05- Dia
Lagi-lagi kamu membuat hatiku melayang mengangkasa. Semoga saja tidak akan dihempaskan dengan kasar.
~Serenada cinta (05)
"Nanti temani aku ke perpustakaan ya." Aku meminta Aisyah dan Mila untuk menemani ke perpustakaan. Aku ingin meminjam beberapa buku fisika. Aku harus lebih giat lagi belajar, hanya ini jalan satu-satunya untuk membuat Bagas terkesan.
"Aduh, Nad. Anak-anak PMR mau rapat. Aku enggak bisa." Mila memasang wajah memelasnya. Kalau sudah begitu mau di apakan lagi. Memang sih ia aktif dalam organisasi yang ada di sekolah, tak terkecuali PMR.
"Aku juga enggak bisa, Nad. Pak Alwan katanya tadi mau ketemu aku. Sepertinya mau membicarakan soal lomba tilawah." Urusan Aisyah juga tak kalah seriusnya. Aku ke perpustakaan sendiri lagi, bukan sendiri sih. Ada penjaga perpustakaan bermuka datar itu, tetapi apa bedanya ada dan tiada dia. Sama-sama sunyi.
"Ya udah, enggak apa-apa."
"Aku duluan ya, Nad, Ais." Mila berpamitan lalu menghilang dari pandanganku dan Aisyah saat dia keluar dari ambang pintu. Semua siswa sudah langsung bergegas ke kantin saat bel baru saja berbunyi.
"Aku ke musala ya." Aisyah pun ikut berpamitan setelah dia selesai mengemas buku-bukunya masuk ke dalam tas. Aku hanya mengangguk pertanda iya.
Sekarang hanya ada aku di kelas bersama dengan suara berisik dari kelas tetangga. Aku mengambil buku cetak fisika dari dalam tas, dari pada celingak-celinguk tak jelas lebih baik belajar untuk persiapan seleksi Olimpiade fisika.
Deheman keras dari bangku yang ada di sampingku, membuat tubuh tersentak kaget dan berhasil membuyarkan konsentrasi dari buku yang sedang kudalami. Aku menengok perlahan, oh ... dia lagi.
"Hai, serius amat?"
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Jangan berpikir aku akan diam saja kali ini, tidak. Aku sedang menyusun kalimat sumpah serapah untuk memakinya. Ini bukan kali pertama ia membuatku terkejut. Orang ini seperti jailagkung saja, datang tak dijemput.
"Kamu-"
Ucapan terhenti, ada jari telunjuk yang menempel di bibirku. Segera saja kutepis dengan kasar. Seenaknya saja pegang-pegang. Apalagi tangannya tak pernah kutahu ia sudah memegang apa sebelumnya. Jorok!
"Jangan marah-marah terus kalau ketemu saya!" ujarnya dengan sok akrab. Lalu, hening kembali.
"Tadi kamu mau bilang apa?" Sekarang dia bertanya tadi aku mau bilang apa. Bukannya tadi dia yang melarang untuk berbicara. Dasar bocah aneh!
Aku tak ada niat untuk menjawabnya. Nanti jadi ikut-ikutan gila seperti dirinya. Dia menatapku secara terang-terangan, aku bisa melihatnya dari ekor mata. Ih ... Menyebalkan sekali orang ini.
"Kamu marah sama saya?" tanyanya mulai serius. Aku tahu dia mulai serius karena dari nada bicaranya. Kurang jelas kah mukaku menggambarkan itu semua? Ya, jelas marah lah, lebih tepatnya jengkel. Di saat-saat seperti ini aku tak mau diganggu.
"Maaf kalau begitu." Dia berucap lagi. Namun, tak ada respons dariku. Aku sedang berusaha fokus pada buku yang ada di hadapan dengan menganggapnya tak ada.
"Kamu penasaran, kenapa waktu itu saya bilang kamu bukan orang yang konsisten?" tanya Nugi.
Sama sekali tidak. Karena kuyakin semua yang keluar dari mulutnya ada sebuah omong kosong.
"Aku waktu itu bertanya satu tambah satu itu berapa? Kamu jawab dua. Kalau orang yang konsisten satu tambah satu sama dengan satu tambah satu."
Aku melongo mendengar jawabannya. Benar-benar tak terpikir olehku.
"Dan aku konsisten untuk tetap jadi anak nakal," ucap Nugi mantap.
Dan aku konsisten akan menjauhi orang yang bernama Nugi karena ia tak waras. Hatiku berteriak tak tahan untuk tak ikut berpendapat.
