuterima juga helm itu. Dengan terpaksa aku naik ke boncengannya. Ia melajukan motor tanpa berkata apa-apa. Membuat suasana jadi canggung saja. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak, lalu menggeleng tak habis pikir. Apa dia kesurupan?

“Gimana akting saya tadi? Bagus 'kan, siapa dulu dong!”

Aku mengembuskan napas kasar. Ikut menggeleng melihat tingkahnya. “Ngapain sih Kak kayak gitu, aku kan jadi enggak enak sama Amal.” Merasa jengkel dibuatnya.

“Dih, ini itu sebagai permintaan maaf gara-gara terlalu keras ngehukum tadi. Saya juga mau ngambil barang yang ketinggalan semalam.”

Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah. Aku turun dan menyodorkan helm ke arahnya.

“Tuan putri sampai dengan selamat!” Ia mengayunkan tangannya bak seorang prajurit yang mengantarkan putri kerajaan.

“Dih!” Aku memukul pelan lengannya. Ada-ada saja.

“Eits, sekarang mulai berani ya mukul-mukul?”

Aku mengerucutkan bibir. Ia malah tertawa terbahak-bahak lagi, seratus persen berbeda jika di kampus. Dasar pencitraan! Sok keren dan galak. Di tengah canda tawa kami, aku tak sengaja melirik ke mulut gang, hah  ... Apa benar itu?

Orang yang tadi berdiri di sana melesat begitu cepat, dengan langkah refleks aku mengejar. Mana mungkin aku salah lihat. Tidak, itu benar dia! Aku berlari kembali ke gang, celingak-celinguk mencari sosoknya. Ke mana dia pergi? Tidak mungkin menghilang secepat itu.

“Nyari apa, Nad?”

Kak Ilham menyusulku, ia mungkin heran melihatku tiba-tiba berlari. Ke mana pun mata mencari tetap saja tak ketemu, aku sudah hampir menangis. Apa itu hanya efek rindu? Keterlaluan.

Aku menunduk dalam. Pundak sudah naik turun, merasa malu karena ada Kak Ilham di sana. “Eh Nad, saya salah bicara ya? Aduh jangan nangis. Bisa-bisa saya dihantam Abangmu!”

Ia berusaha menenangkanku, tetapi tetap saja air mata keluar tak mau berhenti. Segala usahanya untuk menghibur malah membuatku semakin menangis, kuseka air mata mencoba untuk menenangkan diri. Nihil! Aku berjalan linglung kembali ke rumah.

“Nad kamu kenapa sih?” Kuhiraukan Kak Ilham. “Oy! Kamu enggak kesambet, 'kan?”

Aku berjalan masuk ke rumah. Aku sudah akan menutup pintu kalau saja Kak Ilham tak menahan, tanganku tetap berusaha menutup pintu itu. Namun, tenaga Kak Ilham lebih besar.

“Pulang, Kak. Jangan gangguin aku dulu,” ucapku terisak. Ia menatap dengan hangat.

“Saya cuma mau ngambil jaket yang ketinggalan.” Ia langsung masuk tanpa dipersilahkan. Mengambil jakaet yang tergeletak di kursi ruang tamu. Ia mengangkat jaket itu ke arahku, seolah berbicara 'Ini nih barangnya'.

Ia tak langsung pergi begitu saja. Malah senyum-senyum tidak jelas yang membuatku melihatnya aneh. Kenapa orang ini?

“Saya mau sulap dulu sebelum pulang.” Ia mengangkat jaketnya. “Kosong ya?” lalu menggulungnya seperti telur gulung, kemudian mengibaskannya secara cepat.

“Tara!” Di tangan kanannya sudah ada setusuk lollipop. Aku tersenyum, ada-ada saja. Memangnya aku anak kecil apa. Ia menyodorkannya, kuambil dengan segera.

“Makasih.” Kuperhatikan lollipop itu.

“Nah, gitu dong senyum. Makan-makanan manis itu bisa bikin mood jadi bagus. Cewek itu sulit ya, sulit banget dipahami keadaannya. Tadi seneng sekarang nangis, terus ketawa. Apalagi nanti?” ceramahnya panjang lebar.

Aku memasang wajah jutek. Berkacak pinggang sembari berkata, “Udah enggak ada kepentingan lagi, 'kan?”
“Iya,” jawabnya dengan muka tanpa dosa.

“Ya udah sana pulang!” seruku galak sembari mendorong tubuhnya melewati pintu. Aku benar-benar ingin sendiri saat ini.

“Ta-tapi, Nad  ...”

Belum selesai ia menyelesaikan kalimatnya, pintu sudah kubanting kuat dan kukunci.

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang