“Terima kasih sudah menenangkanku.”
~Serenada cinta (10)
Sore itu angin berembus lembut, membuat beberapa helai rambutku berkibar seperti bendera merah putih tiap upacara hari Senin. Pepohonan teduh membuat suasana menjadi sejuk. Betah rasanya duduk berlama-lama di taman sekolah ini sembari menunggu Pak Hanif datang dan memulai bimbingan.
Ada satu yang menarik perhatianku, Bagas sedang bermain basket di tengah lapangan sendirian. Sesekali tatapan kami bertemu, sontak saja hal itu membuat jengah dan cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah lain. Setiap gerak-geriknya menyita perhatian, sesekali dia tersenyum ke arahku. Membuat jantung ini bertalu tak keruan saja. Bisa-bisanya dia buat aku seperti ini.
Tak berlangsung lama setelah berhasil memasukkan bola ke ring, dia berlari-lari kecil ke arahku. Ikut duduk di sebelah.
"Mau minum?" Kusodorkan sebotol air mineral yang tadi kubeli di kantin. Keringat yang bercucuran di pelipisnya, menambah kesan seksi. Ingin sekali kuusap keringat yang meluncur bebas di pipi mulusnya, tapi nyali ini tak bisa terkumpul lebih cepat.
Dia meminum air mineral pemberianku dengan wajah yang terlihat senang, aku jadi ikut bahagia melihat dia tersenyum.
"Bentar lagi Pak Hanif datang, udah siap seleksinya?"
Hah? Mataku membulat sempurna, seleksi maksudnya. Aku 'kan baru bergabung.
"Kamu enggak tahu?" tanya Bagas sadar akan perubahan ekspresiku.
"Enggak." Hatiku mencelos, bagaimana nanti kalau soalnya susah dan aku tidak berhasil? Segala macam kemungkinan terburuk terus bermunculan menghantui pikiran. Bukannya aku meragukan kemampuan diri, hanya saja butuh persiapan lebih untuk menghadapi hal semacam ini. Yang aku takutkan hanya satu, bagaimana jika nanti aku tidak lolos dan itu membuat Bagas jadi ilfeel tidak mau dekat-dekat dengan gadis bodoh sepertiku. Rasanya aku ingin menghilang saja dari sini. Aku belum siap.
"Hei. Enggak usah panik, saya juga baru tahu tadi siang. Saya yakin kamu bisa." Perkataan Bagas memberi sedikit semangat untukku, setidaknya aku akan mengerahkan kemampuan terbaik.
"Kok tiba-tiba ya?"
"Olimpiade 'kan sebentar lagi. Sekitar satu bulan, Pak Hanif mau mengfokuskan untuk siswa yang terpilih nanti." Bagas menjelaskannya dengan sabar. Aku menyimaknya, berusaha mencerna setiap perkataan yang terlontar dari bibir itu.
"Oh." Hanya kata itu yang bisa keluar dari bibirku. Aku kehabisan tenaga, bahkan hanya sekadar berucap sepatah kata pun rasanya aku tak sanggup. Pikiranku melayang.
Oke, aku ikut olimpiade ini bukan murni keinginanku, tetapi jika aku gagal! Ada dua kemungkinan terburuk. Pertama, Ibu tidak akan merasa bangga padaku. Kedua, Bagas akan menjauhiku karena aku gadis bodoh. Dan semuanya selesai sampai di sini, perjuanganku akan sia-sia.
Ayo, semangat Nada! Kamu pasti bisa, bukankah nilai ulanganmu selama ini cukup memuaskan? Masa tidak bisa menyelesaikan soal-soal yang akan kamu hadapi. Ah, payah.
Seberapa banyak pun aku menyemangati diriku tetap saja perasaan gugup tetap menerkam. Ujung jariku mendingin dan gemetar. Duh, tenang dong Nada!
Aku terperanjat, terkejut. Ralat, sangat terkejut. Ada tangan hangat yang menggenggam tanganku, meremas-remasnya dengan lembut. Pipiku memanas dihiasi semburat merah muda. Perasaan gugup itu kini menghilang, tergantikan oleh rasa bahagia yang membuncah.
Oh Tuhan, bisakah waktu berhenti sejenak?
Kini aku malah berpikir yang tidak-tidak. Okey, sekarang sifat pesimis memang harus enyah. Aku yakin Bagas sedang berusaha mentransfer energinya untukku. Jadi, tidak ada alasan untuk pesimis lagi.
"Tenang aja, aku yakin kamu bisa!" Suara lembut bak alunan musik itu memasuki ruang yang ada di telinga. Memberikan efek gedebak-gedebuk yang terus menyerang dada. Kurasa sebentar lagi aku akan terkena serangan jantung. Mau pingsan rasanya!
Pak Hanif berjalan dengan tempo cepat memasuki kelas dengan menenteng beberapa buku dan kertas yang tersusun rapi di tangannya. Ini waktunya untuk konsentrasi, fokus dengan apa yang akan di hadapi. Meski seluruh fokusku dikuasai oleh Bagas. Uh, cowok itu sudah mendominasi seluruh pikiranku.
"Pak Hanif udah masuk ke kelas," ucapku.
"Eh, ayo masuk!" ajak Bagas dan melepas genggamannya.
"Ayo!"
Aku dan dia berjalan beriringan melewati koridor sekolah. Setelah sampai di depan kelas, kami langsung masuk dan duduk di kursi masing-masing.
Setelah Pak Hanif mengucapkan pembukaan berupa salam dan sapaan agar terkesan formal, beliau lantas membagikan selembar demi selembar kertas berisi soal ke meja masing-masing siswa.
Aku meraih lembar kerja itu, membaca soal dengan teliti. Mencari jawaban di atas kertas untuk mencatat cakaran jawaban, berharap salah satu opsi ada yang cocok.
Satu jam berlalu begitu lambat, menyisakan sedikit kekhawatiran di hatiku. Aku ingin semuanya segera berakhir. Olimpiade saja belum dilaksanakan, tapi suasana sudah semenegangkan ini. Jangan sampai aku menyesali pilihanku untuk ikut olimpiade, ikut ajang seperti ini sama sekali tak pernah terlintas dipikiran. Murni hanya karena ingin dekat dengan Bagas.
Akhirnya waktu bergulir juga, menyisakan aku yang diam membisu di kursi yang kududuki sedari tadi. Tubuhku kaku, sekaku kayu yang menjelma menjadi meja tempat menumpukan kedua sikut sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Gelisah? Ya. Aku sedang memikirkan selembar kertas yang akan menentukan nasibku beberapa minggu kedepan.
"Ekhem." Deheman keras itu membuyarkan rasa gelisahku yang sedang kurenungi dengan khidmat. Dari sela-sela jari aku mengintip tak berniat untuk menyingkirkan telapak tangan dari sana.
"Gimana?" Pertanyaan yang lembut itu malah terdengar seperti mengejekku. Uh, Ingin sekali aku menjawab semuanya 'kacau', tetapi aku menelan kembali ucapan itu. Lebih baik aku meratapi diriku.
"Sudahlah, tidak usah khawatir!"
Aku menyingkirkan telapak tangan dari wajahku, "Iya, tapi ini semua buat aku frustrasi!"
"Santai aja!" Bagas berkata seperti itu karena aku yakin dia sudah sangat siap menghadapi semua ini. Itu sudah terlihat jelas dari sikapnya yang ambisius dengan segala tetek bengek mengenai olimpiade, tetapi hal itu tidak berlaku denganku. Aku hanya gadis pengharap yang selalu berharap untuk bisa dekat dengan Bagas. Jelas dua ambisi yang berbeda tujuan. Bagas bisa mengolah ambisi menjadi energi positif. Sedangkan, diriku entahlah apakah itu termasuk positif atau negatif?
Atau sebenarnya Bagas juga merasakan hal yang sama denganku? Gelisah dengan semua ini. Aku tahu lelaki, mereka sangat lihai dalam mengendalikan ekspresi. Aku juga ingin seperti itu, terlihat biasa-biasa saja dalam menghadapi keadaan.
"Iya, mungkin aku terlalu lebay." Aku memasukkan bolpoin yang tergeletak di atas meja ke dalam tas, lalu berdiri bersiap untuk pergi.
"Mau ke mana?" tanya Bagas terlihat heran.
"Pulang."
"Oh."
"Duluan ya." Aku berjalan melewatinya, Dengan langkah gontai aku menyeret kaki menuju ambang pintu.
"Hmm, Nada!"
Aku menoleh mendengar panggilan itu, "Iya?"
Pundakku mencelos, kirain tadi ia memanggil karena ingin menawari tumpangan. Lagi, lagi aku yang terlalu berharap.[Keep Smile 😊]
Ditulis: 3 Agustus 2018
Direvisi: 18 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenada
Teen Fiction[Revisi] [15+] Seseorang yang kuanggap baik, belum tentu baik untukku. Seseorang yang aku anggap buruk, padahal dia baik untukku .... Haruskah hati serapuh ini? Jika memang dia tidak menyukaiku, kenapa waktu itu dia melemparkan bunga? Atau hanya...