Aku hanya menampilkan senyum yang dipaksakan agar semua masalah selesai. Lalu, beranjak dari kursi yang kududuki. Lebih baik pergi ke perpustakaan dan lebih baik lagi kalau penjaga perpustakaan bermuka datar itu yang menemani. Dijamin tak akan mengganggu.
Kudengar dia berbicara setengah berteriak, tapi tak kupeduli. Kakiku terus melangkah menuju tempat tujuan--perpustakaan.
***
Aku sibuk memilah-milah buku yang akan dipelajari. Aku tidak ingin menjadikan olimpiade ini sebagai beban, hanya saja tak boleh main-main dengan ilmu. Lagipula aku tak terlalu berharap akan lolos seleksi ataupun menang olimpiade. Sungguh tak seambisius itu. Ini hanya jembatan untuk bisa mendekati Bagas. Terdengar aneh sih, peraka rasa cinta kayaknya memang selalu menimbulkan tingkah ajaib.
Suasana perpustakaan seperti biasa, sepi. Tak banyak siswa yang mau berkunjung ke sini. Itu pun kalau ada, paling hanya ingin numpang tidur atau sembunyi dari hukuman yang akan diberikan guru karena terlambat.
Sekilas kulirik penjaga perpustakaan bermuka datar itu. Dia sedang asyik membaca koran sambil sesekali memperbaiki posisi kacamatanya yang melorot dari batang hidungnya. Hmm ... Aku benar-benar tidak pernah melihatnya tersenyum sama sekali walau sedikit.
Namun, tak berlangsung lama. Aku dan kesunyian perpustakaan bak kuburan ini seolah sirna oleh kehadiran lelaki tampan yang akhir-akhir ini sering menghantui pikiran. Iya, Bagas. Dia membawa setumpuk buku biologi. Sepertinya dia habis belajar dan kini mengembalikan buku-buku itu ke perpustakaan kembali ke tempat semula.
Dia melihatku sebentar sebelum meletakkan setumpuk buku ke atas meja. Dia berjalan menghampiri dengan gaya cool-nya. Jantungku berpacu lebih cepat seperti genderang yang di pukul bertalu-talu. Rasanya benar-benar aneh. Mau meledak, mungkin ini terdengar lebay.
"Hai," sapanya tanpa melupakan senyum yang tersungging indah di wajahnya. Satu tangannya masuk ke saku celana, persis seperti cowok-cowok ganteng yang ada di sinetron.
"Hai." Aku tersenyum kikuk, tak tahu harus berbuat apa. Salah tingkah.
"Kamu suka fisika?" Dia memperhatikan buku-buku yang ada di genggamanku.
"Iya." Satu kata itu sangat sulit keluar dari bibir. Aku harus mengumpulkan energi lebih hanya untuk mengeluarkan kata sesingkat itu. Apakah aku terlihat sangat bodoh saat ini?
"Kamu mau ikut seleksi olimpiade fisika?" tanyanya lagi. Ini adalah percakapanku dan Bagas yang terlama sepanjang mengenalnya.
"Iya, mungkin." Apa yang barusan aku katakan seharusnya aku menjawabnya dengan mantap, bukannya malah penuh keraguan seperti itu. Aku benar-benar seperti orang bodoh.
"Semoga berhasil ya!" Dia mengusap puncak kepalaku dan berlalu pergi.
Aku hanya bisa diam terpaku. Tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya untuk mendeskripsikan perasaan bahagia yang tengah kurasakan, tetapi urung niatku sebelum mendapat teguran sinis dari penjaga perpustakaan bermuka datar itu. Oh ... Ya Tuhan, bisakah dia menjadi bagian dari hatiku. Berharap.
Kugigit kuat-kuat bibir yang sengaja ditekuk ke dalam agar pekikan tidak terdengar oleh penjaga perpustakaan bermuka datar itu. Aku tidak tahu namanya siapa. Aku hanya tahu dia punya muka datar yang terpampang sepanjang hari. Dan satu lagi dia perempuan.[Keep Smile 😊]
Ditulis: 27 Juli 2018
Direvisi: 15 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenada
Teen Fiction[Revisi] [15+] Seseorang yang kuanggap baik, belum tentu baik untukku. Seseorang yang aku anggap buruk, padahal dia baik untukku .... Haruskah hati serapuh ini? Jika memang dia tidak menyukaiku, kenapa waktu itu dia melemparkan bunga? Atau hanya...