38. Hari itu

20 6 0
                                    

Kenapa aku harus merasakan senang sekaligus sedih dalam waktu yang bersamaan?

~Serenada cinta (38)

----------------------------------------------------

Hari itu datang juga, hari di mana sebuah kepastian yang selalu kunanti. Aku berjinjit mencari sebuah nama yang kuinginkan tertera di atas selembar kertas putih itu. Mencarinya dengan teliti dan lamat-lamat mata mengerjap. Aku menutup mulut, rasa gembira yang membuncah membuatku tak bisa menahan pekikan.

Aku berjalan mundur, menjauhi kerumunan yang semakin riuh.

"Ahhhhh...." Kaki ini refleks melompat, sangking gembiranya aku cekikikan.

"Selamat Sayangku." Nugi datang membawa sebucket bunga yang dirangkai indah. Itu mawar.

Dia menepati perkataannya waktu itu. "Iya."

Dia menyodorkan bunga Itu yang membuatku jadi kikuk sendiri. Ada rasa bahagia serta menggelitik.

Kenapa sikapku jadi seperti ini?

Aku menerima bunga itu.

"Sukses ya." Dia mengacak-acak puncak kepalaku dengan lembut.
"Kamu juga harus usaha!" Dia hanya mengangguk. Kuperhatikan wajahnya itu dari samping. Aku tidak tahu perasaan apa yang kini kurasa. Seketika bayangan kejadian di meja makan itu menghantui pikiran. Aku meredam semua perasaan, menguatkan tekad untuk melakukan semua ini. Mungkin ini yang terbaik.

"Nada!" Pekikan membahana milik kedua sahabatku itu sungguh membuatku terkejut. Membuyarkan lamunan yang tadinya membelenggu, serta menggoyahkan tekad yang terus kukumpulkan.

Mereka memelukku, meloncat-loncat tak jelas dengan girangnya.

"Aduh, kalian ya. Enggak usah teriak-teriak juga kali!" Aku memperbaiki baju yang kusut akibat kebiasaan gadis remaja jika bertemu—heboh.

"Ah, aku seneng banget!" ucap Aisyah penuh binar.

"Selamat ya, sayang-sayangku," ujar Mila.

"Iya, tapi kamu nggak sama kita lagi." Aku memberenggut. Nugi hanya diam sedari tadi dengan wajah cemberut, mungkin karena waktuku dan dia diambil oleh kedua sahabatku.

"Aku 'kan mau langsung cari kerja aja. Lagian nih ya, kalau aku kuliah dengan jurusan berbeda sama kalian entar siapa yang mau kasih contekan ke aku." Mila bersedekap dada.

"Tapi aku nggak mau pisah sama kalian." Aku menyeka air mata yang merembes pelan dari pelupuk mata.

"Ah, jangan sedih sedihan kayak gini!" Mila juga ikut berkaca-kaca.

"Aku nggak tahu bakal gimana tanpa kalian." Aisyah memelukku dan Mila, haru tak bisa lagi tertahan. Aku tahu hari ini pasti akan datang juga. Rasa-rasanya baru saja aku bertemu dengan mereka. Menghabiskan waktu bersama, jatuh bangun serta dihukum bersama.

"Udah, kita harus senang-senang. Kita nggak boleh sedih-sedihan. Kalian 'kan calon maba, Berarti harus traktir aku dong!" Nada ceria itu kini terdengar lagi. Mila merangkulku menuju kantin. Namun, aku meminta waktu sebentar untuk berbicara pada Nugi.

"Aku mau ngomong sebentar sama Nugi ya."

"Iya, jangan lama-lama! Pacaran mulu kalian."

Aisyah dan Mila kini sudah menghilang di balik kelokan gedung sekolah.

"Umh, Nugi."

"Lama banget ya kalau nungguin cewek menye-menyean." Nugi menirukan ekspresi mengejek.

"Dih, nggak gitu juga kali."

"Hehe, mau bicara apa, Sayang?"

"Eng-nggak jadi deh!" Aku tidak tahu harus berkata apa. Semuanya serba rumit. Bahkan, hati pun tak rela akan ini semua. Namun, dorongan otak terus memaksa memenangkan logika.

Apa yang harus aku lakukan?

"Kok gitu!"

"Kita ke kantin saja, aku lapar." Kutarik lengannya cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. Ini bukan saat yang tepat, mungkin nanti.

"Yang ngajak pokoknya yang traktir," ucap Nugi tiba-tiba.

"Iya deh."

"Kok kayak nggak ikhlas ya."

"Ish, ikhlas kok."

"Hehe, percaya deh." Dia mengacak-acak rambutku dengan gemas.

"Ah, jangan! Berantakan jadinya."

"Habis lucu sih."

🌟🌟🌟

Aku duduk berhadapan dengan Nugi, semangkuk bakso sudah tersaji menggugah selera. Aku mencicipinya, hmm ... kurasa kurang pedas. Aku menuangkan saus lagi ke dalam mangkuk.

"Nad!" panggil Nugi yang hanya kujawab dengan gerakan alis.

"Itu beneran kamu mau makan bakso pakai saus banyak seperti itu."

"Iya."

Hanya helaan napas yang kudengar, aku hanya mengendikkan bahu dan masih menuangkan saus ke mangkuk. Tetiba Nugi merebut botol saus itu.

Apa yang salah?

Aku menautkan alis. "Nggak sayang apa sama lambungmu, makan kok sausnya banyak banget. Pantesan kalau ngomong pedas."

"Nggak sayang apa sama paru-parumu, tiap hari nikmatin asap. Pantesan tiap hari batuk!" Aku mengikuti gaya bicara Nugi. Dia hanya nyengir sembari menjauhkan botol saus itu dari jangkauanku. Dasar menyebalkan!

Aku masih asik mengaduk-aduk makananku saat seseorang tiba-tiba berdiri di sampingku.

"Good job, Nad."

Aku menoleh, mendapati Bagas yang ada di sampingku.

"Eh ... iya."

Dia mengusap lembut puncak kepalaku sembari berkata, "semoga kita bisa bertemu lagi."

Aku tertegun, kulihat tangan Nugi yang ada di atas meja terkepal. Mungkinkah dia cemburu?

"Iya," jawabku sembari meraih tangan Nugi. Kugenggam erat tangannya lalu menatap Bagas.

Raut wajah Bagas berubah seketika, tetapi cepat-cepat ia tersenyum. "Ya udah, aku duluan."

Aku hanya mengangguk. Huh, kenapa Bagas bersikap seperti tadi. Jika Nugi sampai tersulut karena cemburu, ah ... tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi.

"Betah amat megang tangan aku." Aku menghempaskan tangan Nugi dengan kasar.

"Dih, ke-geer-an." Kubuang muka tak ingin melihat wajahnya. Mungkin saat ini wajahku dihiasi semburat merah muda.

"Cie yang lagi mesra-mesraan," teriak Mila yang ada di bangku tak jauh dari tempatku dan Nugi. Aku hanya cemberut dan hal itu sontak membuat Mila serta Aisyah cekikikan tak jelas.

"Aku sayang kamu," bisik Nugi pelan.

Aku mengatupkan bibirku, menyesap bagian bawah bibir karena gugup sekaligus malu.

Aku juga sayang kamu!

Mengapa situasi ini terasa menyebalkan.

[Keep Smile😊]

SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang