8. Sebuah Langkah

59 12 8
                                    



“Percaya atau tidak, saat kamu merasa jatuh cinta. Kamu akan menggila. Bahkan, menjadi orang bodoh.”

~Serenada cinta (08)





“Hayo tadi mimpiin apa?” desak Rena.

“Iya, kok kayak keliatan senang banget, tapi tiba-tiba nangis-nangis enggak jelas!” Mila ikut mengompori. Bisa dipastikan kini wajahku semerah kepiting rebus karena malu. Astaga, mimpi apa barusan. Sungguh absurd dan memalukan. Untung Cuma mimpi, hampir saja aku tak mau masuk sekolah karena malu pada Bagas dengan penampilan macam nenek lampir seperti itu.

“Apaan sih kalian!” Aku marah. “Pokoknya mimpi serem, buruk.” Aku lewat di tengah-tengah mereka, turun dari ranjang dan segera mengambil handuk sebelum disuruh bercerita lagi. Nasib punya sahabat kepoan harus punya stok sabar lebih.

“kita 'kan udah setuju kalau aku yang duluan mandi, Nad!” teriak Aisyah yang melihatku sudah keluar dari kamar.

“Bodo!” balasku tak mengindahkan perjanjian semalam. Pokoknya hari ini aku harus terlihat segar dan cantik di depan Bagas. Jangan sampai kejadian semalam jadi kenyataan.

Pagi hari di rumahku, meja makan sudah dipenuhi oleh orang-orang kelaparan. Sahabat-sahabatku juga ada di sini. Ilsa duduk dengan tenang di sampingku. Dengan rambut dikepang dia terlihat sangat menggemaskan. Aku mencubit pipi sebelah kanannya dengan gemas. Menoel-noel pipinya dan alhasil dia marah-marah. Lucunya!

Aroma nasi goreng menguar mendominasi penciuman saat Ibu menghidangkannya di depan mata kami. Satu per satu orang menyendokkan nasi ke piring masing-masing, tetapi kebahagiaanku pagi ini tak lengkap, Kak Dicky sudah berangkat ke Makassar tadi pagi untuk melanjutkan studi-nya.

Orang-orang makan dengan lahap. Aku juga begitu menikmati masakan buatan Ibu, pasti kalian setuju kalau aku bilang makanan buatan Ibu adalah makanan terlezat di dunia.

"Oh iya, Bu. Nanti Nada enggak pulang ke rumah ya!" Aku memulai percakapan di meja makan ini setelah makananku dan orang-orang yang lain hampir habis.

"Kenapa enggak pulang?" tanya Ibu heran.

"Nanti ada jadwal bimbel olimpiade, enggak apa-apakan, Bu?" Aku yakin Ibu pasti mengizinkanku jika itu menyangkut pendidikan. Ibu selalu ambisius dengan pendidikan anak-anaknya.

"Ya sudah boleh, tapi jangan pulang kesorean."

"Siap, Bu Bos!" Mengambil sikap hormat. Ibu malah geleng-geleng melihat tingkahku.

"Semalam gimana film-nya keren, 'kan?" tanya Jaka dengan tampang usilnya.

Hal itu sukses membuat semua mata yang mengetahui maksud dari pernyataan Jaka itu melotot hingga hampir terlepas dari tempatnya. Aku sudah setengah asma menahan amarah. Ingin sekali aku sembur bocah tengik yang satu ini. Ya Tuhan, kenapa aku bisa punya saudara setengik ini. Jawabannya cuma satu, yaitu takdir.

"Udah ah, berangkat yuk! Nanti terlambat," ajakku beranjak dari duduk setelah habis meneguk segelas air nyaris tak bersisa sampai tetes terakhir.

***

Tak ada yang beda dari kelas kebanyakan. Pasti selalu ribut jikalau tak ada guru. Ada yang bermain kartu padahal barang itu dilarang dibawa ke sekolah, ada yang bergosip ria dan ada pula yang bengong tak bersemangat sepertiku. Uh ... kenapa Bu Tuti tidak datang sih, padahal Biologi adalah salah satu pelajaran kesukaanku.

"Ke perpustakaan yuk!" Tak ada pilihan lain, ke perpustakaan adalah cara terbaik untuk mengusir kejenuhan.

"Kamu itu sudah kayak penghuni perpustakaan, tahu enggak?" Aisyah manyun tak bersemangat.
"Nada, kalau belajar terus juga bikin buntu." Mila bersuara, lalu menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan lengannya. Mereka memang agak susah diboyong ke ruangan penuh buku itu. Kata mereka pusing lihatnya.

"Jadi, aku pergi sendiri lagi." Aku melengos, tak ada yang mau ikut denganku.

Aku berjalan melewati ambang pintu. Cuaca di luar kelas sangat tak bersahabat, rintik gerimis tumpah ruah tak terhitung lagi. Bau petrikor serasa menyumbat pernapasan, rasanya sangat damai. Jika ini di rumah, aku akan berselimut tebal sambil meminum cokelat hangat. Ada kepuasaan tersendiri ketika menatap hujan, tak ada niat untuk menghitungnya. Itu hal mustahil. Semustahil aku bisa memuaskan keinginanku menari di bawah rinai hujan. Aku masih waras untuk tidak menyulut perhatian orang-orang. Aku harus mempercepat langkah ini, sebelum seragam putih abu-abu yang kukenakan basah tersiram rinai hujan yang terciprak. Bahkan, lantai porselen di sepanjang koridor sudah kotor karena air hujan bercampur tanah.

Aku melangkah memasuki perpustakaan, tumben penjaga perpustakaan itu tidak ada. Aku menelusuk ke sekitaran ruangan, sama sekali tak ada orang. Aku berjalan ke balik rak-rak buku. Hah, astaga!

Bagas ada di sini, apa yang harus aku lakukan? Tiba-tiba saja teringat mimpi memalukan semalam yang membuatku dipereteli pertanyaan oleh ketiga orang rese yang menginap di rumah.

"Ini saatnya Nada, lakukan. Jangan gugup!" Aku bermonolog sendiri, mengenyahkan desiran hebat yang ada di dada. Rasanya jantung ingin melompat keluar dari tempatnya.

Aku berjalan menuju kursi yang di duduki Bagas. Sepertinya dia tak melihat keberadaanku.

Apa yang harus kulakukan.

Aku mengambil buku yang ada di dekatku, untuk umpan memulai percakapan. Mendekat ke arahnya.

"Hai."

"Oh, hai. Kamu juga mau belajar di sini?" tanya Bagas dengan senyum ramah.

"Iya, bukannya perpustakaan memang tempat belajar." Uh, awal yang buruk.

"Sini, duduk." Bagas menempa-nempa kursi yang ada di sampingnya.

"Enggak mengganggu kamu?" tanyaku sok perhatian. Padahal aslinya sudah mau lompat-lompat kegirangan.

Apa yang baru saja kulakukan? seharusnya tinggal duduk saja, apa susahnya.

Bagas hanya menggeleng, cepat-cepat aku duduk di sampingnya. Ini kesempatan emas, tak akan kulewatkan. Berdua bersama Bagas di dalam perpustakaan seperti serasa mimpi. Jantung Ini rasanya mau copot.

"Boleh aku nanya?" Sempat hening sejenak. Bagas sibuk dengan buku-bukunya. Sedangkan aku sibuk memikirkan cara agar bisa mengobrol dengannya.

"Boleh."

"Ini, soal fisika yang ini. Aku kurang paham." Aku menunjuk beberapa kumpulan soal.

Alis tebal milik Bagas mengernyit membentuk garis lurus. Mata hitam pekatnya sibuk memerhatikan soal-soal itu. Mata yang indah. Pernah kubaca kalau mata sebutan itu sangat langka di dunia, iya memang sangat indah. Sampai-sampai aku tak sadar tengah terenyuh memperhatikan ia yang sibuk mencoret-coret di kertas.

"Ini buku matematika." Aku terbelalak mendengar penuturan Bagas. Aku melihat sampul buku itu, ternyata benar apa yang dikatakakan Bagas. Aku seperti orang bodoh di depan Bagas. Ingin sekali aku membenturkan kepala ini ke tembok supaya amnesia sekalian. Aish, sungguh memalukan!

"He-he-he, iya. Ternyata, buku matematika. Sampulnya sama sih warna pink," alibiku.

Bagas hanya tersenyum. Semoga saja dia tidak illfeel dengan sikap anehku. Aku berjalan ke arah rak buku fisika. Aku memukul-mukul kepala dengan buku itu, merasa sangat bodoh karena tak memeriksa terlebih dahulu.

Tak disangka ada orang yang masuk ke dalam perpustakaan dengan rusuh.

"Kamu-"








[Keep Smile 😊]






Ditulis: 28 Juli 2018
Direvisi: 17 Oktober 2020


SerenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang