27. Lupakan

24 9 0
                                    

Begitu sulitnya kah melupakan orang yang menyakiti dan menerima orang yang mencintai dengan tulus? Hingga aku tidak bisa membedakan rasa suka dan benci. Atau tidak kedua-duanya.

~Serenada cinta (27)

-----------------------------------------------------

Aku berjalan kaki menuju ke sekolah bersama Mila. Pagi ini matahari menerpa bumi dengan riang. Aku melangkah dengan penuh antusias. Setelah dua minggu tak sekolah, akhirnya masa liburan berakhir. Aku sudah sangat merindukan suasana sekolah. Mila berlibur di rumahku, selama dua minggu dia tinggal di rumahku karena tak ada acara keluar bersama keluarganya. Aku pun begitu, tak ada acara. Sedangkan, Aisyah pergi mengunjungi Neneknya yang sakit.

"Udara pagi seger banget, Nad." Mila menghirup udara sedalam yang ia bisa. Aku tersenyum simpul, juga ikut menikmati udara pagi.

Tak lama berselang. Telinga menangkap suara deru knalpot yang semakin mendekat. Suara motornya khas, sehingga kuyakin itu pasti dia.

"Hai!" sapanya dengan cengiran.

Aku mengernyit. "Apa?"

"Ya mau samperin pacar lah." Dia berdecak, "berangkat bareng yuk!"

"Woi, seketika dunia jadi milik berdua ya! Kalau Nada berangkat bareng sama kamu. Terus aku berangkat sama siapa dong," celetuk Mila geram.

"Berangkat sendirilah, manja banget. Masa mau boncengan bertiga, dikata cabe." Nugi mendengus malas.

"Ish, udah sana. Duluan aja, tumben banget berangkat pagi." Aku memegang tali tasku semakin erat.

"Niatnya mau jemput kamu. Tapi, noh ada si Mila," ucapnya menunjuk Mila dengan dagu.

"Ya Allah, Dede disalahin lagi. Hiks, syedih," celetuk Mila sok dramatis. Hal itu membuatku geli dan bergedik—Setan apa yang menyambarnya pagi-pagi.

"Ish, geli!" gumam Nugi. Aku mengulum senyum. Mila memutar bola mata kesal.

Aku tertawa geli melihat tingkah keduanya. Sebenarnya aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya berboncengan dengan pacar sendiri. Membayangkannya saja membuatku mengulum senyum.

"Aku berangkat sama Mila aja. Kita ketemu di sekolah aja nanti, lagian udah deket." Aku kembali berjalan setelah Nugi mengangguk. Tersirat jelas raut kecewa di wajah Nugi. Membuatku tak enak hati karenanya, habis mau bagaimana lagi.

"Ekhem, ada yang galau nih nggak bisa dibonceng pacar. Tenang aja, masih ada hari esok." Mila menyikut lenganku berusaha menggoda.

"Apaan sih!" Kami berdua tertawa renyah. Mendengar penuturan Mila membuatku jadi geli. Untuk apa aku galau.

🌟🌟🌟

Aku berdiri di depan deretan gedung kelas XII, mengamati setiap nama yang dikelompokkan menjadi teman sekelas. Aku mengamati lamat-lamat nama-nama itu. Membacanya dalam hati satu per satu untuk mencari nama sendiri atau sekadar ingin tahu siapa-siapa yang berada di kelas ini. Tak butuh waktu lama untuk menemukan kelasku karena aku memulai pencarian di urutan nama kelas XII IPA 1. Aku mengulum senyum mengetahui aku sekelas dengan Aisyah dan Mila lagi. Tetapi, tentunya sekelas juga dengan Bagas. Entah bagaimana caraku nanti bersikap, aku merasa benar-benar canggung jika mengingat kejadian waktu di pintu gerbang itu. Seketika aku mendengus kesal jika terus mengingatnya. Sedangkan, Nugi. Dia berada di kelas XII IPA 3, aku tersenyum kecut mengetahui kita tak sekelas. Mungkin aku terlalu berharap, sehingga aku merasa sedih karena tak sekelas dengannya. Aku butuh pelindung untuk menghindar dari Bagas.

Aku berjalan mundur menjauhi kertas yang tertempel di tembok depan kelas itu sebelum kerumunan semakin ramai dan malah menyusahkanku nanti untuk menerobos keluar. Aku terkejut ketika dipeluk dari belakang oleh seseorang. Sontak kulepaskan tangannya dan menoleh ingin memaki. Seenaknya saja menyentuhku tanpa izin.

"Aisyah!" Aku membulatkan mata kaget sekaligus gembira.

"Kamu pikir siapa?" Dia memutar bola mata malas dan langsung memelukku. "Aku kangen banget."

Aku membalas pelukannya. Mila berjalan dengan tergesa ketika keluar dari rung kelas.

"Tadi aku udah nyiapin tempat du—" ucapnya terhenti ketika melihatku dan Aisyah berpelukan. "Kalian temu kangen kok nggak ngajak-ngajak, pengin pelukan juga."

Suara heboh dari Mila membuatku dan Aisyah melepas pelukan lalu menghindar tatkala Mila ingin menyambar.

"Mau ngapain, Bu?" celetuk Aisyah. Mila mengerucutkan bibirnya sebal.

"Kalian nggak mau meluk aku apa? Ish ... jahat." Mila mencebik kesal.

"Uuu ... cini-cini cayang." Aisyah melebarkan kedua tangannya bermaksud memeluk Mila. Aku terkekeh geli mendengar perkataan Aisyah yang seperti menghibur anak kecil. Aku juga beringsut ikut memeluknya.

"Kangen banget tahu. Dua minggu nggak ketemu sama kalian itu rasanya hampa," tutur Aisyah setelah melepas pelukan.

"Sama. Liburan rasanya kurang tahu." Aku ikut menimpali.

"Mau gimana lagi. Nenekku sakit, jadi aku harus jenguk." Binar mata Aisyah seolah meredup. Aku tahu dia begitu menyayangi Neneknya.

"Aku doain semoga Nenek kamu cepat sembuh." Aku mengusap pelan pundak Aisyah. Dia mengangguk dengan semangay, sorot matanya kini kembali ceria. Mila yang sedari tadi berdiam diri kini menyelimuti suasana menjadi ceria seketika.

"Udah ya kangen-kangennya. Kita ke dalam kelas dulu yuk! Ngatur bangku." Mila menarik tanganku dan Aisyah ke dalam kelas. Aku hanya pasrah dan menyerahkan semua urusan pada Mila. Jika ada urusan seperti ini Mila yang akan uring-uringan mengurus ini itu dan aku hanya tunggu hasilnya saja.

Di dalam kelas, suasana sedikit lebih tenang. Mila sudah mengatur bangku yang akan menjadi singgahsanaku selama duduk di kelas dua belas. Aku duduk dibangku itu. Sekarang aku sebangku dengan Mila, kata Mila gantian sama Aisyah yang selalu menjadi teman sebangkuku sejak kelas sepuluh. Suasana baru, begitu kata Mila. Suasana baru apanya, ujung-ujungnya aku selalu bersama mereka juga. Awalnya Aisyah tak terima. Dia tetap keukeh ingin duduk sebangku denganku. Tetapi, ketika mengetahui bahwa dia sebangku dengan Lyla. Dia jadi setuju karena teman sebangkunya tak banyak tingkah. Aku dulu sekelas dengan Lyla, makanya aku sudah tahu sifatnya seperti apa.

Aku memerhatikan setiap sudut ruangan. Ada sebuah sapu bulu yang tergantung di pojok belakang dan beberapa sapu lidi yang tergeletak begitu saja di lantai porselin putih yang baru saja disapu oleh beberapa siswi.

Pandanganku terpaku pada seseoarang yang duduk dibangku depan. Aku duduk di bangku kedua deret dekat jendela. Aku menghembuskan napas kasar. Membayangkan menghadapinya setiap hari membuatku bergedik ngeri. Aku tidak ingin dia meninggalkan luka untuk yang keberapa kalinya. Aku sungguh tak menyangka bahwa aku pernah jatuh cinta padanya. Hingga aku terkubang dalam luka yang kubuat sendiri.

Aku tidak membencinya, tetapi aku berusaha untuk melupakannya. Menghilangkan rasa yang kadang masih menyusup masuk diam-diam ke dalam relung hati. Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak bisa melupakannya dengan mudah. Bagas masih kadang menghantui pikiran. Sedangkan, aku sudah memiliki Nugi. Lelaki tulus dengan tingkahnya yang kadang tak bisa ditebak.

Apakah aku benar-benar suka sama Nugi atau aku hanya menjadikan dirinya sebagai pelarian?

Jika itu benar. Sungguh aku adalah perempuan jahat yang hanya memanfaatkan cinta tulusnya.

Membayangkannya saja sudah membuatku pening. Benarkah aku tulus mencintainya?

[Keep Smile😊]

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang